Jakarta (ANTARA) - Kawasan pedesaan perlu untuk lebih difokuskan oleh berbagai lembaga/kementerian terkait dalam rangka meningkatkan ekspor pangan sehingga juga bisa turut membantu menambah kontribusi kepada perekonomian nasional.

Anggota Komisi V DPR RI Bambang Haryo Soekartono, Sabtu, mengutarakan harapannya agar Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (DPDTT) mampu membawa Indonesia kembali menjadi pengekspor pangan terbesar di dunia.

Menurut Bambang Haryo Soekartono, desa bisa menjadi kawasan pendukung bagi Kementerian Pertanian dalam meningkatkan produksi pertanian.

Politisi Gerindra dalam rilisnya itu berpendapat bahwa pengelolaan pedesaan di negara maju di luar negeri sangat menonjolkan pertanian sehingga dapat meningkatkan produksi pangan mereka.

"Akhirnya mereka berhasil meningkatkan pangan, sehingga masyarakat desa menjadi sejahtera. Saya harap ini bisa diterapkan di sini," katanya.

Terkait dengan ekspor, Pemerintah juga telah diwartakan sebelumnya agar dapat membuat berbagai langkah kebijakan dalam melakukan rileksasi fiskal guna mendorong penguatan aktivitas ekspor nasional.

"Di samping inovasi dan penguatan SDM, tolong lakukan juga rileksasi fiskal. Sebab, kami ingin mendorong agar kegiatan ekspor dan subsitusi impor kita bisa menguat," kata Anggota Komisi XI DPR RI Johnny G Plate.

Untuk itu, ujar politisi Partai Nasdem tersebut, diusulkan agar tema besar dalam APBN 2020 ditambahkan kata-kata "relaksasi fiskal" guna memperkuat fokus dan gagasan agar produk ekspor Indonesia memiliki tingkat daya saing yang kuat di level mancanegara.

Ke depannya, Johnny yang juga merupakan Anggota Badan Anggaran DPR itu juga ingin fokus kepada pendalaman Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) 2020.

Dengan demikian, lanjutnya, maka juga akan menghasilkan RAPBN 2020 yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan mengantisipasi tidak menentunya kondisi global, seperti perang dagang AS-China.

Sebagaimana diwartakan, Bank Indonesia menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi pada 2019 menjadi di bawah 5,2 persen menyusul penurunan ekonomi global dan juga melemahnya pertumbuhan ekspor yang dikhawatirkan mempengaruhi sumber-sumber lain pertumbuhan seperti konsumsi dan investasi.

"BI perkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia 2019 cenderung berada di bawah titik tengah 5-5,4 persen," kata Gubernur BI Perry Warjiyo di Jakarta, 16 Mei 2019.

Hal tersebut adalah kali pertama di tahun ini Otoritas Moneter merevisi sasaran pertumbuhan ekonominya. Salah satu penyebab perubahan pandangan BI adalah laju perekonomian di kuartal I 2019 yang hanya 5,07 persen atau jauh di bawah ekspektasi BI yang sebesar 5,2 persen.

Perry Warjiyo menyebutkan capaian perekonomian di paruh pertama tahun ini sangat terkendala oleh perlambatan ekonomi global. Khusus untuk sumber pertumbuhan dari ekspor, BI memandang laju ekspor sulit diandalkan untuk memacu signifikan pertumbuhan ekonomi.

Sementara itu, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyebutkan bahwa di tengah meningkatnya tensi perang dagang antara Amerika Serikat dan China telah menyebabkan kinerja ekspor di seluruh negara terganggu atau melambat.

"Tidak ada satu pun negara yang bisa katakan (negara) saya meningkat (ekspornya). WTO sendiri proyeksinya tahun ini 2,6 persen. Hal ini menunjukkan menurunnya daya beli dari seluruh negara," kata Enggar di sela-sela kegiatan Halal Bihalal di Kementerian Perdagangan Jakarta, Rabu (12/6).

Baca juga: CIPS ingatkan kebijakan pangan bukan hanya soal swasembada

Baca juga: Ekonom nilai tekan defisit lewat swasembada pangan dan energi populis

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2019