Kalau hak berdemokrasi sudah dibuka lebar dan kalau Jokowi juga sudah mengakui itu sebagai kritik yang membangun, maka itu harus diakomodir
Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan presiden dan wakil presiden terpilih, Joko Widodo dan K.H. Ma'ruf Amin, pada Minggu (30/6), setelah melalui tahapan pemilihan umum hingga penyelesaian sengketa hasil pemilihan presiden di Mahkamah Konstitusi.

Jokowi memiliki kesempatan kedua kalinya untuk menjalankan pemerintahan yang telah dikomandonya selama lima tahun, sejak dilantik pada 20 Oktober 2014.

Selain aspek pembangunan dan kesejahteraan rakyat, aspek penegakan hukum juga akan menjadi pekerjaan besar dalam pemerintahannya.

Pekerjaan rumah Jokowi dan aparat penegakan hukum, dalam hal ini institusi Polri, di antaranya masalah korupsi, perdagangan narkoba, penegakan hukum dalam lembaga pemasyarakatan, pelanggaran hak asasi manusia, gerakan makar, dan terorisme.

Setelah pilpres usai, pemerintahan periode kedua Jokowi masih harus berupaya lebih besar dalam memperkuat penegakan hukum yang berkeadilan dan tidak diskriminasi.

Seperti misalnya, memperbaiki sumber daya manusia dalam menyeleksi aparat yang akan bekerja dalam tubuh lembaga penegakan hukum Indonesia.

Pakar hukum pidana, Asep Iwan Iriawan, beranggapan pemerintahan Jokowi pada periode kedua mendatang membutuhkan orang-orang yang dapat melaksanakan tugasnya tanpa pengaruh dari partai politik.

"Periode ini butuh orang-orang penegak hukum yang imparsial, independen. Menkumham (Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia) dan Jaksa Agung diusahakan jangan dari partai politik karena berpengaruh dengan kepentingan," ujar dia.

Asep menilai program kerja Jokowi untuk penegakan hukum sudah semestinya dilanjutkan dengan sumber daya yang sudah teruji integritasnya, netral, dan tidak terpengaruh kepentingan dalam pengambilan keputusan.

Contoh kasus terkini, KPK menetapkan lima tersangka, termasuk dua jaksa dari Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta terkait dengan kasus suap dalam penanganan perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Barat

Tertangkapnya dua anggota dari institusi kejaksaan menjadi evaluasi penting dalam memilih SDM yang menjalankan penegakan hukum pada masa pemerintahan kedua Jokowi.

"Butuh pembantu Jokowi yang mengerti penegakan hukum. Jangan sampai terulang jaksa ditangkap karena kasus di PN Jakarta Barat, itu memalukan sekali. Sebab KPK dan kejaksaan berdiri bersebelahan," ujar dia.

                                                                  Sadar hukum
Selain perbaikan sumber daya manusia dari aparat yang dapat bekerja dengan baik dan berintegritas tinggi, masyarakat juga sebaiknya perlu sadar hukum untuk menciptakan penegakan hukum dengan baik dan optimal seperti pada kasus-kasus berikut.

Pada Pemilihan Umum 2019, yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 telah mengatur dengan jelas posisi penegakan hukum oleh Badan Pengawas pemilu (Bawaslu) untuk menindak praktik pelanggaran yang dilakukan peserta hingga tingkat Pengadilan Negeri.

Peristiwa sengketa hasil pilpres, yang diperdebatkan hingga Mahkamah Konstitusi dapat menjadi pertanda bahwa penegakan hukum di tingkat akar rumput belum terbilang bekerja secara maksimal.

Kemudian yang perlu menjadi sorotan lainnya, adalah lolosnya tahanan korupsi mantan Ketua DPR RI Setya Novanto yang diduga kabur saat pemeriksaan kesehatan di Rumah Sakit Santosa Bandung.

Diduga, oknum sipir dalam Lapas Sukamiskin Bandung turut mengambil peran dalam kaburnya Setya Novanto hingga bebas berkeliaran. Hal tersebut dapat menurunkan kepercayaan rakyat terhadap aparat.

Selanjutnya, peredaran narkoba lintas negara. Polri di bawah pemerintahan Jokowi pertama tercatat sudah melaksanakan hukuman mati kepada 18 napi kasus narkoba pada tiga tahun pertama kepemimpinannya.

Polri dalam upayanya berusaha menggagalkan peredaran narkoba. Namun, kenyataannya, praktik menyelundupkan narkoba oleh sindikat jaringan internasional masih sering kali terjadi, dan tindakan tegas dan cepat dari aparat penegakan hukum belum jelas terlihat efek jera.

Hal lainnya yang harus ditindak tegas dan secara keras adalah kejahatan lingkungan yang mengganggu kepentingan masyarakat, seperti pembabatan hutan, pembuangan limbah, reklamasi, hingga yang terbaru adalah sampah plastik impor.

Sampah impor Indonesia, diduga akibat kebijakan China menghentikan impor sampah plastik dari sejumlah negara di Uni Eropa dan Amerika. Hal itu, mengakibatkan sampah plastik beralih tujuan ke negara-negara di ASEAN, termasuk Indonesia.

Polri juga masih harus berjibaku dalam menekan dan menindak ancaman tindakan anarkisme, makar, hingga aksi terorisme yang menunggangi kepentingan rakyat.

Masih segar dalam ingatan, Polri, menjelang aksi damai 22 Mei lalu, menangkap terduga teroris hingga mengamankan para perusuh pada aksi 22 Mei di kantor Bawaslu tanpa bekal peluru tajam, hanya peluru karet, mobil penyemprot air, dan gas air mata.

Dalam perkembangan penanganan kasus tersebut, polisi juga mengamankan sejumlah oknum purnawirawan TNI terduga terlibat aksi makar.

Ketua Presidium Indonesian Police Watch Neta S Pane menilai pada periode terakhir kepemimpinannya sebagai presiden, Jokowi tentu diharapkan mampu berbuat maksimal.

"Jokowi harus mampu meletakkan dasar-dasar penegakan supremasi hukum secara konsisten agar patuh hukum bisa segera tercipta, sehingga pasca-pemerintahan Jokowi nanti masyarakat benar-benar tertib hukum," ujar dia.

                                                    Kontroversial
Penegakan hukum era Jokowi pada sejumlah kasus yang terbilang kontroversial seperti penyampaian kritik yang mengarah pada pemerintahan serta kasus tindak pidana siber seperti pembuatan dan penyebaran konten hoaks mendapat tindak tegas dan cepat aparat.

Salah satu di antaranya pada kasus terkini, Polri menangkap seorang oknum anggota ormas Front Pembela Islam (FPI) yang menjadi aktor tunggal penyebar propaganda bermuatan hoaks dan menyinggung suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).

Tersangka AY (32) sebagai aktor propaganda menyebut tujuan melakukan hal tersebut adalah menyampaikan rasa ketidakpuasan kepada pemerintah dan aparat yang dianggapnya mengkriminalisasi ulama.

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Katolik Parahyangan Asep Warlan Yusuf menyebut penegakan hukum pada era Jokowi terkesan berlaku tegas kepada pihak-pihak yang mengkritik pemerintahan secara terbuka.

Ia menilai penegakan hukum yang dijadikan alat represif terhadap kehidupan berdemokrasi akan menjadi mengkhawatirkan, dan malah berbalik keadaan masyarakat akan melawan.

"Ketika Pak Jokowi kembali jadi Presiden, hal itu tidak perlu terlalu ditonjolkan. Tonjolkanlah penegakan hukum yang menyangkut hajat hidup orang banyak," ujar dia.

Untuk para pelakunya, Asep Warlan mengatakan akan lebih baik jika ke depannya dilakukan pendekatan secara edukasi dan persuasi, bekerja sama dengan pihak akademisi dan kalangan tokoh.

Namun, kata dia, tindakan tersebut bukan berarti keluar dari jalur penegakan hukum. Dalam artian, masyarakat dapat menjadi polisi bagi lingkungannya sendiri.

Akan tetapi, penegakan hukum perlu dilakukan apabila cara-cara tersebut tidak efektif dan pelaku tidak dapat dibina. sehingga aparat penegak hukum perlu bertindak.

"Kalau hak berdemokrasi sudah dibuka lebar dan kalau Jokowi juga sudah mengakui itu sebagai kritik yang membangun, maka itu harus diakomodir," ujar dia.

Polri dalam era pemerintahan Jokowi periode kedua boleh jadi digunakan sebagai alat represif untuk penegakan hukum berkeadilan dalam demokrasi, dan membuat masyarakat agar tetap patuh dan sadar akan hukum.

Jokowi dan aparat penegak hukum pada masa pemerintahan baru diharapkan tetap bersikap adil, proporsional, terbuka, dan tidak pilih kasih atau diskriminatif terhadap siapa saja yang terlibat pelanggaran hukum.

Baca juga: SETARA Institute: Penegakan hukum provokator aksi ricuh secara presisi
Baca juga: Ma'ruf Amin imbau bangsa Indonesia junjung tinggi penegakan hukum
Baca juga: KPK: penegakan hukum RKUHP lebih lunak dibandingkan UU Tipikor

Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2019