Jakarta (ANTARA) - Wakil Presiden Institute of Scrap Recycling Industries (ISRI) Adina R Adler menilai Indonesia perlu mempromosikan daur ulang material sisa (scrap) yang bisa dimanfaatkan menjadi bahan baku industri.

ISRI adalah LSM yang berbasis di Washington DC, Amerika Serikat (AS), yang gencar mempromosikan daur ulang yang aman, berkelanjutan secara ekonomi, dan ramah lingkungan.

“Saya pikir ada masalah dengan peraturan pemerintah tentang bagaimana mempromosikan daur ulang (limbah) di Indonesia, juga isu perizinan untuk memastikan kepatuhan terhadap aspek lingkungan, serta memastikan standar tenaga kerja,” kata Adina dalam diskusi berjudul Plastics and Scrap: Trash or Valuable Commodity di Pusat Kebudayaan Amerika Serikat @america di Jakarta, Jumat.

Selain itu, upaya untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya daur ulang dimulai dari pemahaman terhadap scrap, yang bukanlah sampah melainkan komoditas berharga.

Di AS, misalnya, material sisa industri bukan diregulasi sebagai sampah melainkan sebagai barang manufaktur.

“Yang paling penting adalah membangkitkan pesan bahwa komoditas barang ulang diperlukan oleh banyak industri sebagai bahan baku yang kompetitif, lebih ramah lingkungan, dan hemat energi,” tutur Adina.

AS telah berupaya memperluas penggunaan konten daur ulang dalam pembuatan produk baru dan dalam proyek infrastruktur diantaranya melalui investasi dalam industri kertas dan plastik, pemberian insentif untuk bisnis daur ulang, serta komitmen untuk menggunakan plastik daur ulang oleh produsen kemasan dan pengecer, seperti Walmart dan Target.

Di AS sendiri, sekitar 130 juta metrik ton material sisa industri didaur ulang setiap tahun dan menghasilkan 13,2 miliar dolar AS pemasukan bagi negara.

Berbeda dengan AS, industri daur ulang di Indonesia belum berkembang.

Menurut Pendiri ETAPAS, platform perdagangan elektronik yang menghubungkan unit bisnis ke unit bisnis lainnya yang akan melakukan pertukaran barang komoditas limbah, Reza Bath, industri daur ulang limbah belum menjadi fokus pemerintah.

“Pemerintah tidak punya rencana nyata untuk membangun ekosistem daur ulang. Dan saat ini pengelolaan limbah masih ditangani oleh KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), padahal menurut saya akan lebih pas jika daur ulang limbah ditangani oleh Kementerian Perindustrian,” ujar Reza.

Selain persoalan regulasi dan kewenangan, infrastruktur dan rantai pasok limbah yang akan didaur ulang juga menjadi tantangan bagi Indonesia.

Berdasarkan penelitian ETAPAS, dengan 65 juta ton sampah per hari yang dihasilkan, Indonesia memiliki potensi besar untuk mendaur ulang limbah menjadi komoditas bernilai miliaran dolar AS.

“Karena itu, ETAPAS saat ini fokus untuk menciptakan ekosistem daur ulang dengan menggunakan potensi besar yang dimiliki Indonesia, mulai dari ketersediaan lahan hingga tenaga kerjanya. Saya rasa ini waktu yang tepat bagi Indonesia mengeksplorasi peluang ini,” ujar Reza.

Baca juga: ISRI: perdagangan limbah daur ulang berdasarkan permintaan

Baca juga: Aktivis lingkungan menyeru pabrik ponsel lakukan daur ulang

Baca juga: Bali gelar deklarasi bersih sampah plastik diikuti ribuan peserta


Pewarta: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Azizah Fitriyanti
Copyright © ANTARA 2019