Jakarta (ANTARA News) - "Mulai dari besok, hari Minggoe tanggal 14 October, maka akan diadakan perlombaan voetbal diantara perhimpoenan2 voetbal di Betawi, iaitoe akan mereboet prijs. Maka prijs jang pertama-tama direboetkan iaitoe satoe perisai (tameng) pemberian firma Agulair". Berita tentang akan adanya pertandingan sepakbola itu dilaporkan Pemberitaan Betawi pada 13 Oktober 1906, seperti terdapat dalam buku "Wajah Bangsa Dalam Olahraga - 100 tahun Berita Olahraga Indonesia", karangan Hendry CH Bangun (Pustaka Spirit & PT Intimedia Jakarta, 2007). Pada ilustrasi gambar (hal.22) terpampang pula gambar lima orang srikandi bulutangkis Indonesia mengenakan kebaya dan masing-masing memegang raket dan foto unik menarik itu diabadikan pada 1930-an. Berbagai berita, di antaranya sepak bola, bulu tangkis, tinju, renang, atletik, tenis, polo air, terekam dalam buku setebal 177 halaman yang dirangkum Hendry CH Bangun, mantan wartawan olahraga koran Kompas yang kini menjadi wakil pimpinan redaksi koran Warta Kota. Hendry menyebutkan, sebenarnya ia secara tidak sengaja melihat berita-berita olahraga tempo doeloe itu dalam microfilm media cetak di Perpustakaan Nasional Jakarta pada 2003 ketika sedang mencari bahan untuk penulisan buku bulutangkis. Informasi yang semula dianggapnya sebagai limbah itu baru ditanganinya secara serius setahun kemudian sampai akhirnya terbit buku yang mengemas wajah bangsa melalui berita olahraga. "Buku ini memberikan inspirasi tersendiri untuk memberikan kontribusi kepada bangsa dan Negara," kata Menpora Adhyaksa Dault, dalam kata sambutannya pada bagian pertama buku yang juga dihiasi ilustrasi foto-foto dan halaman olahraga tempo dulu itu. Buku itu menunjukkan kepada pembaca betapa bergejolaknya pertandingan olahraga di Tanah Air pada awal tahun 1900-an dan media cetak ketika itu memberitakannya dengan amat serius. Lewat pemberitaan di media massa itu, pembaca mengetahui jalannya pertandingan sepakbola di Binjei, Rampah, dan di Balige di Sumatera Utara, jalannya pertandingan sepak bola di Makassar, Pontianak dan Padang serta (boksen) atau tinju pasar malam di Surabaya atau penonton yang tunggang-langgang karena didatangi harimau ketika menonton sepak bola di Sumatera Barat. Pengurus tenis di Surabaya malah mendatangkan peringkat 10 dunia dari Spanyol, Enrique Maier, serta juara Italia, Georgio de Steffani, untuk melakukan tanding eksibisi dengan petenis lokal sedangkan cabang bulutangkis dan sepakbola terpaksa dibagi atas empat divisi karena ramainya kompetisi ketika itu. Koran Djawa Tengah 19 April 1930 menurunkan laporan tentang pertandingan Batavia lawan S.C.F.A di Singapura yang dimenangi Batavia 3-1, bahkan jalan pertandingan serta proses terjadinya gol dilukiskan dengan amat rinci. "Pada poekoel 5.30 menit dengan satoe samenspel jang bagoes Onong kirim itoe koelit boendar ka fihak kiri, dari sitoe dengan djitoe Weise samboet itoe oempan dan sigra anterken pada doelnja S.C.F.A. jang membikin keeper Ah Kow tiada keboeroe tangkep hingga stand mendjadi 1-0 boeat kemenangan tetamoe," (hal. 93). Penulisan berita olahraga ketika itu amat rinci dan masih merupakan perpaduan antara bahasa Indonesia, Belanda dan Inggris. Penulisnya pun masih bebas mencurahkan emosinya dalam tulisan itu, sehingga berita olahraga saat itu banyak berisi opini penulis. Pada awal tahun 1900-an itu, media cetak yang terbit di berbagai daerah di Tanah Air, sudah menyediakan halaman khusus untuk berita olahraga, di antaranya Pemberita Betawi, Sin Po, Sin Jit Po, Pantjaran Warta, Kabar Sport, Pewarta Deli, Sinar Deli, Pemberita Makassar, Djawa Tengah, Olahraga, Bintang Batavia, Oetoesan Hindia dan beberapa lainnya. Buku sejarah Buku yang ditulis Hendry, wartawan kelahiran Medan 26 November 1958 yang sudah meliput ke berbagai negara itu muncul sebagai buku sejarah yang bisa menjadi pijakan bagi orang yang tertarik untuk melakukan penelitian di berbagai disiplin ilmu. Melalui informasi dalam buku ini, dapat diteliti tentang komparasi perkembangan olahraga di Hindia Belanda, baik tentang olahraga itu sendiri mau pun struktur sosial para atlet dan pengurusnya, yang ketika itu diwarnai dikotomi pribumi dan nonpribumi (melayu, Eropa, Tionghoa). Dari segi bahasa pun dapat dilakukan penelitian, mulai dari perkembangan bahasa nasional secara umum hingga bahasa jurnalistik, khususnya bahasa jurnalistik olahraga, gaya pemaparan (ketika media elektronik masih minim) serta perkembangan media cetak mulai awal 1900-an. Hendry dalam ringkasan buku itu menuturkan, berita yang dikutip dalam buku itu menggambarkan perkembangan kehidupan olahraga di Indonesia, mulai dari Medan dan beberapa kota di Sumatera Utara, hingga di kota lainnya di Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi sampai ke Ambon, Maluku, yang digeluti kalangan pribumi, Belanda dan Tionghoa. Pembeberan berita-berita olahraga itu membawa ikutan lain, misalnya tentang kondisi sosial ekonomi yang mengitarinya. Ada dikotomi yang nyata, tetapi sekaligus ada persatuan, karena tim yang bertanding atau turun lapangan umumnya terdiri atas pribumi, Belanda dan Tionghoa. Di antara tim Indonesia yang melawan Hongaria di Piala Dunia di Rheims, Prancis, 7 Juni 1938, terdapat nama Mo Heng (penjaga gawang), Samuels dan Hukom sebagai bek, gelandang diisi Anwar, Meeng, Nawir, penyerang diperkuat Pattiwael, Zomers, Soedarmadji, Taihitu dan Hong Djin. Dari catatan sejarah itu diketahui pula, kendati Indonesia kalah 0-6, namun penampilan tim Indonesia banyak mendapat pujian. Kemudian, lewat berita yang direkam Hendry, diketahui bahwa kesebelasan pribumi yang bertubuh kecil dan bahkan sedang menjalankan ibadah puasa, dapat mengalahkan kesebelasan orang Belanda dalam memperingati HUT Ratu Wilhelmina di Bengkulu pada 1910. Rapat pembentukan PSSI pada 1930 yang diprakarsai PSM di Yogyakarta dan memilih Ir Suratin sebagai ketua dan warna merah putih sebagai kostum, cuma berlangsung 3,5 jam. Kemudian klub sepak bola Hindia Belanda selalu mendatangkan pemain dari Eropa, khususnya Belanda, untuk meramaikan kompetisi lokal. Buku itu juga merekam betapa gegap-gempitanya kegiatan olahraga di jaman Hindia Belanda dan hal itu diimbangi dengan maraknya pemberitaan di media massa, yang ketika itu sudah tumbuh di berbagai kota dan menyediakan halaman khusus untuk menginformasikan berbagai pertandingan. Jaman dulu tentu berbeda dengan jaman sekarang. Kalau dulu olahraga selain sebagai permainan juga sebagai alat perjuangan bangsa, sekarang olahraga merupakan sarana prestasi dan gengsi bangsa. Terpuruknya olahraga Indonesia di tingkat Asia Tenggara dalam beberapa tahun ini, menjadi masalah yang tak putus-putusnya dikaji, dan Hendry juga secara singkat mengupas berita olahraga pada media massa dalam kurun waktu dekade terakhir ini. (*)

Oleh Oleh A.R. Loebis
Copyright © ANTARA 2008