Brisbane (ANTARA News) - Indonesianis Universitas Nasional Australia (ANU), Greg Fealy, berpendapat penolakan keluarga Soeharto terhadap tawaran solusi Pemerintah atas kasus hukumnya akan menjadi sumber ketegangan setelah Soeharto meninggal nanti. "Saya kira (masalah hukum Pak Harto-red.) bisa menjadi sumber ketegangan antara pihak Cendana dan pemerintah maupun masyarakat," katanya, menjawab pertanyaan ANTARA sehubungan dengan kondisi kesehatan Soeharto Selasa. Penolakan keluarga Soeharto terhadap tawaran Pemerintah RI itu justru menunjukkan bahwa "masih ada miliaran dolar Amerika Serikat yang disimpan di macam-macam tempat yang semestinya dikembalikan ke negara bagi kemanfaatan masyarakat,"katanya. Penolakan tersebut layak dikecam para tokoh politik dan masyarakat Indonesia, kata dosen dan peneliti senior pada Sekolah Riset Studi-Studi Pasifik dan Asia (RSPAS) ANU ini. Terlepas dari belum jelasnya solusi atas masalah hukum Pak Harto itu, Fealy mengatakan banyaknya tokoh politik Indonesia, termasuk mereka yang dulu berseberangan dengan Pak Harto", beramai-ramai memaafkan penguasa Orde Baru ini sebagai "hal yang sedikit mengherankan" dirinya. Sebagai seorang peneliti, bagaimana sikap masyarakat dan pemerintah Indonesia terhadap presiden kedua yang berkuasa selama 32 tahun itu sangat menarik perhatiannya, terlebih lagi tidak begitu banyak sejarawan yang bersedia membela periode Soeharto, katanya. Ditanya tentang isi buku Robert Edward Elson "Soeharto, Political Biography (Oktober 2001)" yang terkesan membela peran Soeharto dan bahkan menyebutnya sebagai "tokoh yang sangat penting selama abad ke-20 di Asia", ia menilai buku Bob Elson itu "cukup berimbang". Selama ini, tidak sedikit akademisi asing yang memberikan penilaian dengan "plus besar dan minus besar" tentang pemerintahan Orde Baru dan Soeharto, katanya. Sudah ada SKP3 Kembali ke masalah hukum Soeharto, Kejaksaan Agung RI telah mengeluarkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3). Kasus dugaan korupsi pemimpin Orde Baru itu mulai terkuak pada 1 September 1998 ketika Tim Kejaksaan Agung menemukan indikasi penyimpangan penggunaan dana yayasan-yayasan yang dikelola Soeharto dari anggaran dasar lembaga tersebut. Pada 7 Desember 1998, di depan Komisi I DPR, jaksa agung (saat itu) mengungkapkan hasil pemeriksaan atas Yayasan Dharmais, Dakab, Supersemar, Amal Bhakti Muslim Pancasila, Dana Mandiri, Gotong Royong, dan Trikora. Sejumlah yayasan memiliki kekayaan senilai Rp 4,014 triliun. Jaksa agung saat itu juga mengungkapkan penemuan rekening atas nama Soeharto di 72 bank di dalam negeri dengan nilai deposito Rp24 miliar, Rp23 miliar tersimpan di rekening BCA, dan tanah seluas 400 ribu hektare atas nama keluarga Cendana. Pada 28 September 2000, majelis hakim PN Jakarta Selatan menetapkan penuntutan perkara pidana HM Soeharto tidak dapat diterima dan sidang dihentikan. Pada 12 Mei 2006, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengeluarkan pernyataan bahwa pihaknya telah mengeluarkan SK PPP yang isinya menghentikan penuntutan dugaan korupsi Soeharto pada tujuh yayasan yang dipimpinnya dengan alasan kondisi fisik dan mental terdakwa yang tidak layak diajukan ke persidangan. Sesuai pasal 140 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), terdakwa yang dalam keadaan tidak sehat maka tidak bisa diajukan ke persidangan. Dengan terbitnya SK PPP itu, status proses hukum Soeharto dinyatakan final dan penguasa Orde Baru itu bebas dari status "terdakwa"; kecuali bila ditemukan alasan berupa kesembuhan penyakit Soeharto barulah dia dapat diajukan ke persidangan lagi. Terlepas dari telah keluarnya SKP3 itu, kasus hukum Soeharto ini kembali memicu pro-kontra di masyarakat setelah dia kembali masuk Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) pada 4 Januari 2008 akibat kondisi kesehatannya yang terus menurun. Sejak lengser dari jabatan presiden pada 21 Mei 1998, pemimpin yang lahir di Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta, 8 Juni 1921 ini telah beberapa kali dirawat di rumah sakit karena beragam penyakit, seperti pendarahan usus, jantung, dan paru-paru. Dia pernah dirawat di RSPP pada 20 Juli 1999 karena stroke ringan. Setelah itu, ia kembali masuk rumah sakit yang sama pada 2000, 2001, 2002, 2004, 2005, 2006 dan 2008. (*)

Copyright © ANTARA 2008