Surabaya (ANTARA News) - Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas di Jatim juga rentan meluap atau menimbulkan banjir pada kurun waktu 2008-2009 karena kawasan pegunungan sekitarnya sudah mengalami kerusakan 50 persen lebih. "Kalau DAS Bengawan Solo sudah menenggalamkan beberapa daerah hulu hingga hilir, maka DAS Brantas juga tinggal tunggu waktu," kata Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jatim, Ridho Saiful Ashadi, di Surabaya, Senin. Di sela-sela konferensi pers hasil survei tim Walhi Jatim di Bojonegoro dan Lamongan pascabanjir, ia menyatakan hutan di Jatim mencapai 1,4 juta hektar tapi 51 persen sudah digunakan "hutan produksi." "Hutan produksi itu merupakan legal `logging`, tapi memberi kontribusi pada kerusakan hutan. Apalagi kalau dijumlahkan dengan `illegal logging`, maka kawasan DAS Brantas daya dukungnya tinggal 1-2 tahun ini saja," katanya. Didampingi anggota tim survei Walhi Jatim, Yuliani, Mahardika, dan Lukman, ia mengatakan DAS Brantas bergantung pada kawasan hutan di Gunung Welirang, Arjuno, Wilis, dan Penanggungan. "Kalau gunung-gunung itu gundul, maka wilayah yang terancam banjir dan longsor adalah Mojokerto, Pasuruan, Malang, Kediri, Blitar, dan Madiun," katanya mengungkapkan. Di Jatim, ada 23 kabupaten/kota yang terkena bencana alam, padahal di Jateng hanya 17 kabupaten/kota dan di Jabar hanya 13 kabupaten/kota, sehingga hal itu menunjukkan kerusakan hutan di Jatim lebih parah. Bahkan, katanya, ketinggian banjir juga sudah melampau tahun-tahun sebelumnya yakni 20 sentimeter pada tahun 1993 menjadi empat meter pada tahun 2007. "Survei kami lakukan dengan fokus pada empat desa di kecamatan Trucuk, kabupaten Bojonegoro yakni desa Padangan, Guyangan, Tulung, dan ranah. Hasilnya 28 rumah roboh dan 225 hektar sawah gagal panen pada dua desa (Padangan dan Guyangan)," katanya. Menurut dia, hal itu dapat diatasi dengan manajemen hutan dan sungai yang melibatkan masyarakat serta manajemen resiko bencana. "Hutan selama ini hanya dipahami dengan paradigma pertumbuhan oleh pemerintah yang mengedepankan Perum Perhutani, padahal paradigma sosial juga penting. Karena itu, masyarakat juga harus dilibatkan," katanya menegaskan. Selain itu, manajemen resiko bencana juga harus diperbaiki. "Pemerintah selama ini hanya membangun waduk, embung, sistem drainase, dan sudetan, padahal masyarakat juga memerlukan penyuluhan tentang bencana, terutama kerentanan desa yang ditempati," katanya. Bahkan, manajemen resiko bencana juga perlu dilakukan per-daerah, kemudian antisipasi juga tidak dilakukan pada saat bencana tapi antisipasi sebelum bencana dan pasca bencana. "Pascabencana biasanya rentang kekeringan," katanya menjelaskan.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2008