Daerah lain bisa belajar dari Jawa Timur tentang bagaimana mengatasi kekeringan
Jakarta (ANTARA) - Indonesia merupakan kawasan dengan anomali cuaca yang sangat unik karena pada saat yang bersamaan ada wilayah yang kekeringan, di tempat lain diguyur hujan selama beberapa hari.

Kekeringan biasanya terjadi pada musim kemarau, yang pada 2019 dimulai sejak awal Juni dan hingga Juli dilaporkan sudah ada beberapa wilayah yang mengalami kekeringan.

Seperti yang terjadi di Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah misalnya. Sebanyak 733 keluarga atau 2.809 jiwa di kabupaten tersebut terdampak kekeringan pada awal Juli.

Kekeringan melanda 12 desa di enam kecamatan, yaitu Desa Kedungbenda, Kecamatan Kemangkon, Desa Panunggalan dan Desa Tegalpingen, Kecamatan Pengadegan, serta Desa Tamansari dan Desa Pekiringan, Kecamatan Karangmoncol.

Selain itu, Desa Karangcegak, Desa Karangjengkol, Desa Candiwulan, dan Desa Candinata, Kecamatan Kutasari; Desa Bandingan, Kecamatan Kejobong, serta Desa Jambudesa dan Desa Karanganyar, Kecamatan Karanganyar.

Untuk mengatasi dampak kekeringan yang lebih luas, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Purbalingga telah mendata dan menyalurkan bantuan 49 tangki air bersih atau 245.000 liter hingga Kamis (4/7).

Selain berdampak langsung pada kegiatan manusia, kekeringan juga berdampak pada pertanian. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan sawah seluas 1.040 hektare di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat terancam gagal panen atau puso akibat kekeringan.

"Selain 1.040 hektare sawah terancam puso, hingga Kamis (4/7) kekeringan juga berdampak pada 649 kepala keluarga atau 1.806 jiwa," kata Kepala Bidang Hubungan Masyarakat BNPB Rita Rosita.

Kekeringan di Kabupaten Ciamis melanda enam kecamatan sejak awal musim kemarau yang dimulai Juni. Enam kecamatan tersebut, adalah Labok, Banjarsari, Banjaranyar, Purwadadi, Pamarican, dan Ciamis.

Permasalahan yang dihadapi masyarakat setempat adalah sumber air bersih yang jauh dan bak penampungan air yang jumlahnya kurang. Selain itu, akses jalan menuju lokasi air  juga tidak bisa dijangkau kendaraan.

"Tim Reaksi Cepat Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Ciamis telah berkoordinasi dengan Dinas Pertanian setempat sebagai upaya untuk menanggulangi dampak kekeringan tersebut," kata Rita.

BPBD Kabupaten Ciamis telah menyalurkan bantuan berupa satu tangki air bersih berkapasitas 5.000 liter.

 Baca juga: Jawa-Bali dan Nusa Tenggara berpotensi kekeringan ekstrem


Selatan Katulistiwa

Sekretaris Utama BNPB Dody Ruswandi mengatakan daerah yang rawan kekeringan pada musim kemarau di Indonesia kebanyakan yang berada di selatan garis katulistiwa.

"Mungkin pada saat yang sama, di utara katulistiwa terjadi hujan tetapi di selatan katulistiwa kekeringan," katanya.

Kekeringan terjadi di beberapa wilayah karena memang kekurangan air saat musim kemarau. Biasanya, BPBD di wilayah yang berpotensi kekeringan sudah mempersiapkan diri dan memetakan daerah-daerah mana saja yang akan memerlukan bantuan.

Pemetaan dan penanganan kekeringan di daerah dikoordinasi oleh BPBD setempat. Bila diperlukan, BNPB siap memberikan bantuan menggunakan dana siap pakai untuk penanggulangan bencana.

Beberapa model bantuan yang bisa dilakukan BNPB dan jajaran BPBD antara lain pengiriman air bersih menggunakan mobil tangki atau mekanisme hujan buatan.

Namun, kekeringan yang selalu terjadi saat musim kemarau seharusnya bisa dicegah bila BPBD dan pemerintah daerah setempat melakukan upaya-upaya antisipasi.

Berbagai upaya untuk mengatasi kekeringan di Indonesia harus dilakukan dengan cara-cara yang terukur dan terstruktur sehingga setiap tahun wilayah-wilayah yang mengalami kekeringan semakin berkurang.

"Misalnya ada provinsi atau kabupaten/kota yang memiliki potensi kekeringan, harus ada data dan peta berapa jumlahnya dan berapa infrastruktur yang diperlukan untuk mengatasi setiap tahun," kata Dody.

Salah satu praktik terbaik mengatasi kekeringan dilakukan oleh BPBD Jawa Timur. Pada 2013, mereka mendata dan memetakan terdapat 900-an wilayah yang berpotensi mengalami kekeringan.

Setiap tahun, Pemerintah Provinsi Jawa Timur melakukan upaya-upaya mengatasi kekeringan seperti membangun embung-embung dan membuat sumur bor.

"Saat ini, wilayah-wilayah yang berpotensi mengalami kekeringan di Jawa Timur sudah jauh berkurang, kurang dari 100 wilayah yang harus waspada menghadapi kekeringan," tutur dia.

Karena bisa dikatakan sudah berhasil mengatasi kekeringan di wilayahnya, BPBD Jawa Timur sudah tidak perlu meminta bantuan dana siap pakai dari BNPB.

Kekeringan yang terjadi di wilayah itu bisa diatasi sendiri oleh BPBD Jawa Timur karena jumlahnya sudah semakin berkurang dan infrastruktur untuk mengatasi sudah terbangun.

"Daerah lain bisa belajar dari Jawa Timur tentang bagaimana mengatasi kekeringan yang terukur dan progresif," katanya.

Musim kemarau dan kekeringan juga bisa berdampak lebih luas berupa kejadian kebakaran hutan dan lahan. Bila kebakaran terjadi di lahan gambut, maka akan lebih sulit dipadamkan karena bara api berada dalam di bawah permukaan tanah.

Baca juga: Kemensos siap salurkan beras atasi kekeringan


Hari Tanpa Hujan

Sebelumnya, Pusat Analisis Situasi Bencana (Pastigana) BNPB sudah memperkirakan akan terjadi hari tanpa hujan kategori ekstrem atau lebih dari 60 hari di wilayah-wilayah Jawa Timur, Bali, dan Nusa Tenggara Timur.

Wilayah yang diperkirakan akan mengalami hari tanpa hujan lebih dari 60 hari antara lain Kemulan, Jawa Timur; Sambirenteng, Bali; serta Wairang, Fatukety, Sulamu, dan Oepoi di Nusa Tenggara Timur.

Selain hari tanpa hujan kategori ekstrem, Pastigana BNPB juga memperkirakan akan terjadi hari tanpa hujan kategori sangat panjang atau 30 hari hingga 60 hari di beberapa provinsi.

Hari tanpa hujan kategori sangat panjang diperkirakan terjadi di Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DIY, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Papua.

Menghadapi kemungkinan cuaca ekstrem tersebut, BNPB mengimbau pemerintah daerah untuk mengantisipasi kemungkinan terjadi kekeringan.

Pemerintah daerah diimbau untuk mempersiapkan warganya dengan penyiapan sumber daya, pemantauan ketersediaan air bersih, serta pemenuhan standar minimum air untuk kebutuhan warga dan hewan ternak.

Pastigana BNPB memperkirakan awal musim kemarau 2019 umumnya akan terjadi pada Mei, Juni, dan Juli dengan persentasi sekitar 83 persen.

Puncak musim kemarau diperkirakan terjadi pada Agustus 2019, dengan presentasi 53 persen.  


Baca juga: Upaya petani Banten mengantisipasi kekeringan
Baca juga: Mewujudkan perbukitan Prambanan "zero dropping" saat kemarau
 

Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2019