Jakarta (ANTARA) - Di tengah dominasi kamera digital, masih ada orang-orang yang rindu dengan sensasi kamera analog di mana hasilnya harus dicetak, tidak bisa dilihat-lihat hanya lewat layar.

Kamera polaroid masih punya basis penggemar. Berdasarkan data Fujifilm, kamera instax keluaran brand tersebut terjual 10 juta unit secara global pada 2018.

Patricia Devina, instaxgrapher dan content creator, adalah salah satu orang yang masih gemar mengabadikan momen istimewa menjadi foto-foto polaroid.

Ditemui di peluncuran instax mini LiPlay, ia mengungkapkan keseruan dari memotret dengan kamera polaroid dan kamera hibrid yang menggabungkan teknologi analog dan digital di mana hasilnya bisa dipilih sebelum dicetak dalam bentuk lembaran foto polaroid.

“Foto instax itu selalu original, real, menunjukkan kehidupan kita,” ujar Patricia di Jakarta, Rabu.

Kamera polaroid biasanya dia pakai untuk mengabadikan acara-acara istimewa, seperti kumpul bersama orang terdekat, liburan hingga pernikahan sahabat.

Salah satu yang jadi faktor pembeda antara polaroid dengan digital adalah kejutan dari hasil akhirnya. Ketika menjepret foto dengan kamera polaroid biasa, pengguna tidak tahu hasilnya sebelum dicetak. Sementara pada kamera digital, foto-fotonya bisa dipilah-pilih sebelum diunggah di media sosial atau dicetak.

Patricia mengakalinya dengan memakai kamera hybrid di mana foto-fotonya bisa lebih dulu dipilih sebelum dicetak jadi foto polaroid.

Namun, hasil yang tidak bisa ditebak itu bisa jadi keunggulan polaroid karena bisa membuat foto kelihatan lebih berseni.

“Instax harus pakai sendiri, jadi feelnya itu, amatir-nya jadi ‘artsy’,” ujar dia.

Ia sudah menggunakan kamera tersebut selama sembilan tahun belakangan dan berpendapat perawatannya tidak merepotkan.

“Hampir enggak ada ribetnya, bodi tahan banting,” katanya.

Ia punya kotak khusus sendiri untuk menyimpan foto-foto polaroid, sementara yang bagus akan dipajang.


 

Pewarta: Nanien Yuniar
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2019