Jakarta (ANTARA News) - Soeharto, mantan Presiden RI kini telah tiga pekan dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP). Ketua Tim Dokter Kepresidenan dr Mardjo Soebiandono mengatakan, secara umum kondisinya masih belum stabil. "Fungsi jantung dan paru-paru masih belum stabil. Masih ada sedikit cairan di paru-paru dan tanda-tanda infeksi sistemik," kata Mardjo, yang didampingi sejumlah anggota tim dokter kepresidenan, di Jakarta. Sakitnya Soeharto kali ini, cukup menarik perhatian banyak pihak. Bukan hanya para mantan menteri Orde Baru, seperti Moerdiono, Ismail Saleh dan BJ Habibie. Tetapi juga para sahabat dari negara lain, seperti mantan PM Singapura, Lee Kwan Yew, mantan PM Malaysia Mahatir Muhammad dan Raja Brunei Darrussalam, Sultan Hassanal Bolkiah. Soeharto, yang lahir 8 Juni 1921 di Desa Kemusuk, Argomulyo, Bantul, Yogyakarta, dikenal sebagai orang yang memelihara budaya Jawa, utamanya ajaran "pituduh" (bimbingan) dan "wewaler" (larangan). Bertahun-tahun Soeharto mengumpulkan berbagai petuah dan larangan adat Jawa, melalui kitab-kitab seperti Centhini, Cipta Hening dan Jakalodhang yang ditulis para pujangga termashyur, seperti Raden Ngabehi Ranggawarsita, Yasadipuro dan Jayabaya. Pemahaman Soeharto dalam hal "mikul dhuwur mendhem jero", yang berarti, mengangkat kebaikan orang dan menyimpan kesalahannya, terutama kepada kedua orang tua, guru dan atasan, kata Probosutedjo, adik tiri Soeharto kepada ANTARA News, di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Bandung, pekan lalu. Petuah dan larangan itu merupakan prinsip Soeharto dalam menjalankan filsafat kehidupannya. Menurut Probosutedjo, ketika Pak Harto masih dapat berbicara dengan baik dan runtut, dia mengatakan banyak orang yang mengaku-ngaku sebagai reformis. Tetapi sesungguhnya mereka itu oportunis dan bahkan melupakan sejarah. "Orang yang mengaku-ngaku reformis itu, kurang memahami sejarah bangsa Indonesia," kata Probo mengutip peryataan Soeharto. Probo, menguraikan tiga hal yang boleh dilupakan oleh bangsa Indonesia, yakni pertama, Serangan kepada tentara kolonial Belanda di Yogjakarta, yang dikenal serangan 1 Maret 1948. Kedua menyelamatkan sebagian umat Islam yang akan dibantai oleh gerombolan Partai Komunis Indonesia (PKI), yang dikenal dengan peristiwa 1 Oktober 1965 dan sebaliknya, menyelamatkan anggota PKI yang akan dibantai kelompok Islam radikal. Dan yang ketiga, mewujudkan cita-cita Presiden Pertama RI, Soekarno untuk memberantas kemiskinan dan setia menjalankan Pancasila. Tiga masalah pokok itulah, kata Probo, sering dilupakan banyak orang, terutama yang mengaku kelompok reformis. "Serangan Umum 1 Maret 1948 merupakan bagian sejarah lahirnya bangsa Indonesia. Ketika itu Soeharto masih berpangkat Letnan Kolonel, tetapi sudah berani menjalankan perintah penguasa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono ke IX," katanya. Radio India menangkap siaran dari Indonesia, bahwa ada tentara menyerang ibu kota, Yogjakarta. Berita itu kemudian ditangkap oleh pemerintah India dan oleh pemerintah India dilaporkan kepada Perserikatan Bangsa-bangsa. "Tidak benar kalau tentara Indonesia sudah bubar atau meninggalkan kota," protes India ketika itu. Atas protes India itulah akhirnya, PBB memerintahkan Belanda untuk segera keluar dari Indonesia dan melakukan perundingan. Dengan demikian, India punya jasa besar kepada Indonesia, karena ikut mendesak Belanda mundur dari Indonesia. Penyelamatan sebagian umat Islam yang akan dibantai oleh PKI, kata Probo, dilakukan Soeharto dengan membubarkan PKI, meskipun waktu itu pengaruh Soekarno, cukup besar. Sedangkan para anggota PKI yang akan dibantai oleh kelompok Islam radikal, diselamatkan dengan memerintahkan tentara untuk melindungi dan menghargai proses hukum. "Mikul Dhuwur Mendhem Jero" Menyangkut konsep "mikul dhuwur mendhem jero", Soekarno pernah memanggil Soeharto. "Har, aku iki arep kok kapakake (Harto, saya ini mau kamu apakan). Soeharto menjawab, saya ini hanya anak seorang petani dari Kemusuk, Bantul. Sesuai pesan kedua orang tua saya, `wong kuwi sing bisa mikul dhuwur mendhem jero. Menghormati orang tua, guru dan atasam. Seperti yang disampaikan Antonie CA Dake, dalam buku Soekarno File, 2005 disebutkan, "Soekarno mengetahui tentang kisah yang sebenarnya mengenai penggerebekan rumah Nasution." Di bagian lain disebutkan, "Berdasarkan penilaian Bung Karno, Jenderal Nasution, Yani, Haryono, S Parman, Sutoyo, Suprapto, Suwarto dan lain-lain tidak menunjukkan kecenderungan untuk merubah garis strategi politiknya, ..... maka tidak tersedia pilihan dari pada menyingkirkannya." Melihat fakta seperti itu, Soeharto tetap loyal dalam melindungi nasib Soekarno. Bahkan Soeharto berjanji sebisa mungkin akan menyembunyikan kesalahan Soekarno dan secara bertahap melanjutkan programnya yang baik; mengentaskan kemiskinan, mengamankan Pancasila dan menjalankan Undang-undang Dasar 1945 secara konsekuen. Apa yang disampaikan Soeharto itu, menurut Probo, sesuatu yang penting untuk diketahui generasi di masa depan. Karena kini sudah mulai banyak orang yang mulai melupakan sejarah bangsa Indonesia. Menjalankan reformasi seperti di Thailand dan Malaysia, merupakan hal yang baik, tetapi jangan sampai menjadi "repot nasi". Soeharto melaksanakan pembangunan atas dasar Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), dengan menjamin stabilitas politik, keamanan dan ekonomi. "Semua dilakukan secara bertahap, tak ada jalan pintas." Di bidang politik, Soeharto mengubah sistem multipartai menjadi hanya tiga partai, Golkar, PPP dan PDI. Pengritiknya menyebutnya otoriterisme. Pendukungnya menilai langkah itu efektif untuk menstabilkan politik agar prioritas pembangunan ekonomi dapat berjalan. Dalam seminar sehari Center Law, bekerjasama dengan Seven Strategic Service, di Jakarta belum lama ini, para nara sumber seperti Prof Dr Ahmmad Mustofa, Mantan Jaksa Agung Abdurahman Saleh, tokoh LSM Mulyana W Kusumah dan pengacara Soeharto, OC Kaligis sependapat, Soeharto sebaikinya tidak pelu lagi diseret-seret kepengadilan, baik menyangkut kasus pidana maupun perdata, karena putusan Mahkamah Agung sudah menyatakan, Soeharto mengidap penyakit permanen yang sampai saat ini belum dapat disembuhkan. "Saat Pak Harto menjadi presiden, tidak pernah membawa Soekarno kepengadilan atau duduk di kursi pesakitan, demikian juga seharusnya Soeharto," kata Probo mengingatkan. "Janganlah pemimpin dijadikan seperti tebu, habis manis sepah dibuang," katanya. Ia mencontohkan saat Presiden AS Gerald Ford menggantikan Richard Nixon yang mengundurkan diri, Ford memberikan "pardon" kepada Nixon sehingga kesalahan Nixon baik yang dilakukan secara langsung maupun yang didakwa oleh pengadilan dihapus secara keseluruhan. Beranikah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan tindakan sebagaimana Ford? (*)

Oleh Oleh Theo Yusuf MS
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008