Jakarta (ANTARA News) - Ketua Fraksi PDI Perjuangan di DPR, Tjahjo Kumolo, di Jakarta, Senin, menegaskan pemerintah pusat perlu segera mengambil alih perencanaan dan pembangunan Jakarta atau secepatnya menentukan alternatif ibukota pemerintahan baru yang terbebas dari hambatan rutin, seperti banjir serta kemacetan lalulintas. "Pembangunan Jakarta kalau masih tetap sebagai ibukota negara RI, dengan melihat realitas di lapangan, seharusnya diambil alih perencanaan dan pembangunannya oleh pemerintah pusat, namun pengelolaannya tetap oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Satu hal lagi, tidak bisa setengah-setengah pembangunannya," kata Tjahjo. Tjajo Kumolo berpendapat, jika setelah dinilai dari berbagai aspek ternyata kondisi Jakarta sudah sulit berubah drastis, pihaknya mengusulkan secepatnya menentukan alternatif ibukota pemerintahan baru. "Kalau tidak bisa lagi, sudah harus cepat ditentukan alternatif ibukota baru yang setidaknya tidak ada hambatan, khususnya banjir dan kemacetan itu tadi," katanya. Bencana banjir di Ibukota dan sekitarnya telah mampu mematikan seluruh aktivitas pemerintah pusat. "Saya kira DPR pasti setuju (dengan usulan dan upaya penataan kembali ibukota pemerintahan), apakah tetap di Jakarta atau mencari alternatif lain, sepanjang perencanaan terpadu oleh pemerintah pusat cermat, teliti dan proyeksinya jangka panjang sampai 100 tahun," katanya. Mengapa harus berdurasi jangka panjang, menurut Tjahjo, dari data yang ada di PDIP, Kota Jakarta sudah berposisi di bawah permukaan air laut, dengan beragam risiko berbahaya bagi suatu ibukota pemerintahan. Sebelumnya, beberapa tokoh politik dan pengamat kembali mengangkat lagi wacana mencari alternatif ibukota pemerintahan yang lebih representatif serta menunjukkan harkat martabat bangsa. Selain diutarakan oleh Tjahjo Kumolo, pendapat senada juga disampaikan Sekretaris Fraksi Partai Demokrat (FPD) di DPR Sutan Bathoegana, Suharso Monoarfa (Sekretaris Fraksi Partai Persatuan Pembangunan di DPR RI), pengamat politik dari Universitas Gajah Mada (UGM) Dr Cornelis Lay serta peneliti dan pengamat politik LIPI Dr Hermawan Sulistio. (*)

Copyright © ANTARA 2008