Pekanbaru (ANTARA) - Kepolisian Daerah Riau membantah penetapan tersangka Wakil Bupati Bengkalis Muhammad dalam perkara dugaan korupsi pengadaan dan pemasangan pipa transmisi PDAM yang bersumber dari APBD Provinsi Riau.

Kepala Bidang Humas Polda Riau Kombes Pol Sunarto di Pekanbaru, Kamis, mengatakan bahwa penyidik baru melakukan gelar perkara internal yang digelar di Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Mabes Polri hari ini.

Namun, dalam gelar perkara tersebut tidak menyebutkan status Muhammad sebagai tersangka. Dia mengatakan bahwa keputusan gelar perkara adalah untuk kembali melakukan pendalaman dalam dugaan korupsi tersebut.

"Benar, baru selesai gelar perkara di Direktorat Tipikor Mabes. Hasil (gelar perkara), masih perlu pendalaman lagi," katanya.

Setelah Bupati Bengkalis Amril Mukminin menyandang status tersangka KPK dalam kasus korupsi berbeda, kali ini Muhammad, disebut di sejumlah media lokal telah menyandang status yang sama.

Muhammad diduga terlibat kasus dugaan korupsi kegiatan pengadaan dan pemasangan pipa transmisi PE 100 DN 500 mm di Kabupaten Indragiri Hilir. Proyek tersebut menggunakan dana APBD Provinsi Riau Tahun Anggaran 2013. Kasus itu ditangani oleh Ditreskrimsus Polda Riau.

Dalam kasus ini, Muhammad diketahui merupakan calon pesakitan keempat. Adapun tiga pesakitan lainnya adalah, Edi Mufti BE selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Sabar Stevanus P Simalonga, Direktur PT Panatori Raja selaku pihak rekanan dan Syahrizal Taher selaku konsultan pengawas. Saat ini, perkara ketiganya telah bergulir di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru.

Muhammad sempat dikabarkan telah menyandang status tersangka berdasarkan Nota Dinas Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Ditpidkor) pada Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri yang beredar.

Nota dinas itu ditujukan kepada sejumlah pihak di internal Ditpidkor Mabes Polri berdasarkan rujukan surat Kapolda Riau Nomor: B/639/VI/RES.3.3.5/2019/Reskrimsus tertanggal 11 Juni 2019 perihal Permohonan Gelar Perkara.

Berdasarkan surat rujukan tersebut, maka pihak-pihak yang menerima nota dinas tersebut diminta hadir mengikuti gelar perkara kasus tersebut atas nama tersangka Muhammad selaku Kuasa Pengguna Anggaran.

Gelar perkara itu dilakukan di salah satu ruangan di Ditpidkor Bareskrim Mabes Polri pada Kamis (13/6) sekitar pukul 13.00 WIB. Dalam gelar perkara itu, pihak Bareskrim mendengarkan paparan dari penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Riau selaku pihak yang menangani perkara tersebut.

Sunarto tidak menampik adanya proses gelar perkara tersebut. Dari gelar perkara itu telah menghasilkan suatu keputusan, namun tidak terkait penetapan Muhammad sebagai tersangka.

Terpisah, Direktur Reskrimsus Polda Riau, Kombes Pol Gidion Arif Setyawan, juga membenarkan adanya proses gelar perkara itu. Dia juga memastikan bahwa Muhammad belum ditetapkan sebagai tersangka.

"Itu (Muhammad sebagai tersangka) belum pasti," kata Gidion melalui sambungan telepon.

Menurut dia, gelar perkara itu merupakan gelar perkara internal, dan masih ada gelar perkara berikutnya. "Gelarnya itu kan masih gelar internal Ditpidkor. Masih ada gelar lagi dengan Karo Wasidik," tuturnya.

"(Memang) persyaratan normatifnya gitu," ujarnya.

Untuk diketahui, Muhammad pernah dihadirkan di Pengadilan Tipikor Pekanbaru, akhir Maret 2019 lalu. Saat itu, dia dihadirkan sebagai saksi untuk tiga terdakwa. Meski sebelumnya dia sempat dua kali mangkir.

Sementara itu, dugaan rasuah tersebut berawal dari laporan sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Proyek milik Bidang Cipta Karya Dinas PU Provinsi Riau tahun 2013 ini, menghabiskan dana sebesar Rp3.415.618.000. Proyek ini ditengarai tidak sesuai spesifikasi.

Dalam laporan LSM tersebut, Muhammad ketika menjabat Kabid Cipta Karya Dinas PU Riau tahun 2013, diduga tidak melaksanakan kewajibannya selaku Kuasa Pengguna Anggaran proyek pipa tersebut. Selain itu, LSM itu juga menyebut nama Sabar Stavanus P Simalonga selaku Direktur PT Panatori Raja, dan Edi Mufti BE selaku PPK, sebagai orang yang bertanggung jawab dalam dugaan korupsi ini.

Pada kontrak rencana anggaran belanja tertera pekerjaan galian tanah untuk menanam pipa HD PE DLN 500 MM PN 10 dengan volume sepanjang 1.362,00. Ini berarti galian tanah sedalam 1,36 meter dan ditahan dengan skor pipa kayu bakar sebagai cerucuk. Galian seharusnya sepanjang dua kilometer.

Pada lokasi pekerjaan pemasangan pipa, tidak ditemukan galian sama sekali, bahkan pipa dipasang di atas tanah. Kemudian pada item pekerjaan timbunan bekas galian, dipastikan fiktif. Karena pengerjaan galian dan penimbunan tidak pernah ada.

Pekerjaan tersebut dimulai 20 Juni 2013 sampai 16 November 2013, sementara pada akhir Januari 2014 pekerjaan belum selesai. Semestinya, kontraktor pelaksana PT Panotari Raja diberlakukan denda keterlambatan, pemutusan kontrak, dan pencairan jaminan pelaksanaan.

Namun menariknya, pihak Dinas PU Provinsi Riau tidak melakukan denda, tidak memutus kontrak, dan tidak mencairkan jaminan pelaksanaan. Bahkan, Dinas PU Riau diduga merekayasa serah terima pertama pekerjaan atau Provisional Hand Over sebagaimana tertuang dalam Berita Acara Serah Terima Pertama Pekerjaan/PHO Nomor: 0/BA.ST-I/FSK.PIPA.TBH.XII/2013 tanggal 13 Desember 2013.

Akibat dari tidak dilakukannya pekerjaan galian tanah serta penimbunan kembali galian tanah. Namun pekerjaan tetap dibayar, negara diduga telah dirugikan Rp700 juta. Denda keterlambatan 5 persen dari nilai proyek sama dengan Rp170.780.900, dan jaminan pelaksanaan 5 persen dari nilai proyek juga Rp170.780.900. Sehingga diperkirakan total potensi kerugian negara Rp1.041.561.800.
 

Pewarta: Anggi Romadhoni
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2019