Jakarta (ANTARA) - "Happy birthday to you, happy birthday to you, happy birthday bang Novel, happy birthday to you," lagu karangan Mildred dan Patty Hill dengan menambahkan nama Novel tersebut kompak dinyanyikan sekitar 10 orang di auditorium gedung Anti-Corruption Learning (ACLC) KPK Jakarta, Kamis (20/6) sore.

Sambil bernyanyi, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana membawa kue tar berhiaskan buah jeruk dan kiwi serta cokelat lengkap dengan krim di setiap sisinya. Dua lilin tampak menyala di atas kue tersebut.

Kurnia lalu membawa kue dan rombongan ke hadapan penyidik KPK Novel Baswedan sebagai orang yang merayakan pertambahan usia pada sore itu. Novel tersenyum, lalu tertawa kecil. Dia tidak tampak terkejut, tetapi juga terlihat gembira. Sambil merapikan posisi topi yang sesungguhnya tidak berantakan, dia pun mengucapkan harapan pada hari jadinya itu.

"Tentunya kita semua yang ada di KPK atau orang-orang yang concern dengan pemberantasan korupsi, eh gue ngomong kaku, ya?" kata Novel belum sempat menyelesaikan kalimatnya.

"Kaku banget," sambut rombongan pembawa kue yang terdiri atas para aktivis antikorupsi dan pegawai KPK itu.

"Harapannya semoga kita semua lebih baik ke depan, semoga KPK makin bisa berdaya untuk mengungkap kasus-kasus korupsi, semoga pemerintah memberikan perhatian kepada masalah pemberantasan korupsi dan dapat diberantas dengan efektif," kata Novel menyelesaikan kalimatnya.

Selanjutnya, Novel pun meniupkan dua nyala lilin di atas kue, lalu berucap: "Terima kasih semuanya."

Perayaan kecil itu setelah acara "KPK Harus Mati" yang merupakan diskusi 800 Hari Novel di mata Sahabat Muda yang diadakan oleh Wadah Pegawai KPK dan ICW. Artinya, 800 hari setelah dia mengalami penyerangan oleh dua orang pengendara motor pada tanggal 11 April 2017 seusai salat Subuh di Masjid Al-Ihsan dekat rumahnya.

Pelaku menyiramkan air keras ke kedua mata Novel sehingga mata kirinya tidak dapat melihat karena mengalami kerusakan dan harus dipasang bola mata cangkok dari gigi dan gusi Novel, sedangkan mata kanannya yang awalnya hanya sedikit terpapar air keras belakangan juga terus mengeluarkan air mata.

800 Hari

Perayaan kecil-kecilan ulang tahun ke-42 Novel Baswedan tersebut memang bertepatan dengan 800 hari penyerangan Novel yang sampai saat ini masih menjadi misteri. Perayaan itu juga hanya berselang 1 hari dari ulang tahun Presiden Joko Widodo pada tanggal 21 Juni 2019.

Pada hari Kamis (21/6), KPK memfasilitasi penyidik Polda Metro Jaya yang didampingi oleh tim asistensi ahli atau tim gabungan yang sudah dibentuk oleh Kapolri untuk memeriksa Novel sebagai saksi kasus penyerangan air keras. Sebelumnya, pemeriksaan terhadap Novel juga telah dilakukan saat Novel masih dirawat di Singapura.

Kapolri Jenderal Pol. Tito Karnavian memang sudah mengeluarkan surat nomor Sgas/3/I/HUK.6.6./2019 pada tanggal 8 Januari 2019 untuk membuat tim gabungan yang bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan atas kekerasan yang terjadi kepada Novel Baswedan. Surat tugas tersebut berlaku selama 6 bulan mulai 8 Januari 2019 sampai dengan 7 Juli 2019.

Namun, menurut Novel, tidak ada hal baru dalam pemeriksaannya tersebut.

Baca juga: Novel Baswedan sebut tidak ada hal baru dalam pemeriksaannya

"Sesuai dengan permintaan, pemeriksaan saya sudah memberikan keterangan dan ternyata hal-hal yang ditanyakan 'kan tidak menunjukkan ada progres yang baru. Bahkan, saya bisa katakan hampir semua keterangan yang saya sampaikan adalah keterangan yang pernah saya sampaikan atau barangkali ada sedikit koreksi atau penambahan itu pun sangat sedikit, tidak terlalu substansi," ungkap Novel.

Meski ia sudah memafkan pelaku penyerangan, kasus tersebut harus tetap diungkapkan kebenarannya kepada publik.

"Ketika saya diserang, saya memaafkan pelaku dan ikhlas. Akan tetapi saya sadar di KPK masih ada kawan-kawan yang bertugas untuk memberantas korupsi dan masih ada peluang bagi mereka diserang," ungkap Novel.

Bila KPK atau pihak kepolisian bersikap kompromi dan memaklumi perbuatan penyerangan tersebut, menurut Novel, berarti membiarkan KPK ditargetkan oleh orang-orang jahat yang berusaha melemahkan pemberantasan korupsi.

"Saya bicara dengan beberapa rekan dan pimpinan, dan dalam alam pandangan saya, perlindungan terbaik untuk pegawai KPK adalah ketika ia diserang maka harus dibuka ke publik dan jangan dimaklumi. Ketika pegawai KPK bekerja lalu ditodong, KPK seharusnya mempermasalahkan itu dan membuat klarifikasi jelas sehingga besok-besok tidak ada yang melakukan itu. Namun, sampai sekarang hal ini dilakukan," tambah Novel.

Buktinya, sejak awal kejadian penyerangan, dia sudah mengatakan bahwa kasusnya tidak akan diungkap ke publik. Hal tersebut terbukti hingga saat ini.

"Kalau didiamkan, dan kita semua diam, saya khawatirkan koruptor atau siapa pun itu berani memesan bandit bayaran untuk melakukan penyerangan," tegas Novel.

Hal itu setidaknya terbukti dari pengiriman benda mencurigakan mirip bom ke rumah dua orang pimpinan KPK Agus Rahardjo dan Laode M. Syarif pada tanggal 9 Januari 2019. Selanjutnya, penyelidik KPK pun sempat dipukuli saat bertugas oleh sejumlah orang di hotel Borobudur pada tanggal 2 Februari 2019. Namun, hingga saat ini kelanjutkan kasus-kasus yang sudah dilaporkan ke kepolisian itu tidak ketahuan ujungnya.

"Kalau orang bikin teror malah diapresiasi apakah dia akan berbuat lagi atau tidak? Pasti akan berbuat lagi, jadi ini ancaman serius dan menjadi risiko baru yang kita tidak tahu kapan lagi terjadi penyerangan selanjutnya," jelas Novel.

Jadi, sampai kapan para korban harus menanti?

Kurang Membumi

Dalam acara "KPK Harus Mati" itu juga terkuak bahwa isu korupsi, KPK, hingga Novel Baswedan memang bukan isu yang dipahami oleh masyarakat umum. Hal itu terungkap dari pernyataan pengisi podcast Kejar Paket Pintar Laila Achmad dan Dara Hanafi.

Laila dan Dara merupakan pengisi konten podcast Kejar Paket Pintar yang banyak bicara soal fenomena sosial, pop culture, politik, buku, film hingga korupsi. Keduanya pun sempat membuat podcast berjudul "Air Keras Nggak Lumpuhkan Integritas" pada tanggal 20 April 2019 yang berisi wawancara mereka dengan Novel Baswedan.

"Kami memang berusaha membumikan isu ini dengan bahasa orang awam. Ada banyak istilah yang tidak dimengerti orang awam, banyak yang tidak tahu komisoner KPK siapa juga dan tanggapan kedua tentu saja banyak sekali yang mengirimkan pesan kepada saya, ada agenda apa? Mas Novel ini kepentingan politik apa?" kata Laila.

Laila mengatakan bahwa para pendengarnya kebanyakan adalah generasi milenial berusia sekitar 20-an tahun dan masih cenderung pasif terhadap isu korupsi.

"Mereka belum dekat dengan isu KPK dan korupsi. Saat kami ambil Mas Novel Baswedan untuk direkam dan ditayangkan tanggapannya juga banyak menyebutkan 'wah hebat', persepsinya sosok Mas Novel di atas banget, seperti KPK di atas banget artinya, ya, ini lembaga yang penuh risiko, ada jarak yang tidak nyambung dengan masyarakat dan podcast kami berusaha membumikannya meski kami sendiri juga tidak terlalu dekat dengan isu korupsi," ungkap Laila.

Dalam podcast tersebut, Laila mengatakan bahwa mereka lebih banyak membahas soal apa rahasia Novel Baswedan dapat bersikap berani.

Misalnya, bagaimana Novel bisa tetap berani baik sebagai penyidik KPK maupun korban kekerasan. Menurut Laila, Novel berulang kali menjawab bahwa rahasianya adalah kejujuran dan integritas, selama istikamah akan tidak takut diancam dan diolok-olok.

Senada dengan Laila, Dara Hanafi menilai bahwa korupsi belum menjadi isu yang membumi di mata anak muda.

Dia tidak menanyakan siapa pelaku penyerangan Novel, isu penting yang sebetulnya adalah persoalan integritas bahwa apa, sih, kenapa akar korupsi? Sudah banyak lembaga antikorupsi, undang-undang. Akan tetapi, kalau individu ini tidak ditangani agar benar-benar berintegritas, akan sulit dan korupsi bisa terus subur.

"Keluarga saya bahkan bertanya ketika disebut KPK mereka malah takut, padahal kontennya santai dan kami masuknya dari persoalan yang dekat," kata Dara.

Menurut Dara, baik masyarakat, KPK, maupun media massa harus terus menyarankan persoalan korupsi dengan cara yang lebih mudah dipahami.

KPK adalah media darling karena wartawan pasti selalu ada di KPK, Akan tetapi, berita-berita yang ada hanya berita yang kaku, padahal media bisa membuat berita menarik dan terkoneksi dengan masyarakat awam. KPK bisa membumikan isu-isunya asal jangan langsung anggap masyarakat malas membaca, terus kalau seperti itu bagaimana caranya supaya masyarakat tahu, tambah Laila.

Laila sendiri mengaku baru tahu bahwa untuk menggunakan jasa penghulu tidak perlu membayar, padahal awalnya dia berpikir harus membayar Rp500 ribu atau lebih untuk menghadirkan penghulu.

Laila dan Dara sepakat, untuk membumikan isu korupsi, harus dimulai dari pengenalan integritas pribadi. Lingkungan terdekat, yaitu keluarnya punya peran penting, selanjutnya sekolah pun ikut membentuk perilaku serta karakter seseorang agar di mana pun orang itu berada, integritas tersebut tetap muncul dan tidak tergantikan.

Contohnya adalah cerita salah satu peserta diskusi, seorang penyidik KPK mantan polisi yang mengaku bahwa di lingkungan kerjanya dahulu dia sempat diberikan iming-iming uang sebagai ganti peluru yang dia tembakkan.

"Kalau menembak orang saya dan teman-teman dikasih uang sama pimpinan Rp25 ribu per peluru. Kalau empat lubang peluru untuk dua orang tersangka berarti dapat Rp200 ribu, itu untuk tambahan makan. Hal itu kami menganggap suatu hal yang biasa dan wajar sehingga pikiran kita, perasan kita terkorupsi pada waktu itu," kata penyidik tersebut.

Namun, ketika masuk KPK, dia menyadari bahwa sepatutnya penegak hukum menjunjung kebenaran dan keadilan. Bila tidak, semuanya akan sia-sia. Namun, memang kesadaran itu harus dimulai dari hal yang terkecil dan diusahakan agar masyarakat merasa keberpihakan pada mereka.

Keberpihakan pada keadilan dan kebenaran memang harus dipupuk sejak dini, dan lebih lagi harus disampaikan dengan lebih membumi.

Baca juga: Isu korupsi masih kurang dipahami anak muda

Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2019