Jakarta (ANTARA) - Sidang pendahuluan sengketa hasil Pemilu Presiden 2019 baru saja selesai digelar di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, pada Jumat (14/6), dengan pemohon Pasangan Calon Nomor Urut 02, Prabowo Subiyanto dan Sandiaga Salahuddin Uno.

Sidang pendahuluan ini tidak dihadiri kedua pasangan calon, namun keduanya diwakili kuasa hukum. Begitu pula dengan pimpinan Bawaslu yang tidak hadir karena masih harus menyelesaikan sidang pelanggaran administrasi Pemilu. Sementara seluruh komisioner KPU hadir dalam sidang pendahuluan dengan didampingi kuasa hukum KPU.

Sidang yang digelar pada pukul 09.00 WIB tersebut diagendakan selesai pada pukul 11.15 WIB. Namun panjangnya dalil permohonan tersebut menjadikan persidangan harus dihentikan sementara (diskors) pada pukul 11.15 WIB untuk waktu salat Jumat dan istirahat makan siang.

Sidang kembali digelar pada pukul 13.30 WIB dan ditutup pada pukul 15.30 WIB.

Adapun majelis hakim konstitusi yang memeriksa dan mengadili jalannya persidangan dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman, dengan anggota; Suhartoyo, I Dewa Gede Palguna, Saldi Isra, Arief Hidayat, Manahan Sitompul, Wahiduddin Adams, Aswanto, dan Enny Nurbaningsih.

Ketika memulai jalannya persidangan, Anwar mengimbau seluruh pihak yang hadir dalam ruang sidang untuk menjaga ketertiban di dalam ruang sidang, dan tidak mengucapkan hal-hal yang menghina jalannya persidangan.

Usai pengenalan seluruh pihak, Ketua Tim Kuasa Hukum Prabowo-Sandi Bambang Widjojanto kemudian mulai membacakan dalil permohonan berupa argumentasi kualitatif dan kuantitatif.

Pembacaan dalil permohonan tersebut dibacakan bergantian dengan dua anggota tim kuasa hukum lainnya yaitu; Denny Indrayana dan Teuku Nashrullah.

Seluruh dalil permohonan tersebut berisi tudingan untuk Pasangan Calon Nomor Urut 01 Jokowi-Ma'ruf, yang dinilai pemohon telah melakukan kecurangan dan pelanggaran pemilu yang terstruktur, sistematis, dan masif.

Dikatakan terstruktur karena dilakukan mulai dari pimpinan yaitu Capres Nomor Urut 01 Joko Widodo selaku petahana, diikuti oleh seluruh jajaran dari menteri hingga aparatur sipil negara, sebagaimana dituding oleh pasangan Prabowo-Sandi.

"Dikatakan sistematis karena terencana dan masif karena tersebar di berbagai daerah," kata Bambang.

Berkali-kali ketiga kuasa hukum pasangan Prabowo-Sandi ini menyatakan bahwa Mahkamah perlu mendiskualifikasi pasangan Jokowi-Ma'ruf atas dugaan kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif itu.

Tudingan kecurangan kepada pasangan Jokowi-Ma'ruf didalilkan pasangan Prabowo-Sandi menjadi sulit dibuktikan karena melibatkan aparat Kepolisian hingga Badan Intelijen Negara (BIN).

Salah satu bukti peran Polisi dikatakan Denny adalah adanya pengakuan di Kapolsek Pasirwangi, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Pengakuan AKP. Salman Azis tersebut dikatakan Denny sempat ramai diberitakan, namun kemudian laporannya dicabut.

"Itu tidak berarti serta merta pengakuannya menjadi salah, karena hal itu dapat juga merupakan indikasi bahwa pengakuan adalah benar namun yang bersangkutan mendapatkan tekanan sehingga terpaksa mencabut pengakuannya," kata Denny.

Pengakuan tersebut dinilai pihak Prabowo-Sandi sebagai fenomena puncak gunung es dan bukan satu-satunya yang terjadi.

Tudingan penggunaan anggaran belanja negara hingga program pemerintah untuk kepentingan Joko Widodo juga disebut-sebut oleh pihak Prabowo-Sandi.

Denny Indrayana menyebutkan bahwa secara langsung atau tidak langsung hal ini telah menciptakan ketidakseimbangan ruang, hingga akhirnya Paslon 02 bukan hanya berkompetisi dengan Paslon 01, tapi juga dengan Presiden Indonesia atau petahana.

Bambang Widjojanto juga sempat menyinggung jabatan Ma'ruf Amin di beberapa bank BUMN syariah, yang masih tercantum di laman bank tersebut.

Deny sempat membahas mengenai barang bukti yang diserahkan kepada Mahakamah. Deny menyebutkan bahwa tautan sejumlah berita dari media massa dapat dijadikan bukti, selain bukti-bukti pendukung lain yang akan diserahkan kepada Mahkamah sebelum sidang pembuktian berlangsung.

Pemohon pada akhirnya mendalilkan kesalahan penghitungan KPU yang bwrmuara pada situng, dan masalah terkait dengan formulir C7 serta C1 di beberapa daerah.

Dalam petitumnya, pagi-pagi pemohon meminta Mahakamah menyatakan pasangan Jokowi-Ma'ruf melakukan kecurangan dan pelanggaran pemilu sehingga patut untuk didiskualifikasi. Kemudian meminta Mahkamah menyatakan pasangan Prabowo-Sandi sebagai presiden dan wakil presiden terpilih.


Persoalan berkas permohonan

Permohonan yang dibacakan rupanya sempat menimbulkan polemik di ruang sidang. Pasalnya, berkas permohonan yang dibacakan merupakan berkas permohonan yang diserahkan kepada panitera Mahkamah pada tanggal 10 Juni 2019.

Sementara itu KPU dan pihak terkait menolak berkas permohonan tersebut, karena mereka mengakui berkas permohonan yang sebelumnya diserahkan pada tanggal 24 Mei.

KPU melalui kuasa hukumnya Ali Nurdin usai persidangan sempat menyampaikan bahwa pihaknya tidak akan menerima dalil permohonan yang dibacakan, mengingat berkas tersebut telah diubah pada 10 Mei 2019. Sementara berkas yang diregistrasi oleh Mahkamah adalah berkas bertanggal 24 Mei 2019.

Hal serupa juga dinyatakan oleh pihak terkait yang diwakilkan kuasa hukumnya Yusril Ihza Mahendra. Yusril dalam persidangan sempat meminta Mahkamah untuk menentukan berkas permohonan mana yang akan diperiksa.

Sementara KPU kemudian meminta perpanjangan waktu untuk menyiapkan jawaban bila harus berdasarkan pada berkas yang dibacakan pada sidang pendahuluan.

Mahkamah kemudian mengabulkan permohonan KPU dengan menyindir jadwal sidang lanjutan yang seharusnya digelar pada Senin (17/6) pukul 09.00 WIB menjadi Selasa (18/6) pukul 09.00 WIB.

Baik Bawaslu, KPU, serta pihak terkait kemudian diwajibkan menyerahkan berkas berisi jawaban dan keterangan tertulis kepada Mahakamah sebelum sidang pada Selasa (18/6) digelar.

Baca juga: Sidang MK, Denny: Kami sampaikan bukti pendukung bukan hanya tautan

Baca juga: Sidang MK, BPN minta perlindungan saksi

Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2019