Yang tau psikologis yang tau karakteristik adalah masyarakat setempat, jadi kalau mau ada penataan harus ada komunikasi ke warga nya
Jakarta (ANTARA) - Krak..krak...krak. Itulah  bunyi patahan cangkang kerang saat terinjak oleh kaki yang melangkah. Saat bersamaan  bau amis  pun menyengat.

Suara krak dan bau itu menjadi tanda  bahwa anda telah tiba di Kawasan Muara Angke, Penjaringan, Jakarta Utara.

Kawasan yang selama ini dikenal sebagai sentra pengolahan hasil laut di DKI Jakarta itu ternyata pernah memiliki julukan kampung kerang hijau  karena daratannya ditutupi oleh kerang hijau. Daratan tersebut diciptakan oleh para penduduk korban penggusuran dari kawasan Kali Adem yang secara administratif tercatat sebagai RT 006 RW 022 Kelurahan Pluit.

Pada perkembangannya kawasan itu menjadi sentra pengolahan kerang hijau. Menurut cerita warga yang bernama Lokaeni, menjadi sentra sudah ada sejak tahun 1990 dan merupakan sentra kerang hijau yang pertama di Jakarta.

Namun jangan coba bayangkan jika akses jalan menuju sentra pengolahan kerang hijau sama seperti sentra pada umumnya yang memiliki jalan mulus dan tergolong bersih. Jalanan yang becek dan genangan air menjadi penyambut pertama untuk masuk ke lokasi pengolahan kerang hijau.

 Lokaeni atau yang biasa di sapa Ibu Lo itu telah menggeluti bisnis pengolahan kerang hijau sejak tahun 90-an, namun kini dia lebih memilih berprofesi sebagai pemilik warung. Seiring waktu perubahan terjadi dengan adanya berbagai aktivitas di kawasan ini, sentra kerang yang biasa dimulai dari pagi hari dimana api tungku sudah menyala untuk merebus kerang kini sudah tidak terlihat lagi.

"Dulu jam delapan, jam sembilan udah rame yang ngerebus kerang, karena dulunya paling awal diolah di sini, baru setelah itu merembet ke daerah Cilincing. Sekarang jam sepuluh mulai aja udah lumayan paling nanti jam 12 baru mulai lah," ujar Lokaeni, sembari memotong sayur kol.

Lokaeni mengatakan, dulu ada  ratusan orang yang memiliki usaha pengolahan kerang hijau, bahkan sampai dia memiliki puluhan karyawan untuk mengolah kerang hijau. Mereka dibagi menjadi empat bagian, yakni merebus, mengupas, menangkap kerang, dan membawa kerang ke tempat pelelangan ujarnya.

Untuk satu pekerja Lokaeni memberi upah Rp15.000 per ember, ukuran ember yang dimaksud berdasarkan drum minyak ukuran 22 liter yang di potong menjadi dua bagian atau sekitar 30 kilogram isi kerang hijau.

 Dulu tuh disini banyak banget yang pada kerja, sampai saya bisalah nyekolahin anak lima, yang satu udah sarjana," ujar Lokaeni.

Tapi beda dulu dengan sekarang, keluhnya. Sekarang selain kerangnya sudah berkurang di laut, juga biaya untuk upah pekerja sudah mencapai Rp30.000 per ember.

Pada masa kejayaannya setiap pemilik usaha pengolahan kerang hijau mampu meraup omset hingga Rp3 juta per bulan. Sekarang untuk mendapatkan Rp100.000 per hari saja sulit.

Ia juga menambahkan dulu untuk mendapatkan kerang dari nelayan sanggat mudah, karena banyak nelayan yang memiliki keramba apung untuk ternak kerang hijau, sehingga harga pun menjadi lebih murah. Setiap harinya Lokaeni mampu membeli 10 kilogram seharga Rp12.000 tapi untuk saat ini harga per kilogram nya Rp5000.

Hal itu juga dirasakan salah satu pemilik usaha kerang hijau bernama Santi.  Menurut dia usahanya kini hanya tinggal bergantung apa yang laut berikan untuk nelayan, dari nelayan dapat kerang nya segitu ya segitu, ungkapnya. Santi pun mengatakan, dulu sebelum adanya reklamasi pulau G pendapatan nelayan melimpah dan kualitas kerangnya cukup bagus.

Dulu harga dari nelayan bisa mencapai Rp10.000 per 10 kilogram, kalau untuk kualitas yang besar bisa Rp12.000 per 10 kilogram nya, kalau saat ini bisa mencapai Rp5000 per kilogram nya, belum lagi kualitas kerang hijau sangat buruk dan tercemar limbah.

Keluhan tersebut tidak hanya dari para pengusaha, tapi dari nelayan itu sendiri. Seperti yang disampaikan oleh Tandek nelayan Muara Angke yang telah puluhan tahun melaut di perairan  pantai utara Jakarta.

Dia menceritakan  sebelum reklamasi, laut masih dipenuhi ikan dan sangat mudah untuk berternak kerang hijau. Hanya dengan memasang keramba jala apung, ia mampu menghasilkan uang Rp100.000 per harinya dengan kualitas kerang hijau yang baik.

Berbeda dengan saat ini,  ini karena banyaknya pulau reklamasi, kerang hijau jadi banyak yang berlumpur.


Baca juga: Nelayan Teluk Jakarta merasa dikhianati penerbitan IMB pulau reklamasi
 

Nelayan bertubuh tambun itu menambahkan, bahwa permasalahan baru untuk perairan laut teluk Jakarta terkait kerang hijau kini sulit diternak karena selain adanya reklamasi, banyak pabrik membuang limbahnya ke laut sehingga mengakibatkan kerang hijau banyak yang mati.

Tandek berharap agar pemerintah mampu memperhatikan nasib mereka untuk masa depan anak-anak di Kampung Kerang. Karena Semakin sulit pencarian kerang hijau di kawasan itu, mengakibatkan meredupnya roda ekonomi bagi kesejahteraan nelayan dan masyarakat pesisir pantai utara Jakarta.

Limbah 

Permasalahan yang diungkapkan Tandek bukan sekedar kata yang keluar dari mulut seorang nelayan, hal mengenai limbah di teluk Jakarta sudah pernah disampaikan oleh Guru Besar Kelautan dan Perikanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Etty Riani. Ia mengatakan bahwa ikan dan kerang di Teluk Jakarta bahaya dikonsumsi karena banyaknya senyawa beracun dan berbahaya di Teluk Jakarta yang dapat merusak organ hewan-hewan itu.

Kepala Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Pertanian (KPKP) DKI Jakarta Darjamuni juga menegaskan  bahwa bukan hanya mengandung logam berat, kerang hijau di sana juga diberi pewarna nonmakanan sehingga tidak layak konsumsi.

 Darjamuni juga menjelaskan bahwa kerang hijau merupakan biota laut yang diam dalam artian tidak berenang selayaknya ikan, sehingga menyaring segala zat di sekitarnya. Hal inilah yang membuat kerang hijau beracun. Sehingga ia juga mengimbau warga untuk tidak mengonsumsi kerang hijau dari Teluk Jakarta.

Namun, berbeda dengan tanggapan dari Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Andono Warih yang mengatakan bahwa wilayah pesisir utara Jakarta tidak ditemukan adanya limbah pabrik.

“Temuan limbah pabrik di sekitaran Pesisir Pantai utara, tidak ada ya, sekarang kan cepat banget ya informasi kayak gitu pasti kita terjunkan kesana kalau ada kasus begitu,” kata Andono Warih.
 
Andono juga menyampaikan bahwa Dinas LH DKI Jakarta sangat cepat dalam menangani hal baik yang kecil maupun yang paling besar berkaitan dengan lingkungan.

 
Reklamasi


Dulu sebelum adanya reklamasi pendapatan nelayan melimpah dan kualitas kerangnya cukup bagus, kata pria bernama Kalin. Ia telah menjadi nelayan dan warga kampung kerang hijau selama 16 tahun.

Ia merupakan salah satu nelayan yang aktif dalam menyuarakan nasib nelayan di kampung tersebut, dari mulai penolakan reklamasi teluk Jakarta pada era Gubernur Basuki Tjahaja Purnama atau BTP, dan hingga saat ini di era Gubernur Anies Baswedan.

Ia menuturkan hal yang sama seperti nelayan pantai utara Jakarta, bahwa reklamasi menjadikan tangkapan hasil kerang hijau sulit didapatkan.

“Reklamasi dulu aja kita nolak, lah sekarang kok malah IMB nya keluar,” kata Kalin.

Kalin menyesalkan hal tersebut karena dulu ia dijanjikan saat masa kampanye, Anies Baswedan berjanji menolak adanya reklamasi di teluk Jakarta.Tentu dengan adanya pembangunan kembali di lokasi reklamasi membuat aktifitas nelayan tidak lagi mampu mencari hasil laut di wilayah tersebut.

“loh kita akan dibatasi oleh aturan tentang kawasan strategis itu, jadi kita harus nyari hasil laut jauh didekat Pulau Bidadari, sementara disana tuh lautnya dalam dan enggak ada ikan kecil apa lagi kerang hijau,” ujarnya.

Baca juga: Mahasiswa: Pemprov DKI pastikan tak akan ada pulau reklamasi baru
 

Sementara, Anies Baswedan mengatakan hal yang berbeda, pembangunan di lokasi hasil reklamasi tidak tak memengaruhi kehidupan nelayan dan lingkungan hidup, karena pendirian bangunan di pulau reklamasi tidak sama dengan proyek reklamasi itu sendiri.

 Menurut Anies pemerintah bekerja berdasarkan rujukan sehingga harus berdasarkan siapa yang menginisiasi. Rujukan yang digunakan Pemprov DKI menggunakan Peraturan Gubernur Nomor 206 Tahun 2016 tentang Panduan Rancang Kota (PRK) Pulau Reklamasi yang dikeluarkan mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai dasar penerbitan IMB itu. Hal itu tentu saja mendapat tanggapan dari Anggota DPRD DKI Jakarta dari PDIP, Gembong Warsono. Ia mengatakan bahwa Anies Baswedan cukup cerdik karena menggunakan Pergub sebagai alas hukum.

 
Baca juga: DPRD DKI telaah penerbitan IMB reklamasi

 

“Menurutnya Anies harus menyelesaikan dua Perda terlebih dahulu agar alas hukumnya kuat. Karena pemerintah tidak menggunakan pergub untuk menerbitkan segala kebijakan yang berkaitan dengan reklamasi.

 Sementara terkait penataan kampung kerang hijau, Gembong menyampaikan bahwa penataan atau revitalisasi harus melibatkan masyarakat setempat,

“Yang tau psikologis yang tau karakteristik adalah masyarakat setempat, jadi kalau mau ada penataan harus ada komunikasi ke warga nya,” ujarnya.

Jadi konteks revitalisasi adalah mengembalikan atau menata kampung-kampung yang ada disana. Tapi bukan berarti menghilangkan jejaknya sebagai kampung kerang, tambahnya.

Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Andono Warih juga mengatakan bahwa penataan kawasan pantai utara, saat ini akan ada refisi terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan saat ini pembahasannya sedang dalam proses pengodokan Tim RTRW di Bapeda.

Nanti dari Tim RTRW akan ada produk yang dalam UU lingkungan hidup itu merupakan hal yang harus dilengkapi dengan KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis) karena ini merupakan KRP (Kebijakan Rancangan Program).

Pengodokan terus dilakukan oleh pemerintah, pembangunan terus berjalan oleh pengembang, namun nasib warga nelayan kampung kerang hijau belum jelas rimbanya.

“Kami taat hukum, kami menyalahi aturan, tapi kami yakin jika kami bersama dan bersatu tentu kami akan terus memperjuangkan nasib kami,” kata Kalin.


Baca juga: Anies : Lahan reklamasi kurang dari lima persen yang dipakai

Baca juga: Reklamasi dan IMB disebut Walhi Jakarta tak terpisahkan

 

Editor: Santoso
Copyright © ANTARA 2019