Jakarta (ANTARA) - Kemacetan lalu lintas telah menjadi pemandangan sehari-hari yang menghiasi Kota Jakarta.

Kemacetan dan kepadatan lalu lintas tidak hanya di jalan-jalan protokol tetapi juga di jalan-jalan kolektor, lokal, bahkan jalan lingkungan.

Bahkan mereka yang menghuni di Kota Jakarta baru keluar dari komplek perumahan sudah dihadang lalu lintas yang padat. Kondisi demikian menjadi problem juga di kawasan penyangga Jakarta seperti Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Bodetabek).

Menurut pengamat properti Ali Tranghanda, lokasi hunian yang jauh dari tempat kerja menjadi salah satu penyumbang terjadinya kemacetan lalu lintas terutama di saat jam-jam sibuk. Berbeda kalau hunian dekat dengan tempat kerja bahkan cukup dijangkau dengan berjalan kaki maka kemacetan akan terhindarkan.

Ali melihat tingginya harga tanah di Jakarta membuat masyarakat harus mencari lokasi hunian jauh dari pusat kota. Padahal sebagian besar masyarakat di Bodetabek bekerja di Jakarta.

Inilah yang membuat kemacetan menjadi pemandangan yang biasa di Jakarta.

Memang kondisi lalu lintas di Jakarta tidak separah apabila dibandingkan dengan Mumbai, Bogota, New Delhi dan Moskow. Namun dengan kondisi seperti sekarang tidak tertutup kemungkinan sudah memasuki tahap lampu kuning.

Dalam arti apabila tidak ada solusi jitu, Jakarta akan bernasib sama dengan kota-kota tersebut.

Pemerintah memang memiliki segudang solusi untuk mengatasi persoalan hunian ini. Salah satu yang kini diusung hunian berkonsep transit oriented development (TOD) atau lebih akrabnya disebut sebagai hunian nempel stasiun atau hunian bertetangga stasiun.

Kunci dari konsep ini dengan merumahkan masyarakat di lokasi dekat-dekat stasiun transportasi publik. Hal ini akan membuat mereka beralih dari kendaraan pribadi menggunakan transportasi publik sehingga pada akhirnya mengurangi penggunaan kendaraan pribadi.

Solusi berikutnya dengan membangun hunian berdekatan dengan lokasi kerja. Harapannya dengan masyarakat mudah menjangkau tempat kerja, mereka akan meninggalkan kendaraan pribadi karena cukup ditempuh dengan berjalan kaki atau angkutan umum.

Baca juga: Jakarta akan jadi destinasi utama pasar properti Asia

Harga
Persoalannya untuk mewujudkan hunian semacam itu bukanlah perkara mudah. Apalagi untuk ukuran Jakarta bahkan kota-kota penyangga Bodetabek harga tanah sudah demikian tinggi.

Kalau dipaksakan juga maka harga hunian menjadi mahal sehingga yang mampu membeli justru masyarakat menengah atas atau bahkan investor (untuk disewakan lagi).

Seperti konsep TOD di stasiun komuter Tanjung Barat dan Pondok Cina ternyata untuk harga paling murah kisarannya Rp300 juta. Itupun unit dengan harga tersebut sudah habis sehingga kalau anda ingin membeli unit sekarang maka tenaga pemasar akan menyodorkan dengan harga Rp500 juta.

Ali Tranghanda menilai harga hunian dekat stasiun LRT/MRT sebesar Rp500 juta itu masih terlalu mahal bagi kebanyakan warga Jakarta. Apalagi unit Rp300 juta yang ditawarkan merupakan tipe studio yang tidak layak untuk penghuni yang sudah berkeluarga.

Menurut Ali  dengan harga apartemen seperti itu, maka masyarakat baru bisa membeli bila penghasilannya paling tidak Rp15 juta per bulan. Padahal angka itu bukanlah gaji rata-rata karyawan Jakarta saat ini.

Diperkirakan rata-rata penghasilan karyawan perkotaan saat ini hanya sebesar Rp7 jutaan perbulan. Dengan gaji tersebut maka properti yang dapat dibeli adalah seharga Rp250-300 jutaan. Itu pun relatif masih berat.

Dua atau tiga tahun yang lalu, harga apartemen TOD masih ditawarkan dengan harga Rp250-300 jutaan dan pasar merespon dengan cukup baik. Namun dengan semakin mahalnya apartemen yang ditawarkan maka tujuan untuk mengurangi backlog (kesenjangan permintaan dan pasokan) semakin menjauh.

Dengan banyaknya BUMN yang masuk ke pengembangan properti TOD, maka keberpihakan BUMN "Hadir untuk Negeri" dipertaruhkan. Porsi untuk apartemen murah harusnya dapat ditingkatkan, karena tidak semata-mata mendulang untung, namun ada misi sosial yang seharusnya dikedepankan oleh BUMN.

Kenaikan harga tanpa disertai dengan kemampuan pasar, membuat mismatch terjadi pada pasar apartemen TOD saat ini. Diyakini tingkat penjualan pun akan mengalami penurunan bila proyek-proyek tersebut hanya berhitung keuntungan di atas kertas tanpa melihat kapasitas pasar yang ada.

Baca juga: Tiga area ini jadi favorit properti Jabodetabek

Perlu kebijakan
Sedangkan Ketua Umum Persatuan Perusahaan Real Estat Indonesia (REI) Soelaeman Soemawinata mengatakan kota padat penduduk seperti DKI Jakarta membutuhkan Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) yang dilengkapi zona khusus untuk rumah rakyat.

Keberadaan zona khusus rumah rakyat di dalam RDTR diyakininya lebih efektif membantu Program Sejuta Rumah (PSR) yang sedang digiatkan pemerintah baik dari sisi permintaan atau kebutuhan masyarakat maupun penyediaan (pasokan) dari pengembang.

Sebab dengan zona khusus yang harga lahannya terkendali, maka pengembang rumah subsidi yang selama ini kesulitan mencari lahan terjangkau di dekat kota akan sangat terbantu.

Namun sukses atau tidaknya pengembangan zona khusus ini, menurut Soelaeman, sangat tergantung kepada dua syarat. Yakni pemerintah harus mendukung penuh pembangunan infrastruktur kawasan zona khusus rumah rakyat dan syarat kedua pemerintah daerah harus tegas melakukan pengawasan dan penegakan hukum terhadap pemanfaatan lahan di zona tersebut.

Pengawasan oleh pemerintah daerah penting sekali. Artinya kalau di zona itu khusus rumah MBR, maka tidak bisa dijual--
​​misalnya--kepada pengembang rumah komersial.

"Harus tegas sesuai peruntukkannya, ada law enforcement di situ," ujar Soelaeman.

Baca juga: Pengembang Singapura tambah enam properti di Jakarta

Belum Jelas
Bagi Ali Tranghanda, kerja Pemprov DKI belum jelas terutama untuk hunian dengan harga terjangkau. Padahal ada beberapa kebijakan yang dapat dikeluarkan untuk mengatasi persoalan itu.

Sebagai gambaran soal reklamasi seharusnya menjadi kebijakan yang strategis untuk mengatasi persoalan lahan yang dibutuhkan untuk permukiman. Namun setelah berpolemik sekian lama mengenai lanjut atau tidaknya reklamasi saat pilkada DKI, kini Gubernur DKI Anies Baswedan menyetujui untuk dilanjutkan.

Ini menunjukkan lahan di kota besar DKI sudah menjadi problem yang sangat serius sehingga untuk mencari hunian melalui reklamasi merupakan upaya yang harus diambil.

Ali juga mengingatkan untuk mengendalikan harga tanah di DKI dengan cara membebaskan Pajak Bumi dan Bangunan untuk Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) di bawah Rp1 miliar sehingga penghuni tidak terkendala dengan kenaikan harga tanah di sekitarnya yang memicu terjadinya spekulasi.

Menurut Ali, kalau melihat kondisi di DKI saat ini kenaikan PBB sudah terlalu tinggi rata-rata di atas 10 persen per tahun.

Apabila harga tanah dapat dikendalikan terutama untuk hunian bertingkat maka masyarakat tentunya tidak akan kesulitan untuk memiliki rumah baik di kawasan Bodetabek untuk konsep TOD maupun di pusat kota Jakarta.

Namun sepanjang hal itu tidak tercapai, kesenjangan rumah di Jakarta akan tetap menjadi persoalan.
Baca juga: Praktisi sebut banyak cara membeli rumah di usia muda
Baca juga: Ada MRT, Sri Mulyani: properti di pinggiran Jakarta akan jadi incaran
Baca juga: Cari rumah di pinggiran wilayah Jakarta? simak review singkatnya berikut ini

Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2019