Jakarta (ANTARA) - Kebijakan relaksasi pajak yang baru dikeluarkan oleh pemerintah melalui Kementerian Keuangan dinilai berpotensi untuk melesatkan permintaan terhadap penjualan apartemen kelas atas dan mewah yang tercakup dalam relaksasi pajak tersebut.

"Relaksasi pajak barang mewah akan membuat permintaan apartemen kelas atas meningkat," kata Senior Associate Director Colliers International Indonesia, Ferry Salanto dalam paparan properti di Jakarta, Rabu.

Sebagaimana diketahui, dua peraturan menteri keuangan yang baru saja dikeluarkan berpengaruh terhadap persyaratan dan tingkat pajak barang mewah dan barang super mewah, termasuk untuk apartemen mewah.

Namun, ujar dia, aturan tersebut (yaitu Peraturan Menteri Keuangan/PMK 86/2019 dan PMK 92/2019) dinilai signifikansinya hanya kepada apartemen yang dalam rentang tingkat harga antara Rp10 miliar hingga Rp30 miliar.

Ferry mengungkapkan, regulasi itu hanya akan berpengaruh kepada jenis apartemen kelas atas dan mewah yang hanya mencakup 11 persen dari keseluruhan apartemen (persentase lainnya adalah 67 persen apartemen kelas menengah, dan 22 persen apartemen kelas bawah).

Selain itu, ia juga berpendapat tidak seluruh dari unit apartemen kelas atas dan mewah yang terdampak dari relaksasi pajak itu, tetapi hanya sekitar 56 persen dari keseluruhan apartemen kelas atas dan mewah.

"Apakah ini akan mendorong pengembang untuk lebih banyak membangun apartemen kelas atas dan mewah? Bisa juga, tetapi masalahnya ini adalah proyek yang sangat mahal," katanya.

Ferry juga mengingatkan proses penjualan unit apartemen kelas atas dan mewah bukan termasuk yang tipe penjualannya bisa dilakukan dengan cepat atau laku keras segera, sehingga ke depannya juga agak sulit untuk berpengaruh secara luas kepada keseluruhan sektor properti.

Namun, ia menyatakan apresiasinya kepada pemerintah yang dengan mengeluarkan relaksasi kebijakan pajak dinilai akan memberikan sentimen positif.

"Di sini terlihat bahwa memang ada keinginan pemerintah agar sektor properti bisa lebih maju lagi ke depannya," ucapnya.

Sebelumnya, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho menilai pemerintahan ke depan tidak perlu lagi memberikan insentif untuk menggaet investor luar agar mau menanamkan modal di Tanah Air.

"Yang perlu dilakukan adalah mengevaluasi insentif tersebut apakah sudah efektif atau tidak," kata dia, saat dihubungi di Jakarta, Jumat (28/6).

Ia menilai pemerintah beberapa tahun terakhir tidak tepat sasaran dalam menerapakan tax holiday atau bebas pajak yang terlalu besar serta pengurangan pajak ke semua sektor.

Padahal, kata dia, kebijakan itu hanya perlu dilakukan di sektor-sektor prioritas sehingga tidak berdampak pada defisit transaksi neraca perdagangan nasional.

Oleh sebab itu, evaluasi terhadap 13 paket kebijakan yang telah diterapkan Presiden Jokowi pada periode pertama perlu dilakukan sehingga bisa mengukur sejauh mana keberhasilan insentif tersebut. "Jika sudah dilakukan evaluasi, kita akan mengetahui sejauh mana dampak investasi dari luar atau asing ke perekonomian nasional," katanya.

Baca juga: OJK usulkan relaksasi pajak untuk produk infrastruktur

Baca juga: Pemerintah akan bebaskan pajak barang mewah untuk mobil listrik

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2019