Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Eddy Hiariej berpendapat telah terjadi lompatan logika dalam permohonan pemohon perkara sengketa hasil Pemilu Presiden 2019.

"Kuasa hukum pemohon kemudian mengajukan tujuh petitum dan bertambah menjadi 15 petitum dalam perbaikan permohonan, celakanya di satu sisi antara fundamentum petendi dan petitum terjadi lompatan logika," ujar Eddy di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Jumat.

Hal itu dikatakan Eddy ketika memberikan keterangan selaku ahli yang dihadirkan pihak terkait atau kubu Jokowi-Ma'ruf, dalam sidang lanjutan sengketa hasil Pemilu Presiden 2019 di Mahkamah Konstitusi, yang dimohonkan oleh pasangan Prabowo-Sandi.

Lompatan logika tersebut terjadi di beberapa poin petitum permohonan pemohon yang kemudian dijabarkan oleh Eddy.

Pertama terkait permohonan kuasa hukum pemohon yang meminta Mahkamah Konstitusi membatalkan Penetapan Hasil Pilpres oleh termohon (KPU). Menurut Eddy permohonan ini tidak logis karena dalil yang dikemukakan pemohon atas kesalahan termohon dalam menetapkan hasil pilpres tidak cukup kuat.

Baca juga: Sidang MK, ahli: jangan ajak MK menjadi "Mahkamah Kliping"

"Kuasa hukum pemohon meminta Mahakamah mendiskualifikasikan Pasangan Calon 01, tapi dari mana Mahkamah memiliki kewenangan untuk mendiskualifikasikan pasangan calon presiden dan wakil presiden," kata Eddy.

Pada poin ketiga Eddy membahas permohonan pemohon yang meminta Mahkamah menetapkan pasangan Prabowo-Sandiaga sebagai Presiden dan Wakil Presiden, sedangkan di sisi lain pemohon meminta kepada Mahkamah agar memerintahkan KPU untuk melaksanakan Pemilu Ulang.

"Logika hukum yang benar atas dasar akal sehat, ketika, Pemilu dinyatakan tidak sah dan harus diulang, maka seyogyanya status quo, bukan menetapkan pasangan calon lain sebagai pemenang kemudian di saat yang sama dilakukan pemilu ulang," pungkas Eddy.

Baca juga: Sidang MK, saksi sebut Jokowi hadiri pelatihan saksi TKN

Pewarta: Maria Rosari Dwi Putri
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2019