Jakarta (ANTARA) - Sejumlah advokat yang tergabung dalam Forum Advokat Pengawal Pancasila (FAPP) mengajukan diri sebagai pihak Terkait Tidak Langsung dalam sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pilpres di Mahkamah Konstitusi.

"Kami komunitas advokat FAPP memohon agar Mahkamah Konstitusi RI menerima FAPP sebagai pihak Terkait Tidak Langsung untuk didengar keterangannya terkait PHPU Pilpres yang diajukan Prabowo-Sandi," kata jubir FAPP Albert Aries di MK, Jakarta, Rabu.

Albert mengatakan FAPP merupakan komunitas Advokat dari berbagai golongan, suku dan agama. FAPP juga meminta MK menolak Permohonan Paslon 02, Prabowo-Sandiaga Uno sebagai Pemohon, untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan Permohonan Pemohon tidak dapat diterima (Niet Onvankelijk Verklaard).

FAPP berharap MK dapat menyatakan sah dan benar Keputusan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia No. 987/PL/01.08-KPT/06/KPU/V/2019 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden, Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota Secara Nasional Dalam Pemiihan Umum Tahun 2019.

"Kami bersepakat untuk mengutamakan kepentingan bangsa dan NKRI di atas kepentingan golongan/pribadi, dan juga telah menggunakan hak pilihnya dalam Pilpres 2019, serta memiliki kepedulian yang tinggi atas pelaksanaan pemilu yang Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil," kata Albert Aries.

la menegaskan pengajuan permohonan FAPP sebagai pihak Terkait Tidak Langsung merupakan upaya menegakkan hukum dan keadilan di NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Dalam pernyataannya FAPP memiliki beberapa pertimbangan, antara lain, Pemilu serentak 2019 merupakan amanat dari Putusan MK No.14/PUUXI/2013.

Pada pokoknya pemilu serentak memiliki tujuan untuk mengurangi pemborosan waktu dan biaya pemilu, mengurangi konflik atau gesekan horizontal di masyarakat, dan,mengakomodir hak Warga Negara Indonesia untuk memilih secara cerdas, serta membangun peta check and balances dari pemerintahan presidensial sesuai dengan keyakinan dari pemilih itu sendiri, terlepas dari kendala-kendala yang telah terjadi selama pelaksanaan Pemilu Tahun 17 April 2019.

"Oleh karena itu, Pemilu serentak 2019 tetap patut diapresiasi sebagai suatu kedewasaan Bangsa dan rakyat Indonesia dalam berdemokrasi," jelasnya.

Selain itu dia menegaskan permohonan Pemohon telah melanggar pasal 75 huruf a Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, karena tidak mencantumkan penghitungan hasil pemilu menurut Pemohon dan juga telah mencampuradukan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam mengadili perselisihan hasil pemilu dan kewenangan dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk memeriksa dan memproses dugaan pelanggaran dan sengketa dalam proses pemilu.

"Sehingga permohonan Pemohon tersebut beralasan secara hukum untuk ditolak atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima. Pemohon juga ternyata sama sekali tidak menguraikan dengan jelas mengenai siapa pelaku dari 'money politic' yang dituduhkan sepihak kepada Pihak Terkait, ihwal siapa penerimanya, kapan, dimana terjadinya, dan berapa jumlahnya," tegas dia.

Dia memandang atas dasar itu maka sesuai dengan asas actori incumbit probatio, dalil Pemohon harus dikesampingkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Dalil yang diajukan oleh Pemohon berkaitan dengan perselisihan penetapan peroleh suara hasil pemilu presiden dan wakil presiden kepada Mahkamah Konstitusi juga dipandang bertentangan dengan ketentuan pasal 475 ayat (1) dan (2) UU Pemilu yang mensyaratkan bahwa keberatan tersebut sebatas pada hasil perhitungan suara yang mempengaruhi penentuan terpilihnya pasangan calon atau penentuan untuk dipilih kembali pada pemilu presiden dan wakil presiden.

Kemudian dalil Pemohon mengenai adanya kecurangan kuantitatif dalam pilpres 2019 terkait dengan daftar pemilih tetap dinilai mengada-ada dan tidak beralasan secara hukum, karena secara mutatis mutandis telah terbantahkan dengan telah dilakukannya verifikasi faktual oleh KPU kabupaten/kota terhadap tiga kelompok data secara acak dan sederhana, yang dihadiri sendiri oleh perwakilan Pemohon, Pihak Terkait dan Bawaslu.

"Dalil Pemohon yang menggunakan Putusan Mahkamah Konstitusi RI dalam pilkada kabupaten Kotawaringin Barat untuk dapat diterapkan sebagai preseden atau yurisprudensi dalam permohonan a quo juga merupakan dalil yang tidak berdasar, karena putusan sengketa pilkada-pilkada tersebut tidak serta merta dapat dijadikan ukuran/standar (nasional) dalam pemilihan presiden dan wakil presiden, serta tidak dapat membelenggu kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam mencari Kebenaran Materiil dalam perkara A quo," paparnya.

 

Pewarta: Rangga Pandu Asmara Jingga
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2019