Jakarta (ANTARA) - Pakar pengelolaan udara dan limbah Institut Teknologi Bandung (ITB) Prof Enri Damanhuri menyebutkan tas "kresek" selama ini terdiskriminasi dibandingkan limbah-limbah plastik yang lainnya.

"Ada diskriminasi (limbah) plastik dalam pengumpulannya. Hanya plastik yang berharga yang diambil karena mempunyai nilai jual," katanya di Jakarta, Kamis.

Ditemui usai diskusi rangkaian gerakan Plastic Reborn #BeraniMengubah yang diinisasi Coca Cola Indonesia, ia menjelaskan pemulung tentu akan mengambil limbah plastik yang punya nilai jual.

Menurut dia, pemulung tidak mungkin memungut tas "kresek" karena tidak memiliki nilai jual, melainkan lebih memilih mengambil limbah plastik lain, seperti botol bekas, dan sebagainya.

"Pemulung juga berpikir, 'Saya akan memulung yang berharga. Saya jalan sepanjang kota paling banyak membawa 50 kilogram. Kalau saya ngambil kresek yang tidak berharga ngapain?'," katanya.

Meski demikian, kata dia, pemulung juga tidak bisa disalahkan karena mereka bukan pengelola sampah, melainkan pengumpul sampah.

"Dia (pemulung) mengumpulkan sampah bukan karena takut lingkungan, tetapi karena ingin hidup," katanya.

Namun, kata dia, ada beberapa tempat pembuangan sampah yang khusus menerima tas "kresek", seperti di Bali, yang banyak diambil untuk didaur ulang menjadi karet.

"Dengan syarat diambil di tempat pembuangan akhir (TPA). Larinya ke sana semua. Yang tidak laku, larinya ke TPA. Me-'recycle' jadi karet," ujarnya.

Oleh karena itu, Enri mengajak masyarakat selaku pengguna langsung tas "kresek" untuk bertanggung jawab terhadap penggunaannya agar tidak mencemari lingkungan.

Baca juga: Komunitas Nol Sampah siap gelar aksi di Sungai Wonorejo-pantai Surabaya

Baca juga: Tas kresek pasar swalayan kini tidak gratis

Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019