Tanjungpinang (ANTARA) - Beberapa pekan terakhir, aktivitas para pengungsi dan pencari suaka dari berbagai negara mendapat sorotan publik di Provinsi Kepulauan Riau, khususnya Pulau Bintan (Kabupaten Bintan dan Kota Tanjungpinang).

Berbagai informasi mengalir begitu deras terkait perilaku negatif sejumlah pengungsi yang tinggal di Hotel Badra, tempat penampungan mereka. Dimulai dari perbuatan asusila, prostitusi hingga kepemilikan sepeda motor, isu terkait keberadaan para pengungsi itu pun dipertanyakan.

Pihak Kepolisian Bintan mencatat 11 kasus yang melibatkan para pengungsi, sebagian besar berhubungan dengan asusila. Dari rekam jejak kasus itu, ternyata sejumlah pengungsi berhubungan dengan istri warga.

Kasus perselingkuhan ini, menurut Kasat Intelkam Polres Bintan AKP Yudiarta Rustam, berpotensi menimbulkan kasus lainnya seperti penganiayaan dan lainnya. Seorang pria yang istrinya diselingkuhi pengungsi sempat menyerang Hotel Badra dengan membawa senjata tajam.

"Kalau tidak dicegah, ditenangkan, dan dinasehati, apa yang akan terjadi?" katanya.

Hal lain yang menggelitik publik yakni seorang wanita yang berstatus sebagai istri orang membesuk pengungsi yang dihukum sehingga masuk ke ruangan isolasi Rumah Detensi Imigrasi Tanjungpinang. Wanita itu tanpa malu membawa makanan.

"Apa yang sedang terjadi? Kenapa wanita yang berstatus sebagai istri orang itu tidak malu," ucapnya.

Di sisi lain, kata dia sejumlah pengungsi memanfaatkan waktu di luar penampungan melakukan fitnes di Tanjungpinang. Biaya untuk fitnes tidaklah murah, sementara uang yang mereka dapat dari Organization for Migration atau Organisasi Internasional untuk Migrasi hanya Rp1,25 juta/bulan.

Uang tersebut dipastikan tidak cukup untuk konsumsi sehari-hari jika dipergunakan untuk biaya transportasi ke lokasi fitnes dan membayar uang bulan fitnes.

"Lantas dari mana mereka mendapatkan uang?" tuturnya.

Yudiarta mengatakan para pengungsi yang beragama Syiah memiliki pemahaman yang unik terkait pernikahan dan pengalihan beban kehidupan. Untuk menikah, mereka cukup menyampaikan kepada perempuan yang menyukainya, dan kemudian dianggap halal berhubungan badan.

Setelah menikah, menurut mereka seluruh beban kehidupan merupakan tanggung jawab pasangannya.

"Siapa yang dirugikan? Jelas wanita-wanita. Mereka akan ditinggal setelah pengungsi itu berangkat ke negara ketiga," ujarnya.

Kepala Rudenim Tanjungpinang Muhamad Yani Firdaus, mengatakan, interaksi sosial yang berlebihan akan menimbulkan dampak negatif karena itu seharusnya warga lokal bersikap biasa saja terhadap para pengungsi pencari suaka.

Sikap warga yang terlalu ramah, seperti memasukkan para imigran ke dalam rumahnya, dapat disalahartikan oleh para pencari suaka itu, katanya.

"Dari kasus asusila yang terjadi, kami berpendapat perilaku itu tidak hanya kesalahan para imigran. Ini seperti ada penawaran dan permintaan. Kalau warga bersikap biasa saja, imigran juga tidak akan berani macam-macam," ujarnya.

Yani mengatakan jumlah imigran yang saat ini tinggal di Hotel Badra sebanyak 455 orang. Mereka seluruhnya pria berusia produktif. Setiap hari mereka diizinkan untuk keluar untuk bersosialisasi dari Community House mulai dari pukul 06.00-18.00 WIB.

Selama 12 jam setiap hari mereka berinteraksi dengan warga seperti memenuhi kebutuhan harian dengan berbelanja di warung milik warga.

Warga sebaiknya ikut mendorong mereka agar kembali ke negara asalnya, seperti Afghanistan, Somalia, Iran dan Irak.

"Bukan malah bersikap terlalu baik kepada mereka, ajak mereka ngopi di dalam rumah. Ini sebaiknya dihindari agar tidak terjadi permasalahan," ucapnya.

Beberapa hari ini kasus asusila yang dilakukan sejumlah imigran asal Afghanistan menjadi sorotan warga. Kasus itu telah ditangani pemerintah daerah, dan pihak kepolisian.

Akar permasalahan tersebut terjadi lantaran ada interaksi negatif antara imigran asal Afghanistan dengan wanita lokal. Permasalahan itu menjadi kasus lantaran ada istri warga lokal yang berselingkuh dengan imigran.

"Ada enam orang yang masuk ruang isolasi di Rudenim," tegasnya.

Yani mengemukakan Rudenim Tanjungpinang sebagai institusi yang disalahkan dalam kasus asusila itu. Padahal berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 125/2016, pengawasan terhadap aktivitas imigran dilakukan oleh pemda dan pihak kepolisian.

Sementara tugas Rudenim berhubungan dengan pengawasan keimigrasian.

Pengawasan juga seharusnya dilakukan oleh perangkat pemerintahan dari dinas terkait hingga RT/RW.

Jika ditemukan pelanggaran hukum, warga dapat menangkapnya. Pelaku kejahatan dapat diproses sesuai ketentuan hukum yang berlaku.

Upaya pencegahan juga sudah dilakukan Rudenim, dengan melibatkan instansi lainnya seperti Kemenag, pihak kecamatan dan kelurahan.

Rudenim mendorong agar warga bersikap sewajarnya kepada para imigran, yang tidak dapat dipastikan kapan akan diberangkatkan ke negara ketiga. "Kami juga tidak dapat menghambat para imigran itu keluar dari Hotel Badra," tuturnya.

Berdasarkan perpres itu pula, Yani menegaskan pihaknya tidak dapat menahan para imigran di Rudenim. Apalagi di Konvensi Jenewa, Pemerintah Indonesia diprotes keras karena menahan imigran di Rudenim.

Akhirnya, awal tahun 2018, para imigran tersebut tinggal di Hotel Badra, yang ditetapkan sebagai Community House. "Mereka bukan pelaku kejahatan sehingga tidak boleh tinggal di Rudenim," katanya.


Australia Tolak Pengungsi

Jumlah pengungsi di Indonesia meningkat dalam beberapa tahun terakhir disebabkan Australia mengeluarkan kebijakan "menutup pintu" bagi para pencari suaka itu.

Kepala Kantor Perwakilan United Nations High Commissioner for Refugees Provinsi Kepulauan Riau (UNHCR Kepri) Frangky Lukitama dalam Focus Grup Discussion yang diselenggarakan Forum Masyarakat Peduli Kepri di aula Asrama Haji Tanjungpinang, beberapa hari lalu mengatakan, para pengungsi tidak mendapat kepastian sampai kapan tinggal di Batam dan Bintan akibat kebijakan Pemerintah Australia tersebut.

Hal tersebut mengakibatkan jumlah pengungsi membludak di Batam dan Bintan. "Australia merupakan salah satu negara yang menandatangani Konvensi Jenewa 1951," ujarnya.

"Jika ada yang bertanya sampai kapan para pencari suaka itu tinggal di Hotel Badra yang merupakan 'Comunity House", jawabannya, ya, tidak tahu," katanya.

Frangky menjelaskan negara tujuan para pengungsi bukan Indonesia, melainkan Australia. Para pengungsi ke Indonesia lantaran wilayah timur Indonesia berbatasan dengan Australia.

Batas waktu para pengungsi berada di Indonesia tidak dipatok. Para pengungsi ada yang sudah 1-5 tahun berada di Pulau Bintan. "Bahkan ada yang sudah 10 tahun di Tanjungpinang," katanya.

Cara lain yang dilakukan yakni memulangkan para pengungsi tersebut ke negara asalnya. Namun, itu sulit dilakukan, karena mereka banyak menolak. "Untuk memulangkan ke negaranya harus dipastikan negaranya dalam kondisi aman," katanya.

Kepala Divisi Imigrasi Kanwil Kemenkum HAM Kepri Ahmad Firmansyah, mengatakan, Pemerintah Indonesia memiliki kewajiban untuk melindungi para pengungsi dengan alasan kemanusiaan.

"Ada landasan hukum yang merupakan turunan dari konstitusi sebagai alasan Indonesia melindungi para imigran," ujarnya.

Ahmad mengatakan tidak semua warga asing yang ditangani Imigrasi itu berstatus sebagai pengungsi dan pencari suaka.

Warga asing yang melakukan kejahatan di negaranya, seperti korupsi, tidak dapat dilindungi Pemerintah Indonesia. "Jika ada, kemudian ditangkap, pasti dideportasi ke negaranya," katanya.

Kepala Rumah Detensi Imigrasi Tanjungpinang Muhamad Yani Firdaus mengatakan jumlah pengungsi di Kepri mencapai 988 orang, sebanyak 455 orang tinggal di Hotel Badra, Bintan.

Jumlah pengungsi di Indonesia 13.500 orang. Di Kepri jumlahnya jauh lebih sedikit dibanding wilayah lain. "Jumlah pengungsi yang ada di Indonesia lebih sedikit dibanding negara lain, contohnya di Malaysia mencapai 1 juta orang," ucapnya.


Pencegahan

Menangani pengungsi bukan hal yang mudah. Indonesia dihadapkan dengan isu HAM ketika melakukan tindakan yang dianggap melanggar ketentuan. "Tidak mudah mengusir para pengungsi," kata Yudiarta.

Ia mengatakan upaya pencegahan terhadap aktivitas pengungsi yang merugikan harus dilakukan. Pekerjaan ini tidak dapat dilakukan secara sporadis, melainkan terintegrasi.

Pengawasan dan pelayanan, contohnya harus dilakukan oleh Organization for Migration atau Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) dan United Nations High Commissioner for Refugees Provinsi Kepulauan Riau (UNHCR). Sampai hari ini petugas dari kedua lembaga belum menempatkan petugasnya di Hotel Badra, Kabupaten Bintan, tempat penampungan para pengungsi dari berbagai negara.

"Petugas kepolisian secara rutin melakukan patroli di dalam tempat penampungan itu," ujarnya.

Menurut dia, tidak mungkin dua orang petugas dari Rudenim dapat mengawasi 455 orang pengungsi. Karena itu, ia berharap petugas dari IOM dan UNHCR berada di Hotel Badra sehingga kebutuhan para pengungsi dapat ditanggulangi.

"Ada laporan yang kami terima, petugas kerap diperlakukan tidak baik oleh beberapa pengungsi. Mereka menggertak petugas, dan mengganggu psikologis atau mental petugas," tuturnya.

Selain itu, pemerintah daerah yang memiliki posisi penting dalam penanganan para pengungsi tersebut berdasarkan Peraturan Presiden 125/2016 semestinya mengerahkan petugas dari Satpol Pamong Praja untuk mengawasi dan mengamankan para pengungsi.

"Saya sudah sampaikan ini kepada pemerintah pusat dan daerah, tetapi ujung-ujungnya terbentur dengan anggaran," katanya.

Yudiarta mengatakan permasalahan pengungsi perlu mendapat perhatian serius oleh seluruh pihak. Aktivitas sejumlah pengungsi yang akhir-akhir ini mengganggu warga lokal, sebaiknya ditangani mulai dari hulu hingga hilir, bukan secara sporadis.

"Sosialisasi peraturan kepada masyarakat, dan penguatan keimanan masyarakat perlu dilakukan," katanya.

Kepala Divisi Imigrasi Kanwil Kemenkum HAM Kepri Ahmad Firmansyah, mengatakan, penanganan pengungsi seharusnya terintegrasi. Sejumlah daerah sudah membentuk satuan tugas khusus menangani permasalahan pengungsi seperti Surabaya, dan Sidoarjo. Makassar dalam waktu dekat juga sudah memiliki Satgas Pengungsi.

"Kepri belum ada. Kami berharap sebentar lagi ada," ujarnya.

Ketua Fraksi PKS-PPP DPRD Kepri, Ing Iskandarsyah, mengatakan, permasalahan itu harus segera diatasi mengingat berhubungan dengan kepentingan publik.

Salah satu upaya yang harus dilakukan yakni membuat peraturan gubernur dan peraturan bupati sehingga kebijakan pemerintah lebih terarah.

"Ini urusan kemanusiaan yang dipelototi dunia internasional, karena itu harus ditangani serius. Kalau tidak ada anggaran, maka harus dianggarkan dengan payung hukum yang kuat," katanya.*


Baca juga: Pekanbaru membuka pintu 12 sekolah dasar untuk anak imigran

Baca juga: 35 warga Bangladesh yang ditangkap di Dumai akan dideportasi

Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019