Khartoum (ANTARA News) - Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH A. Hasyim Muzadi, menyatakan terkesan dengan pembangunan di Sudan dalam beberapa tahun terakhir ini, khususnya diawali dengan pengelolaan hasil eksplorasi minyaknya. "Saya yakin dalam waktu kurang dari sepuluh tahun ke depan Sudan akan menjadi negara yang makmur," katanya dalam pertemuan dengan masyarakat Indonesia di Wisma Duta Besar RI di Khartoum, ibukota Sudan, Jumat. Dalam acara tersebut, Hasyim Muzadi didampingi Duta Besar RI untuk Sudan dan Eritrea, Tajuddien Noor Bolimalakalu, demikian laporan dari Bambang Purwanto, Sekretaris III Pelaksana Penerangan, Sosial dan Kebudayaan (Pensosbud) KBRI Khartoum. Di hadapan sekira 150 Warga Negara Indonesia (WNI) --termasuk keluarga diplomat, mahasiswa-mahasiswi, pekerja profesional sektor perminyakan dan badan internasional dari Indonesia, juga personel TNI yang bergabung dalam pasukan perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Sudan (UNMIS)-- Hasyim Muzadi membandingkan kondisi Sudan pada 2002 dengan saat ini. Ia menilai, saat mengunjungi Sudan pada 2002 kondisinya belum seperti saat ini, di mana jalan-jalan dan bangunan masih sangat sederhana dan penuh debu. Namun, saat ini Sudan sudah memiliki banyak gedung megah, hotel bintang lima, jalan raya yang mulus beraspal, serta jalan tol 1.000 kilometer yang menghubungkan antara Khartoum – Port Sudan. Sudan, menurut dia, mengalami perubahan total dalam waktu enam tahun, setelah bangsa tersebut mulai mengeksplorasi minyak. Selain itu, terjadi pula perubahan dalam gaya hidup masyarakatnya (change of civilization). Hasyim Muzadi mengemukakan, Sudan adalah negara yang memiliki banyak kesamaan dengan Indonesia, yaitu penduduknya mayoritas beragama Islam dan berkebudayaan ramah tamah dan saling menghormati. Oleh karena itu, ia menilai, apabila terjadi konflik antar-umat beragama di Sudan, seperti yang pernah dialami di Sudan Selatan, maka hal itu lebih disebabkan ada pihak yang memanas-manasi. Hal itu, menurut dia, sama halnya dengan yang pernah dialami di Maluku, di mana umat Islam dan Kristen yang berabad-abad hidup rukun sekaligus damai, tetapi tiba-tiba muncul konflik akibat provokasi. Selain itu, ia mengemukakan, Sudan juga tumbuh berkembang demokrasi di tengah kebijakan negara menganut Syariat Islam, yang justru tidak ditemukan di negara-negara Islam lainnya, seperti di Pakistan, Arab Saudi, dan Kuwait. Ia mengemukakan, Sudan mungkin hampir mirip dengan Mesir, namun Mesir tidak secara formal menganut Syariat Islam. "Sudan berhasil menerapkan Piagam Madinah dalam konsep modern, di mana secara formal negaranya menganut Syariat Islam, namun juga melindungi hak-hak non-muslim," katanya. Menyinggung konflik yang terjadi di sejumlah wilayah di Sudan, seperti wilayah Darfur atau Sudan Selatan, Hasyim Muzadi mengatakan, sebaiknya penyelesaian konflik tersebut diselesaikan secara internal oleh orang Sudan, tanpa ada intervensi dari pihak asing. Oleh karena, ia berpendapat, intervensi dari pihak asing hanya akan memperkeruh suasana. Berdasarkan pengalamannya sebagai Ketua Umum PBNU maupun Presiden "World Conference of Religion for Peace" (WCRP), semua konflik yang kelihatannya konflik agama berbagai belahan dunia, seperti Indonesia, Thailand, Filipina, dan Kosovo, sebenarnya adalah konflik non-agama. "Konflik-konflik tersebut adalah konflik politik atau ekonomi yang menggunakan simbol-simbol agama dan mempertentangkan umat beragama," ujarnya. Hasyim mencontohkan, di Sudan Selatan yang berabad-abad umat Kristen dan Islam hidup secara damai, tetapi setelah ditemukannya sumber minyak memunculkan konflik. Begitu pula halnya yang terjadi di Irak. Dalam kaitan semacam itu, Hasyim pun meminta, agar umat beragama jangan salah paham dan mudah dikelabui. Menurut Hasyim Muzadi, perkembangan Islam di dunia baru bisa kuat apabila umatnya memiliki pemahaman agama yang bagus, memiliki demokratisasi, politik yang mapan dan ekonomi yang sehat. Jika tidak, ia menyatakan, maka umat Islam akan dengan gampang dipermainkan. Oleh karena itu pula, Hasyim mengemukakan, kepada para mahasiswa Indonesia yang saat ini sedang menuntut ilmu agama Islam di Sudan, agar sungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, karena Indonesia sangat membutuhkan ulama yang signifikan. "Sebab, di Indonesia itu banyak kiai, tapi kurang ulama. 'Wong' kiai itu cuma panggilan dan banyak yang bisa jadi kiai. Contohnya, ada orang yang terpilih jadi pengurus NU itu langsung dipanggil kiai," ujarnya. Tapi, ia mengatakan, ulama adalah istilah agama, dan bukan istilah budaya, karena hanya yang "khasyatullah" (merasa takut hanya kepada Allah) yang berhak disebut ulama. Hasyim pun berharap, agar mahasiswa Indonesia yang menuntut ilmu di Sudan dapat menjadi "khasyatullah", sehingga dapat menjadi tuntunan dan suri tauladan. "Tanpa 'khasyatullah', cukup disebut cendekiawan saja," ujarnya menambahkan. (*)

Pewarta:
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008