Jakarta (ANTARA News) - Mantan Presiden Soeharto mangkat. Setelah dirawat selama 24 hari di Rumah Sakit Pusat Pertamina, penguasa Orde Baru ini menghadap Sang Pencipta pada 27 Januari 2008, pukul 13.10 WIB. Sebagai sosok Bapak Pembangunan atas jasa-jasanya selama 32 tahun memimpin negeri ini, kepergian Soeharto tentu juga memberikan warna-warni kehidupan berpolitik, berbangsa dan bernegara bagi rakyat Indonesia. Kepergian Soeharto untuk selama-lamanya menyusul almarhumah Ibu Tien Soeharto, diiringi doa dan isak tangis anggota masyarakat yang ditandai dengan pengibaran bendera setengah tiang selama tujuh hari sejak 27 Januari 2008, dan dinyatakan sebagai Hari Berkabung Nasional. Ucapan turut berduka terus berdatangan. Sebagai penghormatan, media cetak dan elektronik seakan tidak henti-hentinya menyiarkan pemberitaan Soeharto, dengan diiringi lagu-lagu perjuangan, dan lagu-lagu kepahlawanan. Rasa simpati terhadap Soeharto pasti ada, namun tokoh sentral pada masa Orde Baru itu juga tidak lepas dari hujatan berbagai pihak terkait kasus-kasus kemanusiaan selama kepemimpinannya. Sejak dirawat kembali di RSPP pada 4 Januari 2008 dan beberapa kali memasuki masa kritis dan hingga akhirnya meninggal dunia, isu yang berkembang di masyarakat adalah pro kontra pemberian maaf kepada "Jenderal Besar" tersebut. Media massa selain memberitakan perkembangan kesehatan Soeharto detik demi detik, juga memfokuskan pemberitaan terkait status hukum Soeharto menyangkut pengelolaan sejumlah yayasan yang didirikannya yang hingga akhir hayatnya tidak diselesaikan. Setidaknya, tujuh yayasan yang dinyatakan dana awal pendiriannya didapat dari APBN yaitu Yayasan Supersemar, Dana Sejahtera Mandiri, Trikora, Dharmais, Dana Abadi Karya Bakti, Amal Bhakti Muslim Pancasila, dan Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan. Usulan agar ada pemberian maaf kepada mantan Presiden Soeharto serta usulan mengesampingkan perkara pidananya (deponering) terus berdatangan. Namun sepertinya, tidak bagi para korban yang mengaku dizalimi selama Orde Baru. Soeharto juga dinilai sebagai penguasa atau bekas diktator militer, sebagai manusia zalim di balik senyum, dihujat sebagai pembunuh jutaan bangsanya sendiri, pemimpin yang busuk dan licik, sebagai koruptor nomor satu di dunia. "Maaf", atau "memberi maaf" bukankah perkataan atau tindakan yang sesungguhnya manusiawi, apalagi ditinjau dari sudut keagamaan? Lalu bagaimana pula dari sisi sosial, hukum dan politik? Pemberian maaf oleh masyarakat terutama yang pernah merasa menjadi "korban" atas segala kekurangan atau kekhilafan yang dilakukan putra kelahiran Kemusuk, Jogjakarta ini, tidak bisa dijadikan ukuran. Sehingga yang menjadi sangat penting dalam masalah ini adalah pemberian maaf dari Kepala Negara, yaitu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tokoh politik Amien Rais gencar meminta agar masyarakat memaafkan Soeharto. Meski mengusulkan permohonan maaf, namun mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat RI (MPR-RI) ini menegaskan masalah hukum yang sedang menimpa mantan Presiden Soeharto sebaiknya jalan terus, dan harus dipisahkan dengan proses kemanusiaan. "Masalah hukum jalan terus dalam koridor hukum," kata Amin. Pemerintah melalui Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi Seskab Sudi Silalahi mengatakan, Presiden Yudhoyono tidak berhak memberikan maaf atau pengampunan kepada mantan Presiden Soeharto karena belum ada keputusan hukum yang tetap terhadap Soeharto. Sejatinya, hak seorang presiden di bidang hukum adalah memberikan grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi dan itu pun tidak bisa semena-mena dilakukan karena harus melalui proses hukum. Grasi diberikan setelah adanya putusan perkara dan yang bersangkutan meminta pengampunan kepada presiden. Amnesti diberikan untuk kasus-kasus politik seperti kepada anggota GAM yang meletakkan senjata dan kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Abolisi adalah penghapusan tuntutan pidana yang juga lebih banyak sebagai keputusan politik seperti yang diberikan oleh Bung Karno kepada semua orang yang sebelum tanggal 27 Desember 1949 telah melakukan suatu tindak pidana yang nyata akibat dari persengketaan politik antara Republik Indonesia (Yogyakarta) dan kerajaan Belanda. Sedangkan rehabilitasi adalah pemulihan nama baik atau pun hak politik maupun hak milik lainnya dari seseorang. Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng mengatakan, sistem hukum di Indonesia berbeda dengan di Amerika Serikat yang mengenal istilah "pardon" (memaafkan/mengampuni). Andi menceritakan, ketika Presiden AS Gerald Ford menggantikan Richard Nixon yang mengundurkan diri akibat kasus Watergate memberikan "pardon" kepada Nixon sehingga kesalahan Nixon baik yang dilakukan secara langsung maupun yang didakwa oleh pengadilan dihapus secara keseluruhan. Ketika itu, Nixon bahkan belum dituntut ke pengadilan. Pemberian grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi pun tidak dapat dilakukan begitu saja oleh presiden. UUD 45 mengatur bahwa "presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan MA. Selanjutnya, presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR. Kekhawatiran akan berdampak buruk jika Presiden memberikan maaf kepada Soeharto juga disampaikan, pengacara kondang Adnan Buyung Nasution. "Presiden di-"impeach" (makzul) jika memberikan pengampunan kepada mantan Presiden Soeharto tanpa melalui proses pengadilan. Pengampunan harus tetap dilakukan setelah ada proses pengadilan meski telah ada Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP)," katanya. Mantan Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra sependapat dengan Amien Rais. "Landasan pemikirannya adalah moralitas keagamaan. Sudah lewat empat Presiden, hingga sekarang langkah hukum menangani kasus mantan Presiden itu tak kunjung tuntas," kata ahli hukum tata negara ini. Karena pijakannya adalah moral keagamaan, yang tentu tak relevan dibantah dari sudut pandang hukum tatanegara. "Memaafkan orang yang melakukan kesalahan, adalah tindakan yang dianjurkan oleh agama. Tidak ada manusia yang luput dari kesalahan," tegasnya lagi. Maaf atas Nama Rakyat Lalu bagaimana kalau yang memaafkan itu Presiden Yudhoyono atas nama rakyat Indonesia? Menurut Ketua Umum Partai Bulan Bintang ini, landasan hukum Presiden memberi maaf (dalam makna harfiah) tidak ada dalam hukum tata negara kita. "Di antara keempat hak Presiden sesuai dengan pasal 14 UUD 1945, sampai sekarang baru grasi yang diatur dengan undang-undang. Ketiga hak lainnya, belum ada undang-undang yang mengaturnya," katanya. Kalau ditelaah keempat hak Presiden ini, yang paling mungkin dilakukan ialah memberikan rehabilitasi untuk memulihkan harkat, martabat dan nama baik seseorang, yang oleh sesuatu sebab dianggap telah tercemarkan. Sekitar pertengahan Mei 2006, pemerintahan Presiden Yudhohoyono pernah membahas masalah ini yang melibatkan sejumlah menteri, dan kemudian melibatkan para ketua lembaga-lembaga negara. Kesimpulan pertemuan itu adalah semuanya sepakat kalau Presiden Yudhoyono memberikan rehabilitasi, bukan saja kepada mantan Presiden Soeharto, tetapi juga kepada mantan Presiden Soekarno. Permasalahan hukum yang menyangkut mantan Presiden Soekarno di satu sisi ada unsur kesamaannya, tetapi tentu perbedaan latar belakangnya cukup besar. Sisi kesamaannya itu ialah adanya Ketetapan MPRS dan MPR. Tentang mantan Presiden Soekarno Ketetapan MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 Pasal 6 yang menyatakan "Menetapkan penyelesaian persoalan hukum selanjutnya yang menyangkut Dr. Ir. Sukarno, dilakukan menurut ketentuan-ketentuan hukum dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan, dan menyerahkan pelaksanaannya kepada Pejabat Presiden". Namun hingga wafatnya mantan Presiden Soekarno, "penyelesaian persoalan hukum" itu tidak pernah dilakukan. Masalah ini menjadi selesai dengan wafatnya mantan Presiden Soekarno. Terhadap mantan Presiden Soeharto, kata Yusril --yang juga pernah menjadi staf kepresidenan pada masa pemerintahan Soeharto, Habibie, Gusdur dan Megawati ini--, Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 pasal 4 menyatakan "Upaya pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak asasi manusia". "Seandainya esok, lusa mantan Presiden Soeharto dipanggil menghadap Allah SWT, maka segala tuntutan pidana atas beliau, juga otomatis gugur demi hukum, sama halnya seperti tuntutan terhadap mantan Presiden Soekarno," kata Yusril seperti tertulis dalam situsnya beberapa pekan sebelum berujungnya hidup mantan Presiden Soeharto. Jaksa Agung Hendarman Supandji sebagai Jaksa Pengacara Negara (JPN) mencoba menyelesaikan gugatan perdata kepada mantan Presiden Soeharto dengan cara "win win solution" dengan mengusulkan penyelesaian di luar sidang pengadilan (out of court sattelement). Namun hal itu menimbulkan saling bantah di kalangan petinggi negara, termasuk bantahan oleh Presiden sendiri, dan para pengacara mantan Presiden Soeharto. Polemik soal memberi maaf terus bergulir, bahkan dua partai besar yaitu Partai Keadilan Sosial (PKS), dan Partai Golkar telah resmi mengusulkan kepada DPR memberi maaf kepada mantan Presiden Soeharto. Muncul juga polemik, bahwa pemberian maaf akan dilakukan jika yang bersangkutan meminta maaf terlebih dahulu. Soal ini, kuasa hukum Cendana, Juan Felix Tampubolon mengatakan, mantan Presiden Soeharto telah mengucapkan permintaan maaf pada bangsa Indonesia. "Perlu diingat saat lengser (21 Mei 1998--red), dalam pidatonya Presiden Soeharto telah menyampaikan permintaan maaf. Jadi kalau ini (permintaan maaf) diulang-ulang menurut saya sudah basi. Mungkin ada kepentingan politik," kata. Selain dalam pidato saat "lengser keprabon" dan menjadi arsip Sekretariat Negara, Soeharto juga jelas-jelas menulis permohonan maaf kepada bangsa dan negara ini. Dalam secarik kertas, Soeharto menuliskan "atas bantuan dan dukungan rakyat selama saya memimpin negara dan bangsa Indonesia ini, saya meminta maaf bila ada kesalahan dan kekurangannya. Semoga bangsa Indonesia tetap jaya dengan Pancasila dan UUD 1945-nya". Terkait surat tersebut, Juan Felix mengatakan, permintaan sejumlah pihak agar Pak Harto dimaafkan juga tidak tepat. "Apa yang mau dimaafkan kalau putusan bersalah tidak ada. Jadi harus ada keputusan hukum yang menyatakan Pak Harto bersalah kepada bangsa Indonesia sehingga harus dimaafkan," katanya. Silang sengkarut masih berlanjut, ada juga usulan agar perdamaian dilakukan dengan meminta kerelaan keluarga atau ahli waris dan seluruh pengurus yayasan, dengan sukarela menyerahkan seluruh aset yayasan yang didirikan di masa Orde Baru itu kepada negara untuk dimiliki dan dikelola oleh negara untuk kepentingan rakyat. Tentu, sambil menunggu proses hukum, dan demi baiknya kelanjutan bangsa ini semua pihak mendoakan agar segala amal dan perbuatan Bapak Pembangunan tersebut diterima penciptanya. Juga, perlu jiwa besar untuk memaafkan sang Jenderal, karena walau bagaimanapun tercatat sederet prestasi dan nilai-nilai positif yang sudah ditorehkannya demi memajukan bangsa ini. "Selamat Jalan Pak Soeharto". "Selamat Jalan Bapak Pembangunan".(*)

Pewarta: Oleh Roike Sinaga
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008