Jakarta (ANTARA) - KPK menyarankan agar pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim yang sudah ditetapkan sebagai tersangka dugaan perkara korupsi terkait pemenuhan kewajiban obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dapat menyerahkan diri ke penyidik.
"Jika pihak SJN (Sjamsul Nursalim) dan ITN (Itjih Nursalim) ingin membela diri dalam perkara ini, akan lebih baik hadir memenuhi panggilan KPK atau kami menyarankan agar SJN dan ITN menyerahkan diri ke KPK karena saat ini status mereka sudah sebagai tersangka dalam penyidikan perkara korupsi yang dilakukan KPK," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Selasa.
Bila keduanya menyerahkan diri maka menurut Febri hal itu dapat dinilai sebagai sikap koperatif kedua tersangka yang saat ini berada di Singapura.
KPK juga sudah mengirimkan informasi pemberitahuan dimulainya penyidikan dengan tersangka Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim ke tiga lokasi di Singapura dan satu lokasi di Indonesia yaitu The Oxley, Cluny Road, dan Head Office of Giti Tire Pte.Ltd di Singapura. Sedangkan satu lokasi di Indonesia yakni di rumah di Simprug, Grogol Selatan, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
"KPK justru telah memberikan ruang yang cukup sejak tahap penyelidikan pada SJN dan ITN untuk menyampaikan keberatan atau informasi bantahan terhadap proses yang dilakukan KPK, namun hal tersebut tidak pernah digunakan," ungkap Febri.
Pada Senin (10/6), penasihat hukum Sjamsul Nursalim dan Itjih, Maqdir Ismail juga menyampaikan pernyataan bahwa keputusan KPK menetapkan kedua kliennya sebagai tersangka sangat janggal dan tidak masuk akal.
"Kami pandang, tidak terdapat hal baru dari penjelasan yang disampaikan oleh Maqdir Ismail yang mengaku sebagai kuasa hukum SJN tersebut," ungkap Febri.
KPK, menurut Febri, juga belum menerima pemberitahuan resmi dari Maqdir bahwa ia telah menerima surat kuasa khusus dari Sjamsul dan Itjih dalam penyidikan tersebut.
Adapun sejumlah keberatan yang disampaikan Maqdir adalah Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA atau Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham-PKPS) atas seluruh kewajiban BLBI Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) sudah terpenuhi (closing) sejak 1999 dengan penerbitan surat "release and discharge".
"Respon KPK adalah sangat jelas di fakta persidangan, SJN diduga telah melakukan misrepresentasi ketika memasukkan piutang petani tambak Rp4,8 triliun padahal utang para petani tambak tersebut tergolong macet," tambah Febri.
Menurut Febri, dalam putusan mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung, majelis hakim sudah menolak pembelaan penasihat hukum Syafruddin saat itu terkait dengan "release and discharge" kepada Sjamsul karena justru setelah penerbitan tersebut justru ditemukan utang petambak dalam keadaan macet sehingga BPPN kemudian menyurati Sjamsul agar menambah jaminan aset sebesar Rp4,8 triliun tersebut.
Namun Sjamsul menolak memenuhi permintaan BPPN tersebut dengan alasan kredit petambak termasuk kredit usaha kecil (KUK). Hakim pun menilai penolakan Sjamsul tersebut justru bertentangan dengan MSAA.
Keberatan lain Maqdir adalah KPK tidak menjelaskan mengapa mengabaikan laporan audit BPK 2002 dan 2006 dan malah meminta BPK untuk melakukan pemeriksaan kembali pada Agustus 2017. Kesimpulan audit BPK 2017 itu pun menurut Maqdir bertentangan dengan kesimpulan kedua laporan audit BPK sebelumnya.
"Majelis hakim pengadilan negeri telah menegaskan tidak sependapat karena sesuai keterangan ahli dari BPK di persidangan disampaikan bahwa audit BPK 2002 dan 2006 merupakan audit kinerja, sedangkan audit BPK 2017 merupakan audit untuk tujuan tertentu untuk menghitung kerugian negara dan semua dokumen yang dijadikan dasar untuk melakukan audit diperoleh dari penyidik, namun jika terdapat kekurangan maka auditor meminta pada penyidik untuk melengkapi," ungkap Febri.
Sehingga, KPK memandang akan lebih baik jika kuasa hukum Sjamsul dan Itjih membantu menghadirkan para tersangka untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut agar para tersangka juga dapat memberikan keterangan sesuai dengan data dan apa yang diketahui.
Atas jawaban KPK tersebut, Maqdir menyatakan belum berkomunikasi dengan Sjamsul dan istrinya.
"Saya belum sempat berkomunikasi dengan bapak Sjamsul Nursalim dan ibu. Saya juga belum tahu adanya panggilan kepada bapak dan ibu Sjamsul Nursalim," kata Maqdir.
Terkait perkara ini, mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung menjadi 15 tahun penjara ditambah denda Rp1 miliar dalam perkara korupsi penghapusan piutang Bantuan Langsung Bank Indonesia (BLBI) terhadap BDNI.
Dalam perkara ini, Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) milik Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim adalah salah satu bank yang dinyatakan tidak sehat dan harus ditutup saat krisis moneter pada 1998. BDNI mengikuti Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dengan pola perjanjian "Master Settlement Aqcuisition Agreement" (MSAA).
BPPN menentukan Jumlah Kewajiban Pemegang Saham (JKPS) per 21 Agustus 1998 memiliki utang (kewajiban) sebesar Rp47,258 triliun yang terdiri dari Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) senilai Rp35,6 triliun dan sisanya adalah simpanan pihak ketiga maupun letter of credit.
Sedangkan aset yang dimiliki BDNI adalah sebesar Rp18,85 triliun termasuk di dalamnya utang Rp4,8 triliun kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM) milik Sjamsul Nursalim yang awalnya disebut Sjamsul sebagai piutang padahal sebenarnya adalah utang macet (misrepresentasi).
Dari jumlah Rp4,8 triliun itu, sejumlah Rp1,3 triliun dikategorikan sebagai utang yang dapat ditagihkan (sustainable debt) dan dibebankan kepada petambak plasma dan yang tidak dapat ditagihkan (unsustainable debt) sebesar Rp3,5 triliun yang dibebankan kepada Sjamsul sebagai pemilik PT DCD dan PT WM berdasarkan keputusan KKSK pada 27 April 2000 yang dipimpin Kwik Kian Gie.
Namun berdasarkan keputusan KKSK pada 29 Maret 2001 yang dipimpin Rizal Ramli, utang yang dapat ditagih menjadi Rp1,1 triliun dan utang tidak dapat ditagih menjadi Rp1,9 triliun berdasarkan kurs Rp7000/dolar AS. Sjamsul tetap menolak membayarkan utang tersebut.
Syafruddin lalu memerintahkan anak buahnya membuat verifikasi utang tersebut dan berkesimpulan seluruh utang "sustainable" dan "unstainable" adalah Rp3,9 triliun dengan kurs Rp8500/dolar AS pada 21 Oktober 2003 yang dilaporkan dalam rapat terbatas pada 11 Februari 2004 yaitu utang yang dapat ditagih ke petambak Rp1,1 triliun dan utang tak tertagih Rp2,8 triliun.
Bahkan pada 13 Februari 2004 di bawah kepemimpinan Dorodjatun, KKSK menyetujui penghapusan utang PT DCD dan PT WM sehingga tinggal utang petambak senilai Rp1,1 triliun dengan rincian utang petambak menjadi Rp100 juta/petambak dikalikan 11 ribu petambak dari tadinya utang Rp135 juta/petambak.
Belakangan saat dijual ke investor, dana untuk negara tinggal Rp220 miliar karena Rp880 miliar dipergunakan sebagai utang baru petambak yaitu Rp80 juta/petambak sehingga pendapatan negara yang seharusnya Rp4,8 triliun menjadi tinggal Rp220 miliar atau negara dirugikan Rp4,58 triliun berdasarkan audit investigasi BPK RI.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019