Jember, Jawa Timur (ANTARA) - Kecewa dan sedih dirasakan oleh Bram yang tinggal di salah satu kawasan perumahan di Kelurahan Tegalbesar, Kecamatan Kaliwates, Kabupaten Jember, Jawa Timur karena tidak bisa masuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 5 Jember yang jaraknya sekitar 2,1 kilometer dari rumahnya.

Orang tua Bram juga harus pontang-panting mencari SMP negeri yang kekurangan siswa, sehingga mendatangi beberapa SMP yang masih kurang pagunya, yakni SMP Negeri 9 Jember, SMP Negeri 14, dan SMP Negeri 13 yang jaraknya tentu lebih jauh dari SMP yang dipilihnya.

Untuk menuju ke SMPN 9 Jember jaraknya sekitar 5,1 kilometer, kemudian SMPN 14 Jember jaraknya 8,9 kilometer, dan SMPN 13 Jember jaraknya lebih dari 10 kilometer dari rumahnya, namun untuk mendapatkan sekolah yang kekurangan siswa tersebut juga tidak mudah karena harus berebut dengan ratusan calon peserta didik lainnya yang bernasib sama, tidak lolos masuk ke sekolah pilihannya.

Sesuai dengan ketentuan, peserta didik yang lebih dulu mendaftar ke sekolah yang kekurangan siswa tersebut akan diprioritaskan, sehingga siapa yang cepat maka dia yang dapat dan tanpa melihat jarak rumahnya dengan sekolah.

"Setelah cabut berkas di SMPN 5 Jember, saya langsung menuju ke SMP Negeri 9 Jember dan panitia menyampaikan kuota sudah penuh, kemudian menuju ke SMPN 14 Jember juga sudah penuh dan langsung tancap gas ke SMPN 13 Jember yang jaraknya lebih dari 10 km, namun akhirnya kami memilih sekolah swasta yang dekat dengan rumah," kata orang tua Bram, Aziz.

Kekecewaan juga dialami oleh Kirana yang gagal masuk ke SMP Negeri 12 sebagai sekolah pilihannya yang berjarak 3,1 kilometer dari tempat tinggalnya dan diterima di SMPN 14 Jember yang jaraknya mencapai 12 kilometer dari rumah karena daftar lebih cepat.

Orang tua Kirana, Anik Djamadi mengeluhkan PPDB sistem zonasi tersebut karena jerih payah nilai ujian nasional (UN) anaknya rata-rata 8 tidak lagi dihargai sebagai sebuah prestasi dan usaha keras sang anak.

Ia mengatakan PPDB tahap pertama menggunakan sistem meteran yakni jarak rumah dengan sekolah, kemudian pada PPDB tahap kedua menggunakan sistem "hukum rimba", siapa cepat dia dapat, sehingga ia mempertanyakan apakah sistem pendidikan tersebut masih dikatakan beradab.

Tidak hanya Bram dan Kirana yang kecewa dengan sistem zonasi dalam penerimaan siswa baru tersebut, namun masih banyak anak-anak lain di Jember juga kecewa ketika tidak diterima di sekolah pilihannya dan harus lari pontang-panting untuk mendapatkan sekolah negeri yang masih membuka pendaftaran tahap 2 karena kekurangan siswa.

Beberapa perwakilan orang tua siswa pun mengadukan polemik PPDB dengan menggunakan sistem zonasi yang merugikan peserta didik ke anggota DPRD Kabupaten Jember dengan harapan sistem tersebut dievaluasi dan diperbaiki oleh pemerintah pusat dan daerah.

Menurut mereka, banyak masalah yang ditimbulkan dalam penerapan zonasi PPDB khususnya di tingkat SD dan SMP karena sangat tidak adil, sehingga kebijakan itu masih belum tepat diterapkan di daerah yang jumlah sekolah dan penempatan gurunya masih belum merata di Jember.

Warga juga berharap pemerintah daerah seharusnya memiliki kebijakan yang bisa mengakomodasi kebutuhan warganya dan tidak mutlak menerapkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 51 Tahun 2018 tentang PPDB tersebut yang masih menuai kontra dari masyarakat.

Salah satu orang tua siswa yang mengadu ke dewan, Endro Jatmiko menuntut agar ada diskresi dalam PPDB di Jember, sehingga nilai ujian nasional dipertimbangkan dan tidak hanya mengacu pada jarak rumah dengan sekolah yang dinilai tidak adil tersebut bagi calon peserta didik.

Wakil Ketua DPRD Jember Ayub Junaidi mengaku pihaknya sering menerima keluhan terkait dengan PPDB yang menerapkan sistem zonasi murni tersebut yang dinilai kurang adil bagi siswa yang memiliki rumah jauh dari sekolah, sehingga seharusnya ada kebijakan di daerah terkait dengan polemik tersebut.

Sementara Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Jember Edy Budi Susilo mengatakan pihaknya bersikukuh menggunakan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 51 Tahun 2018 tentang PPDB yang menggunakan sistem zonasi, sehingga tidak ada diskresi untuk menggunakan nilai UN.

"Dalam Permendikbud tersebut filosofinya pemerataan pendidikan yang mengandung makna semua memiliki kesempatan yang sama, sehingga tidak ada sekolah yang difavoritkan oleh masyarakat," tuturnya.

Untuk itu, lanjut dia, dalam zonasi murni untuk SMP tidak mensyaratkan nilai atau hasil UN, sehingga semua mengacu kepada zonasi atau jarak terdekat rumah dengan sekolah yang dituju dalam zonasi tersebut.

"Terkait wali murid yang mengeluhkan jalur zonasi yang membuat anaknya tidak mendapat peluang sesuai keinginan, saya menegaskan bahwa sistem ini adalah aturan yang harus dilaksanakan dan setiap kebijakan tentu ada evaluasi," katanya.

Sistem zonasi dalam PPDB tersebut juga berdampak pada masih banyaknya SMP dan SD negeri kekurangan siswa yang tersebar di beberapa kecamatan di Kabupaten Jember.

Sebanyak 685 SDN di Jember kuota pagunya tidak terpenuhi dari total 908 SDN yang tersebar hampir merata di seluruh kecamatan di Jember, sehingga sebanyak 10.129 siswa tidak terserap di SD negeri di wilayah setempat.

Pada PPDB tahun 2019 tingkat SD tercatat jumlah pendaftar sebanyak 22.664 siswa, namun yang diterima di SDN negeri sesuai dengan pilihan sebanyak 21.343 siswa dan jumlah pendaftar yang tidak diterima sebanyak 1.321 siswa pada tahap 1 pendaftaran.

Sedangkan untuk SMP negeri tercatat 53 sekolah dari 94 SMPN di Kabupaten Jember gagal memenuhi pagu yang ditetapka, sehingga sebanyak 1.845 kuota bangku yang masih kosong dalam PPDB tahun 2019 dan sebagian besar SMPN yang gagal memenuhi pagu berada di daerah pinggiran.

Ada empat SMPN yang hanya diminati beberapa siswa seperti SMPN 3 Sukowono hanya diminati tujuh orang dari pagu 32 siswa, kemudian SMPN 5 Silo hanya diminati satu orang siswa dari pagu 32 siswa, pendaftar SMPN 4 Tempurejo sebanyak tujuh siswa dari pagu 32 siswa.

Kemudian SMPN 7 Tanggul menerima pendaftaran tiga orang siswa dari kuota 32 siswa, sedangkan jumlah bangku kosong terbesar ada pada SMPN 3 Balung yakni 124 bangku belum terisi, padahal kuotanya 251 siswa.


Melanggar konstitusi dan tidak adil

Pengamat hukum Universitas Jember Dr Nurul Ghufron mengatakan sistem zonasi pendidikan yang mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 51 Tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dinilai melanggar konstitusi dan akan menimbulkan ketidakadilan bagi siswa.

Menurutnya hal itu akan berakibat tidak imbang atau tidak adil akses siswa kepada sekolah-sekolah tertentu berdasarkan daerahnya, sehingga zonasi justru menimbulkan ketidakadilan baru karena keterbatasan akses pendidikan berdasarkan zona atau wilayah.

Selain itu, fasilitas dan sarana prasarana antarsekolah juga belum merata karena faktanya hingga saat ini adanya sekolah-sekolah favorit karena memang didukung adanya prasarana dan sumber daya manusia (SDM) yang beragam.

"Sebelum realisasi pemerataan SDM guru dan sarana prasarana masih menjadi kesenjangan, maka akses pendidikan berdasarkan zona hanya akan menimbulkan ketidakadilan," katanya.

Ia mengatakan tanggung jawab memberikan keadilan pendidikan bukan dengan memaksa dan membatasi siswa ke sekolah tertentu, termasuk berdasarkan zona wilayah, namun dengan menjamin kesetaraan SDM dan sarana prasarana sekolah.

Gufron menjelaskan negara itu menjamin warganya untuk berpendidikan (bersekolah) dan kewajiban negara untuk mencerdaskan bangsa serta hak warga negara untuk memilih sekolah, sehingga membatasi dalam zona tertentu bisa dinilai merupakan pelanggaran konstitusional.

PPBD berbasis zonasi akan menuai masalah dan berharap tidak menjadi bom waktu bagi kehidupan pendidikan Indonesia, karena anak-anak tersebut bukanlah kelinci percobaan.

Pakar pendidikan yang juga Wakil Rektor III Universitas Jember Prof M. Sulthon Masyud menilai pemerintah terburu-buru dalam menerapkan kebijakan penerimaan peserta didik baru (PPDB) dengan menggunakan sistem zonasi pada tahun ajaran 2019/2020, sehingga dapat berdampak merugikan peserta didik.

Ia mengaku salah satu pakar pendidikan yang menggulirkan gagasan sistem zonasi itu, namun beberapa persyaratan tertentu harus dipenuhi lebih dulu sebelum kebijakan zonasi diterapkan di daerah.

Menurutnya kebijakan penerapan zonasi dalam PPDB tersebut bisa berjalan baik, asalkan pemerintah daerah menetapkan wilayah zonasi lebih dulu, kemudian masing-masing wilayah zona dibangun sekolah yang setara dan dilakukan pemerataan guru di masing-masing zonasi tersebut.

Sejauh ini, lanjut dia, sejumlah persyaratan tersebut belum dipenuhi di beberapa daerah, namun pemerintah sudah menerapkan kebijakan zonasi, sehingga merugikan peserta didik dan berdampak pada ketidakadilan yang harus diterima oleh calon siswa.

Penerapan zonasi dalam PPDB tidak boleh langsung diterapkan, sebelum sejumlah persyaratan tersebut dipenuhi karena dapat merugikan peserta didik dan zonasi dilakukan secara ketat, namun persyaratannya harus dipenuhi, sehingga pendidikan berbasis keadilan dan HAM terpenuhi.

"Kritik saya, pemerintah terkesan terburu-buru dalam menerapkan sistem zonasi pada PPDB tahun ini, sehingga penerapan seperti itu tidak akan menunjang tercapainya kualitas pendidikan yang baik di Indonesia," ujarnya.
Baca juga: Kebijakan zonasi diusulkan ditingkatkan jadi Perpres
Baca juga: Pemda masih lakukan penyimpangan terhadap aturan zonasi
Baca juga: Kak Seto dambakan siswa bersepeda ria ke sekolah seiring zonasi

Pewarta: Zumrotun Solichah
Editor: Tunggul Susilo
Copyright © ANTARA 2019