Jakarta (ANTARA) - Dalam sebuah rumah peran ibu ibarat pelita yang membuat seisi rumah benderang, tak terkecuali Ibu Negara dalam sebuah negeri sebesar Indonesia.

Ibu Negara ibarat cermin perempuan Indonesia seutuhnya sehingga ia dianggap menempati peran yang sangat penting dan strategis.

Begitu juga para istri presiden RI selama ini, perempuan-perempuan tangguh itu telah menjalani peran luar biasa tanpa pernah mereka minta.

Jerih payahnya tak pernah sia-sia untuk menempatkan bangsa ini dalam jajaran bangsa-bangsa terhormat dengan sikap dan peran mereka yang tak terkatakan.

Bahkan ketika mereka pergi untuk selama-lamanya maka bangsa ini lebih sering dibuat menangis, mencucurkan air mata dengan rasa pilu yang amat dalam.

Hampir empat dekade silam pada 14 Mei 1980, bangsa Indonesia untuk pernah kehilangan sosok Ibu Negara yakni Fatmawati Sukarno, sang penjahit bendera proklamasi.

Perempuan berjuluk merpati dari Bengkulu itu meninggal di General Hospital Kuala Lumpur karena serangan jantung seusai ibadah umrah di Mekah.

Jenazahnya dimakamkan di TPU Karet Bivak, Jakarta. Sebelum meninggal, Fatmawati masih memikirkan Indonesia dalam benaknya.

Ia mengucapkan, "Datang ke Mekah sudah menjadi pendaman cita-citaku. Saban hari aku melakukan zikir dan mengucapkan syahadat serta memohon supaya diberi kekuatan mendekat kepada Allah. Juga memohon supaya diberi oleh Tuhan, keberanian dan melanjutkan perjuangan fi sabilillah. Aku berdoa untuk cita-cita seperti semula, yaitu cita-cita Indonesia Merdeka. Jangan sampai terbang Indonesia Merdeka."

Atas pengabdiannya kepada negara, pemerintah melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 118/TK/2000 pada 4 November 2000 menganugerahi gelar Pahlawan Nasional kepada Ibu Fatmawati. Nama Fatmawati juga diabadikan sebagai nama jalan dan rumah sakit.

Tak hanya itu, di Kota Bengkulu sebagai kota kelahiran Fatmawati, pemerintah setempat mengenangnya dengan mengabadikan nama Fatmawati sebagai nama bandara yang menggantikan nama sebelumnya bernama Bandar Udara Padang Kemiling pada 14 November 2001. Peresmian perubahan nama itu dilakukan oleh puterinya yang menjabat Presiden Republik Indonesia, Megawati Soekarnoputri.


Tien Hingga Ainun

Rasa sakit akibat kehilangan sang ibu dilukiskan dengan amat pilu oleh Guruh Sukarnoputra yang mencipta lagu melati suci. Tak ubahnya Fatmawati, Tien Soeharto yang juga mengemban amanat ibu negara juga pun adalah pecinta melati.

Indonesia harus bersedih kala istri Presiden ke-2 RI itu meninggal akibat penyakit jantung yang menyerangnya pada Minggu, 28 April 1996, di RS Gatot Subroto, Jakarta.
Terlepas dari kontroversi penyebab kematiannya, Tien Soeharto adalah sosok yang begitu setia dalam pengabdiannya sebagai ibu bangsa.

Tien yang bernama lengkap Siti Hartinah itu dimakamkan di Astana Giri Bangun, Jawa Tengah, pada 29 April 1996 sekitar pukul 14.30 WIB. Upacara pemakaman tersebut dipimpin oleh inspektur upacara yaitu Ketua DPR/MPR saat itu, Wahono dan Komandan upacara Kolonel Inf G. Manurung, Komandan Brigif 6 Kostrad saat itu.

Bangsa Indonesia pernah juga harus kembali merasakan kehilangan ibu negara yang menjadi panutan saat istri Presiden ketiga RI Hasri Ainun Habibie meninggal karena sakit kanker ovarium.

Hasri Ainun menderita kanker ovarium dan pada 24 Maret 2010, Hasri Ainun Habibie masuk ke rumah sakit Ludwig-Maximilians-Universität, Klinikum Grosshadern, München, Jerman dan telah menjalani sembilan kali operasi. Empat dari sembilan operasi tersebut merupakan operasi utama sedangkan sisanya merupakan eksplorasi.

Pada 22 Mei 2010 pukul 17.35 waktu München, Jerman, Ainun meninggal dunia setelah melewati masa kritis sekitar sehari di mana hidupnya ditopang oleh alat.

Jenazah Hasri Ainun Habibie diberangkatkan 24 Mei 2010 dari Jerman dan tiba di Jakarta pada 25 Mei 2010 kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata hari itu juga.


Cinta Ibu

Ibarat melati suci yang senantiasa mekar di taman hati, cinta para ibu negara kepada bangsanya ibarat lukisan yang demikian indah.

Pun serupa dengan cinta Ani Yudhoyono kepada bangsa ini. Istri Presiden keenam RI itu menghembuskan napas terakhir karena kanker darah, namun cinta dan citanya untuk Indonesia tak pernah pupus.

Ia pernah memimpikan semua anak punya kesempatan yang sama untuk belajar dan memiliki perpustakaan melalui mobil pintar.

Perempuan bernama lengkap Kristiani Herrawati itu juga ingin agar kematian ibu melahirkan di Indonesia bisa ditekan melalui program-program yang dirintisnya.

Sayang mimpinya belum seluruhnya terwujud. Ani gugur sebagai bunga bangsa meninggalkan jejak yang harum bagi negeri ini.

Perjuangan Ani Yudhoyono memang luar biasa. Selama tiga bulan dia berusaha sekuat tenaga untuk bisa sembuh dari kanker.

Sang suami, SBY ingat kalau Ani pernah bilang tidak akan menyerah dari kanker darah yang menyerangnya. “Dia orang yang kuat dan tidak mau menyerah. Dia bilang sama saya; saya pasrah tapi tidak menyerah,” ingatnya.

Bagi para ibu negeri, kematian hanyalah tabir yang tak menghentikan kenangan dan jejak harum mereka di negeri ini. Sebab sekecil apapun karya dan jerih payah mereka, begitu besar artinya untuk menggerakkan negeri ini menjadi lebih baik.*


Baca juga: Masyarakat berdatangan ke pemakaman Ani Yudhoyono

Baca juga: Kisah cinta Ani Yudhoyono dan SBY, jatuh hati dari pandangan pertama
​​​​​​​


Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019