Oleh Hisar Sitanggang Bandarlampung (ANTARA News) - Dikotomi sipil-militer dan tua-muda kembali mengemuka dalam pentas perpolitikan di Indonesia, terutama saat pemerintah mengangkat seorang pensiunan jenderal berbintang dua menjadi pejabat gubernur Sulawesi Selatan. Masalah dikotomi sipil- militer lebih mengemuka disoroti banyak kalangan dibandingkan isu dikotomi tua-muda, ketika mantan Asisten Personalia Kasad, Achmad Tanribali Lamo, diputuskan oleh pemerintah sebagai pejabat gubernur Sulsel. Padahal, Departemen Dalam Negeri sebelumnya sudah berulangkali mengangkat pejabat gubernur dari pejabat-pejabat teras departemen itu, termasuk di daerah rawan konflik. Misalnya, pejabat eselon satu Depdagri Soadjuangon Situmorang dan Timbul Pudjianto diangkat sebagai pejabat gubernur di Provinsi Papua dan Papua Barat saat Pilkada Gubernur dilaksanakan, padahal suasana politik di kedua daerah itu sangat panas. Hasilnya adalah kedua pejabat itu mampu melaksanakan tugasnya, dan pemilihan gubernur berlangsung aman dan tertib. Saat pemerintah akhirnya memutuskan mengangkat seorang perwira tinggi TNI yang beralih status menjadi PNS sebagai pejabat gubernur Sulsel, berbagai tanggapan dilontarkan, baik di pusat maupun di daerah, baik yang pro maupun yang kontra. Alih status prajurit militer menjadi PNS sebenarnya sudah kerap terjadi. Misalnya, mantan Komandan Paspampres Mayjen (Purn) Suwandi sekarang bertugas di Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai Deputi Bidang Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat. Masalah dikotomi hubungan sipil-militer dalam perpolitikan Indonesia sebenarnya bukan hal yang baru, karena 'kita' sudah "akrab" dengan hal itu, ketika ABRI (TNI dan Polri) masih memiliki dua fungsi (dwifungsi), yakni kekuatan hankam dan sosial- politik. Ketika militer Indonesia di era pemerintahan Orde Baru menjalankan fungsi politik praktisnya, seperti bisa dipilih di jabatan-jabatan politis (kepala daerah dan legislatif) atau menduduki jabatan-jabatan penting di pemerintahan dan perusahaan negara, dikotomi hubungan sipil- militer saat itu memang hal yang paling rentan merusak stabilitas pemerintahan. Lemahnya kepercayaan atas kemampuan sipil mendorong militer sejak Orde Lama dan Orde Baru terjun ke politik praktis sekaligus melakukan fungsi kekaryaan. Karena itu, dikotomi sipil-militer selalu ditekankan di era Orde Baru agar tidak dipertentangkan demi menjaga stabilitas nasional. Di era reformasi, masalah dikotomi sipil-militer umumnya tidak mengemuka, terutama ketika TNI melakukan reformasi internal, seperti tidak lagi menduduki jabatan-jabatan politik dan publik, sehingga isu yang paling berkembang adalah percepatan penyerahan bisnis militer ke pemerintah, mendorong reformasi kultur TNI serta mewujudkan tentara yang profesional. Ketika pemerintah memutuskan mengangkat pensiunan militer sebagai pejabat gubernur Sulsel, reaksi atas pengangkatan itu bermunculan, meski Mabes TNI langsung memberikan klarifikasi bahwa perwira tinggi tersebut sudah mengundurkan diri dari dinas aktifnya. Dalam pasal 39 UU No 34 tahun 2004 tentang TNI disebutkan larangan-larangan bagi prajurit TNI, seperti kegiatan untuk dipilih menjadi anggota legislatif dalam pemilihan umum dan menduduki jabatan politis lainnya. Pada pasal 47 disebutkan, prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan, sementara prajurit aktif di luar TNI hanya dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi Polkam, pertahanan negara, Sekmil Presiden, intelijen negara, sandi negara, Lemhanas, Dewan Pertahanan Nasional, SAR Nasional, Narkotika Nasional dan MA. Bahkan dalam pasal 55 dipertegas kembali bahwa prajurit diberhentikan dengan hormat dari dinas keprajuritan, di antaranya karena alih status menjadi pegawai negeri sipil. Sehubungan rentang waktu yang relatif pendek ketika Ahmad Tanribali Lamo menduduki jabatan Aster Kasad, kemudian beralih status jadi staf ahli Mendagri, terus ditunjuk sebagai pejabat Gubernur Sulsel, maka kritikan atas putusan pemerintah itu berdatangan dari banyak kalangan. Pembelaan atas pengangkatan itu juga bermunculan, baik dari pemerintah, pensiunan militer maupun dari pimpinan teras TNI. Mendagri Mardiyanto meminta agar jangan ada dikotomi sipil dan militer dalam penunjukan pejabat gubernur itu, karena pemilihan sosok mantan Aspers Kasad itu sudah berdasarkan kompetensi dan kapasitasnya yang menguasai permasalahan sosial politik dan keamanan di Sulsel. Meski telah dinyatakan berstatus sipil dan bukan lagi militer aktif, Kasad Letjen Agustadi Sasongko Purnomo juga tak urung menyampaikan harapannya agar mantan Aspers Kasad itu dapat mempertahankan keamanan di Sulsel. Lemahnya kepercayaan Pelaku politik dan penganalisa politik memiliki pandangan yang berbeda atas kecenderungan pengalihan status prajurit menjadi PNS. Ada yang memandangnya sebagai suatu hal yang wajar dan sesuai dengan undang-undang, namun ada juga yang mencurigainya sebagai upaya TNI untuk kembali berpolitik praktis. Praktik mundur dari dinas aktif TNI, kemudian beralih status menjadi PNS, bahkan dikhawatirkan merupakan cara militer untuk kembali berpolitik praktis tanpa melanggar undang-undang. Jika mengacu pada UU TNI, pengalihan prajurit-prajurit TNI ke PNS tentu dimungkinkan, karena hal itu diatur secara jelas dalam undang-undang tentang TNI. Namun, pengalihan status militer menjadi PNS bisa berdampak pada rusaknya sistem karir PNS. Hal itu juga mengindikasikan masih lemahnya kemampuan sipil untuk menduduki jabatan strategis, meski dikhawatirkan itu sebagai upaya halus dan terselubung untuk menarik TNI kembali ke politik praktis. Menurut analisa Direktur The Indonesian Institute (TII), Jeffrie Geovanie, pengalihan tugas prajurit TNI ke jabatan publik atau sebagai PNS menunjukkan dengan jelas bahwa kepercayaan pemerintah terhadap kemampuan sipil masih lemah. Dengan demikian, bukan karena faktor usia pensiun yang lebih lama di jabatan publik yang menyebabkan para perwira TNI berkeinginan menjadi PNS, karena masa pensiun perwira TNI mencapai 58 tahun. Berdasarkan prinsip demokrasi, sebagaimana diterapkan di Amerika Serikat, sebenarnya tidak masalah apakah pemimpin itu berasal dari militer atau sipil, dengan syarat personil militer itu taat pada prinsip demokrasi dan tidak menggunakan lembaga militer untuk kepentingan politik. Ketika kepercayaan atas kemampuan sipil berkurang, dan di saat sama para perwira TNI berkeinginan menduduki jabatan sipil, maka kedua hal itu menemukan "titik temu" yang mendorong lancarnya pengalihan status prajurit militer ke PNS. Saat bersamaan, kemampuan kepemimpinan sipil di Indonesia dinilai masih lemah, gamang atau kurang percaya diri. Selain itu, reformasi internal birokrasi belum semaju reformasi internal TNI, termasuk dalam penjenjangan karir PNS belum serapih penjenjangan karir di militer. Misalnya, mutasi di jabatan sipil sangat sulit dilaksanakan dan sarat dengan pertimbangan politik, sehingga sangat menghambat karir para PNS lainnya. Di militer, mutasi bukan hal yang luar biasa. Dengan demikian, seorang perwira tinggi yang tidak menduduki jabatan bisa ditugaskan sebagai perwira tinggi di Mabes TNI atau Mabes masing- masing angkatan. Menurut TII, reformasi birokrasi perlu dilaksanakan secara menyeluruh jika kepercayaan atas kemampuan sipil hendak diperbaiki. Persoalan ini juga mendapatkan sorotan dari kalangan DPR, karena seorang PNS tidak bisa serta merta menjadi prajurit TNI. Menurut anggota Komisi I DPR Mutammimul Ula, jika prosedur alih status dari prajurit TNI menjadi PNS bersifat otomatis, maka secara profesi atau karir akan ada anggapan karir prajurit TNI lebih tinggi daripada karir atau profesi PNS. Apresiasi masyarakat Indonesia kepada TNI saat ini sangat baik, terutama ketika TNI memutuskan melakukan reformasi internal, seperti tidak berpolitik praktis dan tidak menduduki jabatan- jabatan politik. Seiring upaya Indonesia membangun TNI sebagai tentara profesional, kebanggaaan masyarakat Indonesia terhadap militernya juga terus meningkat. Meski banyak yang mengusulkan agar birokrasi direformasi total untuk memperbaiki kualitasnya, serta regulasi-regulasi politik di bidang pertahanan dirumuskan kembali agar lebih jelas dan konsisten, namun alangkah lebih baik jika pemerintah dan TNI melakukan alih status prajurit TNI menjadi PNS secara selektif dan terinci, meski undang-undang memungkinkannya. Dengan demikian, alih status bukan berdasarkan pertimbangan politik semata, tetapi berdasarkan kapasitas dan kompetensi, seperti jabatan publik itu memang sungguh-sungguh memerlukan keahlian yang hanya dimiliki prajurit TNI.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008