Jakarta (ANTARA) - Sastra klasik Sulawesi Selatan "Sureq Galigo" diadaptasi menjadi pertunjukan teater "I La Galigo" oleh Yayasan Bali Purnati didukung Bakti Budaya Djarum Foundation yang digelar di Ciputra Artpreneur pada 3-7 Juli 2019.

"Sureq Galigo" adalah wiracarita mitos penciptaan suku Bugis (circa abad 13 dan 15) yang terabadikan lewat tradisi lisan dan naskah-naskah, kemudian dituliskan dalam bentuk syair menggunakan bahasa Bugis dan huruf Bugis kuno.

Dalam adaptasi naskah panggung ini, "Sureq Galigo" menjadi dasar kisah yang menggambarkan petualangan perjalanan, peperangan, kisah cinta terlarang, pernikahan yang rumit dan pengkhianatan.


Elemen-elemen ini dirangkai menjadi cerita besar yang menarik dan dinamis dan ternyata masih relevan dengan kehidupan modern.

Karya musik-teater "I La Galigo" ini bercerita melalui tarian, gerak tubuh, soundscape dan penataan musik gubahan maestro musik Rahayu Supanggah di bawah penyutradaraan salah satu sutradara teater kontemporer terbaik dunia saat ini, Robert Wilson.

Pertunjukan yang berdurasi dua jam ini disertai tata cahaya dan tata panggung yang spektakuler.
Pementasan I La Galigo (HO/Djarum Foundation)



Untuk menciptakan ekspresi yang lebih dramatis, sebanyak 70 instrumen musik, mulai dari instrumen tradisional Sulawesi, Jawa, dan Bali akan dimainkan 12 musisi untuk mengiringi pertunjukan ini.

Penataan bunyi dan musik ini merupakan sebuah hasil karya dan hasil kerja intensif melalui riset yang tidak main-main di bawah penyelia Rahayu Supanggah.

“Mulai dari tahun 2001 kami mempelajari naskah tua yang dianggap sakral dalam budaya Bugis tersebut, sekaligus mendalami budaya Sulawesi Selatan. Setelah tiga tahun, akhirnya pada tahun 2004 kami melakukan pementasan pertama I La Galigo di Esplanade, Singapura," ujar Restu I. Kusumaningrum, Ketua Yayasan Bali Purnati dan Direktur Artistik I La Galigo. dalam keterangan resmi, Kamis.
Pementasan I La Galigo (HO/Djarum Foundation)


Teater ini kembali hadir di Jakarta setelah melanglang buana ke sembilan negara. Restu berharap pertunjukan yang dikemas secara modern bisa memperkenalkan naskah kuno asli Nusantara untuk generasi muda.

Sejak pentas perdananya di Esplanade Theatres on the Bay (Singapura) pada 2004, lakon ini terus menuai pujian saat digelar di kota-kota besar dunia seperti Lincoln Center Festival di New York, Het Muziektheater di Amsterdam, Fòrum Universal de les Cultures di Barcelona, Les Nuits de Fourvière di Prancis, Ravenna Festival di Italy, Metropolitan Hall for Taipei Arts Festival di Taipei, Melbourne International Arts Festival di Melbourne, Teatro Arcimboldi di Milan, sebelum kembali ke Makassar untuk dipentaskan di Benteng Rotterdam.

I La Galigo juga terpilih sebagai pementasan khusus berkelas dunia pada Annual Meetings IMF-World Bank Group 2018 di Bali, bahkan The New York Times menyebutnya "stunningly beautiful music-theater work" ketika I La Galigo menjadi pembuka Lincoln Center Festival 2005.

Baca juga: Pemkot Makassar siapkan pentas La Galigo malam PSBM

Baca juga: Pertunjukkan La Galigo dukung pinisi masuk UNESCO

Baca juga: Setelah La Galigo, ANRI ajukan arsip KAA sebagai warisan dunia

Pewarta: Nanien Yuniar
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2019