Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah menetapkan Pajak Ekspor (PE) minyak sawit mentah (CPO) maksimal 25 persen jika harga CPO di Rotterdam melampaui 1.300 dolar AS per ton, tetapi sekarang masih 10 persen karena harga masih di bawah 1.100 dolar AS per ton. "Pemerintah telah melakukan penyesuaian kebijakan PE progresif," kata Deputi Menko Bidang Pertanian dan Kelautan, Bayu Krisnamurthi, di Jakarta, Senin. Menurutnya, penyesuaian tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor.09/PMK.011/2008 yang diterbitkan 1 Februari 2008. Bayu menjelaskan apabila harga CPO di Rotterdam melewati 1.100 dolar AS per ton, maka PE-nya sebesar 15 persen, sedangkan jika harganya melampaui 1.200 dolar AS per ton PE-nya menjadi 20 persen dan jika harganya melampaui 1.300 dolar AS per ton PE-nya menjadi 25 persen. "Posisi sekarang (PE 10 persen) tidak berubah karena (harganya) masih di bawah itu," ujar Bayu. Selain itu, lanjut Bayu, pemerintah juga melakukan penyesuaian PE untuk produk industri hilir CPO dengan menetapkan selisih PE terhadap CPO. Untuk harga internasional produk hilir di bawah 1.100 dolar AS per ton, selisihnya hanya 1 persen lebih rendah terhadap PEB CPO. Jika harga internasionalnya lebih dari 1.100 dolar AS per ton maka selisihnya dua persen lebih rendah dari PEB CPO. "Jadi kalau misalnya PE CPO 15 persen, maka PE crude stearin menjadi 13 persen," katanya mencontohkan. Kelompok industri berbasis sawit lain yang selisih PE-nya dengan CPO diperbesar menjadi empat persen contohnya RBD stearin, kalau (harga) di atas 1.100 dolar AS per ton maka PE-nya menjadi 11 persen. "Ini memang produk industri yang perlu investasi besar dan memiliki nilai tambah lebih besar. Jadi, selisih PE-nya diperbesar," tambahnya. Selain itu, pemerintah juga memasukkan biofuel berbasis sawit dalam daftar produk ekspor yang dikenaik PE progresif. Jika harga (CPO) di bawah 1.100 dolar AS per ton maka PE-nya ditetapkan dua persen, lebih dari 1.100 dolar AS per ton PE-nya lima persen. "Kita juga memberi insentif terhadap industri minyak goreng yang menjual dalam bentuk kemasan bermerek kurang dari 10 kg untuk ekspor maka PE-nya lima persen lebih rendah dari yang curah," katanya. Menurut Bayu, insentif tersebut bertujuan untuk mendorong industri mengembangkan produk hilir di Indonesia dan ekspor produk bernilai tambah tinggi. Untuk menurunkan harga minyak goreng di dalam negeri, pemerintah akan menanggung Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk minyak goreng curah dan kemasan yang dijual di dalam negeri. "Di samping itu juga akan dilakukan penjualan minyak goreng berkemasan tanpa merek bersubsidi kepada masyarakat berpendapatan rendah dan Usaha Kecil Menengah (UKM)," ujar Bayu.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2008