Ini indikator awal. Menurut strategi blitzscaling atau memperbesar skala perusahaan rintisan (start up) dengan sangat cepat, dalam kondisi ketika perusahaan masih sangat membutuhkan konsumen maka penerapan denda merupakan hal tabu yang wajib dihindar
Jakarta (ANTARA) - Ekonom Universitas Indonesia (UI) Harryadin Mahardika menilai penerapan denda atas pembatalan order oleh salah satu operator transportasi dalam jaringan (daring) di Indonesia kepada penumpang sebagai indikasi awal bahwa perusahaan tersebut sudah mendapatkan target pasar yang diinginkan.

"Ini indikator awal. Menurut strategi blitzscaling atau memperbesar skala perusahaan rintisan (start up) dengan sangat cepat, dalam kondisi ketika perusahaan masih sangat membutuhkan konsumen maka penerapan denda merupakan hal tabu yang wajib dihindari oleh perusahaan. Namun, ketika ada denda dalam penggunaan aplikasi maka ini artinya kita sudah bisa mengindikasikan bahwa perusahaan itu sudah mencapai skala yang diharapkan yaitu berhasil meraih pasar atau konsumen yang sesuai dengan targetnya," ujar Harryadin di Jakarta, Jumat.

Dia menambahkan bahwa penerapan denda itu juga menandakan bahwa perusahaan itu mulai sedikit beralih ke permainan bisnis yang lain dari strategi blitzscaling, seperti menjaga biaya produksinya agar tidak terlalu tinggi.

"Menurut saya, dalam persaingan tranportasi online yang duopoli ini, di mana promosi tidak lazim (predatory promotion) dilakukan secara gencar oleh salah satu operator maka hal ini menyebabkan terjadinya migrasi pengguna dari operator transportasi online lainnya ke operator yang melakukan praktek promosi tak lazim itu," katanya.

Untuk mendapatkan konsumen yang baru, lanjutnya, operator transportasi daring itu mengalami keterbatasan karena jenis konsumen itu perlu diedukasi dan berada di kota-kota baru.

"Kalau konsumen di Jakarta saya pikir sudah tidak perlu diedukasi lagi, sehingga yang bisa dilakukan adalah mengambil atau dibuat beralih ke operator transportasi online tersebut," ujar Harryadin.

Dengan demikian pesaing operator transportasi daring tersebut akhirnya memilih bertahan, karena dalam logika pembuatan keputusan versi game theory sang pesaing menjadi perusahaan dengan sumber daya lebih kecil sehingga dia tidak akan mengikuti langkah serupa dengan menerapkan denda atas pembatalan order.

Sebelumnya Head of Public Affairs Grab Indonesia Tri Sukma Anreianno mengatakan mulai 17 Juni 2019 Grab memberlakukan uji coba biaya pembatalan di Lampung dan Palembang dimana 100 persen dari biaya pembatalan akan diberikan kepada mitra pengemudi atas waktu dan upayanya menuju lokasi jemput penumpang.

Begitu pula jika mitra pengemudi Grab yang melakukan pembatalan perjalanan, penumpang tidak akan dikenai biaya.

Penerapan denda itu menuai respons keras dari Direktur Angkutan Jalan Kementerian Perhubungan Ahmad Yani yang menilai denda yang dikenakan kepada calon penumpang akibat pembatalan pemesanan Grab taksi dan ojek adalah pencurian.

Menurut Yani, hak calon penumpang untuk membatalkan pemesanan, tetapi tidak untuk pengemudi.

Dia juga menjelaskan terkait denda belum diatur dalam peraturan ojek daring maupun taksi daring, yakni Peraturan Menteri Nomor 12 Tahun 2019 Perlindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 118 tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Angkutan Sewa Khusus. Yani mengaku akan mengkaji pemberlakuan dari Grab tersebut, terutama mengenai dampaknya di masyarakat.

Baca juga: Denda pembatalan pesanan Grab, Kemenhub: Itu pencurian

Baca juga: Pengemudi ojek daring dukung larangan GPS demi keselamatan, keberatan besaran denda

Baca juga: Dishub: Mau eksis di Jakarta, transportasi daring harus berbenah

 

Pewarta: Aji Cakti
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2019