Jakarta (ANTARA News) - Pengamat hukum tata negara dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, Deny Indrayana, mengatakan sebaiknya sengketa hasil Pilkada diselesaikan di Mahkamah Konstitusi (MK), bukan di Mahkamah Agung. "Sebaiknya sengketa Pilkada ada di MK," kata Deny di gedung MK, Rabu. Meski demikian, Deny menyadari bahwa aturan hukum dan praktik yang berlaku selama ini, yaitu sengketa Pilkada selalu diselesaikan di Mahkamah Agung (MA). Namun demikian, kata Deny, Pilkada termasuk dalam Pemilu. Sedangkan lembaga yang berhak menyelesaikan sengketa hasil Pemilu adalah Mahkamah Konstitusi. Deny mengusulkan perubahan sejumlah UU untuk memindahkan penyelesaian hasil Pilkada dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi. UU yang perlu diubah itu antara lain UU Pemerintahan Daerah, dan sejumlah UU yang berlaku di daerah khusus, seperti UU Pemerintahan Aceh. Pasal 74 UU Pemerintahan Aceh, kata Deny, masih secara tegas menyatakan sengketa Pilkada bisa diselesaikan di Mahkamah Agung, bukan Mahkamah Konstitusi. Deny menegaskan, tidak akan ada perdebatan tentang penyelesaian sengketa Pilkada di Mahkamah Konstitusi jika telah dilakukan perubahan dalam UU terkait. Dia mencontohkan, sengketa antara Komisi Independen Pemilihan (KIP) Kabupaten Aceh Tenggara dan KIP Provinsi Nangroe Aceh Darussalam akan sangat sulit diselesaikan di Mahkamah Konstitusi karena masih ada perdebatan tentang kedudukan hukum KIP. KIP, menurut Deny, bukan merupakan lembaga negara yang kewenangannya diatur dalam UUD 1945, sehingga bukan menjadi kewenangan MK untuk menyelesaikan perkara yang terkait dengan KIP. "Organ konstitusi adalah organ yang fungsi dan posisinya diatur dalam UUD 1945," kata Deny. Deny berpendapat, perkara antara KIP Aceh Tenggara dan KIP NAD adalah sengketa Pilkada, bukan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara. Hal itu disebabkan inti masalahnya adalah tentang hasil pemilu, yaitu tentang pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Aceh Tenggara.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008