Oleh Iskandar Zulkarnaen Samarinda (ANTARA News) - Nun jauh di pedalaman Kalimantan terdapat hamparan hutan tropis dengan ekosistem dataran tinggi yang masih terjaga. Namanya Taman Nasional Kayan Mentarang (TNKM). Kawasan seluas 1,32 juta hektare ini, dikenal karena merupakan taman nasional terluas di Asia. Kondisi alam yang kurang bersahabat karena berbukit-bukit dan berlembah-lembah, serta bertebing curam membuat kawasan itu aman dari tangan perambah hutan. Letaknya juga jauh di pedalaman Kalimantan, sehingga menyulitkan bagi mobilisasi alat-alat berat dari kota. Sebagian kawasan konservasi itu memang ada yang rusak, khususnya yang dekat dengan Sabah dan Serawak, Malaysia. Namun secara umum, kawasan yang ditetapkan pertama kali pada tahun 1980 sebagai Cagar Alam oleh Menteri Pertanian Indonesia itu masih bagus ketimbang hutan di Indonesia. Kawasan itu selain memiliki keanekaragaman hayati luar biasa juga menyimpan potensi wisata yang menggagumkan karena terdapat lokasi peninggalan pra-sejarah serta kehidupan asli warga Dayak yang masih mempertahankan tradisinya sejak ribuan lalu. Semuanya belum ada yang berubah. Di Taman Nasional Kayan Mentarang seolah waktu berhenti. Di kawasan itu, komunitas warga Dayak Punan masih mempertahankan kehidupan meramu hasil hutan ikutan --damar, sarang burung dan gaharu. Mereka tidak pernah menetap dalam satu lokasi. Selain Dayak Punan terdapat komunitas sub-etnik Dayak yang diperkirakan jumlahnya sekitar 21.000 orang. Mereka juga memiliki sub kelompok bahasa bermukim di dalam dan di sekitar taman nasional. Komunitas Dayak, seperti suku Kenyah, Kayan, Lundayeh, Tagel, Saben dan Punan mendiami sekitar 50 desa yang ada di kawasan TNKM. Mereka masih mempertahankan tradisi, masih tinggal di rumah Lamin --rumah panggung khas Dayak yang bisa ditinggali 100 orang-- serta pola berladang. Kehidupan warga Dayak di rumah Lamin menarik perhatian sejumlah wisatawan asing yang berkunjung ke kawasan itu. Peninggalan kuburan batu di hulu Sungai Bahau dan hulu Sungai Pujungan, yang merupakan peninggalan suku Ngorek, juga menggugah minat wisatawan serta para peneliti. Namun, karena TNKM merupakan bagian "heart of Borneo" yang jauh di pedalaman, perlu biaya besar, waktu dan tenaga untuk mencapai kawasan itu. Mencapai kawasan TNKM bisa melalui Kabupaten Malinau dan Kabupaten Nunukan, karena kawasan konservasi itu berada dalam dua kabupaten tersebut. Sebagian kawasan TNKM berbatasan dengan Serawak di Kabupaten Malinau dan sebagian berbatasan dengan Sabah di Kabupaten Nunukan. Mencapai lokasi tersebut membutuhkan dana jutaan rupiah dari ibukota provinsi Kaltim Samarinda karena harus menggunakan berbagai alat transportasi mulai dari pesawat, darat dan sungai. Bagi para wisatawan, mungkin ada satu hal yang mengejutkan saat berkunjung ke TNKM, yakni apabila beruntung bersua dengan satwa langka yang sebelumnya sudah dianggap punah dari bumi Borneo, yakni Gajah Kalimantan (Elephas maximus borneensis). Hasil survei yang dilakukan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kaltim, Dana Suaka Margasatwa (World Wild-life Fund/WWF) Indonesia dan mahasiswa Laboratorium Keanekaragaman Hayati Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman pada Februari hingga maret 2007 menemukan bahwa populasi satwa langka tersebut hanya berkisar 25 hingga 45 ekor. Gajah Kalimantan berbeda dengan Gajah Sumatera dan Gajah Asia. Gajah ini adalah sub-spesies dari gajah Asia. Asal usul gajah Kalimantan masih merupakan kontroversi. Terdapat hipotesis bahwa mereka dibawa ke pulau Kalimantan. Pada tahun 2003, penelitian DNA mitokondria menemukan bahwa leluhurnya terpisah dari populasi daratan selama pleistosen, ketika jembatan darat yang menghubungkan Kalimantan dengan kepulauan Sunda menghilang 18.000 tahun yang lalu. Spesies ini kini berstatus kritis akibat hilangnya sumber makanan, perusakan rute migrasi dan hilangnya habitat mereka. Dilaporkan pada tahun 2007 hanya terdapat sekitar 1.000 gajah. Kondisi alam yang berbukit-bukit, berhutan lebat serta dingin menyebabkan Gajah Kalimantan itu mengalami evolusi sehingga memiliki tubuh lebih kecil, telinga yang lebar, gading dan belalainya lebih panjang, serta ekornya nyaris menyentuh tanah serta berbulu panjang dan lebat. Kawasan TNKM terletak pada ketinggian antara 200 meter sampai sekitar 2.500 m di atas permukaan laut, mencakup lembah-lembah dataran rendah, dataran tinggi pegunungan, serta gugus pegunungan terjal yang terbentuk dari berbagai formasi sedimen dan vulkanis. Selama puluhan tahun banyak pihak meyakini gajah sudah punah di Kalimantan, namun berdasarkan penelitian WWF, KSDA Kaltim dan Universitas Mulawarman Samarinda belum lama ini, ada kawanan satwa langka itu di kawasan hutan Sebuku, Kabupaten Nunukan, Kaltim, namun terancam segera punah. Dari data Forum Pecinta Satwa Kaltim, gajah kalimantan (Elephas Maximus Borneensis) merupakan spesies gajah Asia dan Sumatra yang terisolasi sekira 300.000 tahun lalu. Gajah kalimantan dinilai termasuk satwa paling langka untuk spesies gajah karena memiliki perbedaan dengan satwa sejenis yang terdapat di berbagai belahan dunia. Gajah kalimantan merupakan gajah pegunungan, karena topografi kawasan Hutan Sebuku yang tinggi dan berbukit. Gajah ini beda dengan gajah sumatera karena merupakan sub spesies gajah asia. Dari hasil uji DNA, gajah kalimantan memiliki perbedaan genetik dengan gajah di Srilangka, India, Bhutan, Bangladesh, Thailand, Laos, Vietnam, Kamboja, semenanjung Malaysia dan Sumatera. Namun, selama ini belum ada upaya dari pemeritah untuk melakukan perlindungan terhadap gajah yang menjadi kebanggaan bangsa Indonesia itu. Upaya terpenting bagi pemerintah adalah menyelamatkan kawasan konservasi itu dari berbagai kegiatan untuk merusak hutan yang menjadi habitat Gajah Kalimantan. Bagi wisatawan yang beruntung, melihat gajah kalimantan di TNKM merupakan suatu hal luar biasa karena melibat sebuah keajaiban dunia yang masih berkelana di rimba Kalimantan. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008