Jakarta (ANTARA News) - "Saya adalah wujud dari kebijakan luar negeri dan kekuatan Amerika. Jika nanti anda kabarkan pada orang-orang bahwa Kita mempunyai presiden yang neneknya tinggal di satu gubuk di pinggir Danau Victoria dan mempunyai adik setengah Indonesia yang menikahi seorang Cina Kanada, maka orang-orang akan menilai si presiden adalah orang yang akan lebih memahami apa yang dihadapi rakyat dan negerinya. Dan mereka benar." Kalimat tersebut dikemukakan oleh senator muda asal Illinois, AS, Barack Obama, pada penghujung tahun lalu dalam sesi wawancara dengan New York Times. Tidak dapat dipungkiri, keragaman atau multikulturalisme memang salah satu kekuatan Obama diantara para pesaingnya menuju Gedung Putih. Sebagai salah seorang kandidat Presiden AS, Obama tentunya memiliki sejumlah program andalan seperti memerangi perdagangan senjata nuklir internasional, mempromosikan penggunaan energi alternatif, keterbukaan pembiayaan, dan penanganan perubahan iklim. Namun, tidak terelakkan lagi jika tema keragaman etnis dan budaya dalam kampanyenya yang secara kebetulan juga tercermin melalui keragaman garis keturunan dalam keluarganya jauh lebih mempopulerkan pria kelahiran 2 Agustus 1961 itu. Dilahirkan dari seorang ibu (Ann Dunham) warga negara AS dan ayah (Barack Husein Obama) warga negara Kenya, rumpun keluarga Obama makin lengkap ketika sang ibu menikah lagi dengan Lolo Soetoro yang warga negara Indonesia, dan memberikan Obama seorang adik tiri --Maya Kassandra Soetoro-- yang menikah dengan orang Kanada keturunan China. Sementara itu sang ayah yang menikah dengan perempuan Kenya memberi Obama tujuh saudara tiri. Keberagaman yang diusung oleh tim Obama, secara tidak langsung memang mendekatkan kandidat presiden itu dengan para pemilihnya, apalagi kaum kulit berwarna yang selama beberapa waktu terakhir selalu merasa terpinggirkan di negeri paman Sam itu. Jika berhasil menguasai Gedung Putih maka sejarah yang dicetak Obama tidak hanya sebagai presiden kulit hitam pertama AS namun juga presiden yang mewakili kondisi rakyat AS saat ini yang sangat beragam. Dua Sisi Namun, keberagaman keluarganya itu di sisi lain juga acap kali menimbulkan masalah bagi Obama. Dalam berbagai kesempatan Obama harus menegaskan berulang kali bahwa ia adalah seorang penganut nasrani yang taat untuk menangkis rumor kedekatannya dengan Islam. Terlebih lagi Obama, --yang pernah tinggal di Indonesia pada 1969-1971 bersama ayah tirinya-- disebut-sebut sebagai pernah bersekolah di madrasah (sekolah Islam) dan beragama Islam --sebelum kemudian menjadi penganut nasrani yang taat--, dua hal yang menjadi phobia bagi publik AS. Dalam situs abc7chicago.com, Obama membantah telah bersekolah di madrasah selama tinggal di Indonesia dan mengatakan dia bersekolah di sekolah umum yang kebetulan sebagian siswanya muslim karena 90 persen warga Indonesia adalah muslim. Selama di Indonesia, ayah dua putri itu tercatat pernah bersekolah di SD Fransiskus Asisi dan SD Besuki Menteng, Jakarta Pusat. Sementara itu kepada New York Times, Maya --adik tiri Obama-- menyebut ibunya yang seorang agnostik (masih mempertanyakan keberadaan Tuhan dan konsep Ketuhanan), kerap menghadiahi anak-anaknya Injil, Kitab Hindu Upanishad, Budhisme, dan Tao Te Ching. Pada kesempatan itu Maya yang tidak menyebut Al-Quran menolak jika kekhawatiran identitas keislaman yang menempel ketat pada keluarganya --terutama ayah kandung dan ayah tirinya-- akan mencederai citra Obama. "Aku tidak menyangkal Islam. Aku kira sangatlah penting untuk diketahui bahwa kami memiliki pemahaman yang lebih baik tentang Islam. Tapi akan sangat salah jika itu dihubung-hubungkan dengan abangku karena ia berkeyakinan Kristen sejak 20 tahun lalu," kata Maya. Masa-Masa di Indonesia Sementara itu, dalam buku otobiografinya, "Dreams From My Father", Obama menuturkan bahwa salah satu hal yang mengubah semua visinya mengenai AS dan dunia, adalah kehidupan masa kecilnya di Indonesia. "Tinggal di Indonesia menanamkan pemahaman abadi dalam pemikiran saya selama masa-masa pembentukan jati diri," kata Obama. Kehidupan di Indonesia telah menanamkan apresiasi terhadap kultur dan sejarah Asia yang mengagumkan. Obama juga mengaku menjadi sangat memiliki cinta yang besar kepada orang Asia karena dia pernah tinggal di Jakarta. Yang paling berkesan bagi Obama kecil waktu itu adalah kehidupan di Indonesia yang membuat mata hatinya terbuka mengenai ekstrimnya jurang antara kemiskinan dan kemakmuran di dunia, yang belakangan berdampak pada kehidupan politik orang awam. "Indonesia merupakan tempat yang memikat dan menantang, di mana semua visi saya berubah untuk seterusnya," kata Obama. Selama bermukim di Indonesia, Obama hanya memerlukan waktu kurang dari setengah tahun untuk memahami bahasa Indonesia, termasuk kebiasaan, adat dan cerita-cerita rakyatnya. Berkat Indonesia pula, secara umum Obama memahami betapa besar pengaruh Washington dan dampaknya atas negara-negara di Asia dan dunia. "Saya semakin sadar apa peran yang seharusnya bisa dilakukan AS untuk kebaikan dan keburukan bagi perekonomian dan kondisi negara-negara di dunia," katanya. Sementara itu, dalam pesannya yang tercantum di situs www.barackobama.com, secara khusus Obama menyebut keputusan pencalonan dirinya sebagai sebuah keputusan yang sangat besar --sebuah keputusan yang tidak diambil berdasarkan ambisi belaka. "Jadi, sebelum saya memutuskan, saya ingin memastikan bahwa ini adalah yang terbaik bagi saya, keluarga saya, kita semua dan yang jauh lebih penting adalah bagi negara ini (AS--red)," katanya. Lulusan Fakultas Hukum Harvard itu juga menyatakan bahwa perjalanannya ke penjuru negeri dan puluhan surat yang diterimanya menyadarkan dia betapa AS membutuhkan sesuatu yang baru dalam hal politik. Untuk membuktikan segala janjinya, Obama masih harus menempuh jalan panjang berliku, mengingat kandidat lain Partai Demokrat mantan ibu negara Hillary Rodham Clinton --senator asal New York-- tidak berdiam Bahkan, pasca "Super Tuesday" --saat dimana sebagian besar negara bagian melakukan pemungutan suara--, kekuatan kedua kandidat tersebut masih terbilang imbang. Sekalipun Obama berjaya di 13 negara bagian, namun Hillary, yang juga mantan ibu negara AS itu, mendapatkan perolehan delegasi yang lebih besar dibandingkan Obama. Namun, setidaknya paruh pertama 2008, publik akan menjadi saksi kekuatan atau kelemahan multikulturalisme yang diusung Obama.(*)

Oleh Oleh Gusti NC Aryani
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008