Volume pasir yang ditambang setiap hari diperkirakan lebih 300 ritase (asumsi 100-an truk dengan frekuensi pengangkutan sehari tiga kali) dengan masing-masing pengangkutan mencapai rata-rata 5-7 kubik
Tulungagung, Jatim (ANTARA) - Dasar Sungai Brantas yang membentang mulai Blitar hingga Tulungagung, Jawa Timur, mengalami penurunan antara 5-10 meter selama kurun dua tahun terakhir akibat aktivitas penambangan pasir ilegal/liar yang berlangsung masif di wilayah tersebut.

"Aktivitas penambangan telah merusak kontur sungai sangat parah karena berlangsung sangat masif dan terus-menerus," kata Kepala Sub Divisi I/3 Perum Jasa Tirta I Wonorejo Hadi Witoyo di Tulungagung, Sabtu (15/6).

Ia tak menyebut spesifik titik-titik mana yang mengalami penurunan. Menurut penjelasan Hadi Witoyo, penurunan dasar sungai rata-rata di kisaran tujuh meter.

Namun kondisi paling parah diyakini terjadi setidaknya di 15 titik konsentrasi galian tambang pasir liar di wilayah Ngantru, terutama timur Jembatan Ngujang, Ngunut dan Rejotangan.

"Padahal minimal setahun sekali kami sudah lakukan 'flushing' (penggelontoran) pintu air Bendung Jegu dan Lodaya di Blitar sebagai upaya menormalisasi dasar sungai. Tapi tetap saja dasar sungai turun karena aktivitas penambangan memang sangat masif," ujarnya.
Petugas memasang papan pengumuman larangan menambang material pasir dan sirtu di sepanjang aliran Sungai Brantas, Ngantru, Tulungagung, Jawa Timur, Sabtu (14/6) (Destyan Handri Sujarwoko)

Aktivitas penambangan pasir di tiga daerah ini, khususnya Ngantru memang nyaris tidak terkendali.

Selama lebih dari tiga tahun, aktivitas penambangan pasir ilegal atau luar itu dilakukan terbuka tanpa sekalipun tersentuh penindakan aparat, baik kepolisian maupun Satpol PP Jatim.

Volume pasir yang ditambang setiap hari diperkirakan lebih 300 ritase (asumsi 100-an truk dengan frekuensi pengangkutan sehari tiga kali) dengan masing-masing pengangkutan mencapai rata-rata 5-7 kubik.

"Volume yang ditambang bisa dihitung sendiri kalau dengan gambaran kasar seperti itu," ujarnya.

Hadi Witoyo enggan menyebut nilai kerugian negara yang diakibatkan penambangan pasir liar tersebut.

Namun dengan asumsi per ritase dump truk harga jual mencapai Rp600 ribu (harga terendah untuk jarak pendek), maka dalam sehari omzet pasir yang diperjualbelikan bisa mencapai Rp180 juta atau dalam sepekan bisa tembus kerugian sekitar Rp1,26 miliar.

"Angka riil (kerugian) bisa jadi jauh lebih besar dibanding perkiraan," katanya.

Atas dasar kondisi sungai Brantas yang semakin buruk itulah,Perum Jasa Tirta selaku pengelola DaS Brantas mulai aktif melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan dini masalah penambangan pasir liar di sepanjang Sungai Brantas.

Salah satunya, lanjut dia, yakni dengan melakukan sosialisasi dan pemasangan tanda peringatan bahwa semua jenis penambangan material tanah, batu, sirtu maupun tanah urug tanpa disertai izin yang sah dilarang oleh negara dan diancam hukuman maksimal 10 tahun atau denda maksimal Rp10 miliar.
 

Pewarta: Destyan H. Sujarwoko
Editor: Ridwan Chaidir
Copyright © ANTARA 2019