Oleh Bob Widyahartono, MA *) Jakarta (ANTARA News) - Asia yang mana? Marilah kita mencermati perkembangan kawasan Asia yang dinamis dan sadar akan masa depan bangsa bangsa Asia. Bahkan, seorang Jeffrey D. Sachs, Director of Earth Institute and Quetelet Professor of Sustainable Development, Columbia University tanpa ragu menyambut datangnya Abad Asia dalam tulisannya Welcome to the Asian Century (January 2004). Jauh jauh hari ia menyentak para pengamat ekonomi, termasuk di Indonesia. Sachs tidak hanya mengulang-ulang pengamatannya mengenai Asia, tetapi disebutkan munculnya juga India sebagai pemeran makin aktif dalam abad Asia. Melegakan juga ada seorang Barat yang secara sadar dan obyektif berani setegas itu dan bukan "pem-bebekan" kelompok hawkish Amerika Serikat (AS). Kelompok hawkish (rajawali yang ganas) yang dalam dirinya tidak menyukai bangkitnya Asia. Kini, justru AS yang diterjang krisis ekonomi berantakan, sementara bangsa rakyatnya menantikan 20 Januari 2009 dengan angin segarnya yang dibawa Barack Obama Jr. selaku presiden pengganti George Walker Bush. Asia yang disebut Sachs adalah negara perhimpunan bangsa Asia Tenggara (ASEAN), Korea Selatan (Koresl), China, Jepang plus India. Mulai tahun 1970 sampai 1995an memasuki tahun 2000, para pemimpin Asia mulai memberdayakan masyarakat keluar dari kemelaratan menuju kemakmuran (from rags to riches). Kenyataan tentang Asia tersebut sejak akhir tahun 1990an merupakan suatu cerita keajaiban tekad manusia (human spirit), yang digerakkan oleh budaya produktivitas untuk mencapai kemajuan. Dalam pandangan Asia, industrialisasi dan modernisasi perekonomian dan masyarakat bukan westernisasi ala AS. Jelas tiada nilai-nilai universal, karena sejarah, budaya, agama dan sebagainya sangat beragam antara negara negara. Jelas pula bahwa, penonjolan nilai nilai Asia bukanlah defensif sifatnya dalam interaksi dengan mitra kerja Barat, terutama AS. Masih cukup banyak ekonom pembangunan (development economists) di Indonesia hingga kini masih juga mengagumi dan mendewakan kehebatan elit AS yang tergolong hawkish. Mereka terkesan lupa bahwa kehebatan AS tersebut hanya bersandar pada kemajuan teknologi informasi, produksi dan transportasi. Keunggulan tekonologi tersebut tidaklah langgeng karena dalam hitungan satu dua tahun sudah tersedia di dunia. AS yang kini terkoyak oleh kegagalan kegagalan faham neo liberalisme dalam perekonomian sejak tahun 2000an. Hal menarik adalah bahwa kejaran teknologi oleh suatu negara yang tertinggal dapat menimbulkan kekecewaan kalau negara itu secara politis atau ekonomi tidak mengalami kemajuan atau salah-manaje (mismanaged). Sejak Deng Xiaoping, negarawan China menyuguhkan kebijakan gaige kaifang, kebijakan reformasi dan membuka diri awal 1978. Kemudian, Manmohan Singh menjadi Perdana Menteri (PM) India menerapkan kebijakan reformasi ekonomi, kawasan Asia Timur itu mengalami pertumbuhan yang menggerakkan budaya produktivitas kawasan. Dominasi AS dalam ekonomi sudahlah lalu (it is over). Kondisi sekarang ini muncul perekonomian dunia yang diwakili oleh kekuatan ekonomi, Uni Eropa (UE) , Jepang, China yang menjadi kekuatan ekonomi, mesin pertumbuhan Intra-Asia yang makin solid. India mulai akhir 1990an yang melibatkan diri di bawah kepemimpinan Manmohan Singh juga akan memberi makna pada kawasan ekonomi Asia, demikian juga Korsel. Proses pembentukan kawasan ekonomi Asia merupakan perjalanan tersendiri. Kelemahan terbesar China adalah dalam proporsi yang sangat kecil dalam sumber daya manusia terdidik. China hanya memiliki 2,5 juta sumber daya manusia lulusan perguruan tinggi dan akademi dari jumlah 1,3 miliar penduduk, walaupun manusia China itu ulet, tidak mau menderita terus terusan dan dengan budaya produktivitas yang handal. Andaikata persentase terdidik China yang sama dengan AS, maka China memiliki mencapai 14 jutaan tenaga terdidik perguruan tinggi dan atau akademi. Keunggulan India adalah dalam jumlah penduduk yang fasih berbahasa Inggris, yakni sekitar 150 juta dari sekitar satu miliar penduduk. Dalam kemajuan mutu penduduk, India berada dalam posisi unggul dibandingkan China, dengan pertumbuhan India sekitar 6% hingga 7%. Perkembangan Asia sejak awal abad ini menyurutkan anggapan bahwa AS adalah New Rome sebagai pemimpin politik, ekonomi sosial dan budaya dunia abad 21. Asia-lah yang menjadi mercusuarnya abad 21, meskipun bisa saja mengalami beberapa hambatan dalam perjalanan mencapai kemakmuran (prosperity). Keberhasilan Asia semacam itu akan merupakan era kemajuan kemakmuran dan ilmu pengetahuan tidak saja dinikmati oleh Asia, tetapi juga UE, dan juga AS. Hal yang pasti, para pemimpin AS dan intelektualnya harus menyadari bahwa AS hanya hanya menjadi salah satu perekonomian yang makmur dan tidak berhegemoni mendominasi kawasan lain. Serangkaian hal itulah yang menjadi tantangan riil di Indonesia, terutama kelas menengah untuk aktif membangun manusia yang makin berbudaya produktivitas dan etis, bukan pameran diri penuh janji-janji atau slogan politis melulu. (*) *) Bob Widyahartono MA (bobwidya@cbn.net.id) adalah pengamat ekonomi, terutama studi Asia Timur, dan Lektor Kepala Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanegara (FE Untar) Jakarta.

Oleh
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2009