Kota Pekanbaru (ANTARA) - Pakar hukum pidana dari Universitas Riau Erdianto Effendi mengatakan, jika Presiden Jokowi memberikan amnesti kepada Baiq Nuril, ini bisa jadi preseden di masa datang sekaligus untuk membuat norma hukum yang lebih tegas dan konkret.

"Norma hukum yang lebih tegas dan konret itu adalah tentang batasan penyebaran informasi yang bersifat melanggar kesusilaan atau  penghinaan, dan harus dibuat tegas bahwa jika dilakukan untuk kepentingan umum dan pembelaan diri tidak dapat dipidana," kata Erdianto di Pekanbaru, Senin.

Baca juga: Baiq Nuril: saya ingin mencari keadilan, saya tidak akan menyerah

Baca juga: Komnas Perempuan sesalkan MA tak gunakan PERMA 3/2017 kasus Baiq Nuril


Pendapat ini  disampaikanya terkait Makamah Agung menolak Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Baiq Nuril, terpidana kasus pelanggaran UU ITE.

Menurut dia, dalam pasal 310 ayat 3 KUHP sebenarnya sudah diatur bahwa tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.

Namun dalam praktiknya, katanya menyebutkan, banyak putusan pengadilan tetap menjatuhkan putusan pidana walaupun pidana ringan. Padahal, bukan soal berapa lama pidananya tapi soal bersalah atau tidaknya orang yang merasa membela kepentingan umum atau membela diri.

"Dalam kasus Baiq Nuril, pasal 310 ayat 3 mustinya dapat digunakan sebagai dasar, yaitu apa yang dilakukan Baiq Nuril adalah demi kepentingan umum," katanya.

Ia menekankan bahwa dalam kasus Baiq Nuril, Presiden Jokowi harus menilai apakah sedemikian penting untuk memberi amnesti kepada Baiq Nuril, karena itu Presiden perlu meminta pendapat pihak terkait.

Dalam kasus ini, katanya,  lazim terjadi perdebatan nilai keadilan masyarakat dengan hukum yang berlaku. Mengapa masyarakat merasa tercederai rasa keadilannya,  karena dalam pandangan masyarakat melaporkan suatu kejadian yang melanggar kesusilaan adalah boleh bahkan dianggap sebagai suatu keharusan.

"Sementara dari sisi hukum dipandang salah karena menyebarkan perbuatan yang bersifat rahasia," katanya.

Baca juga: Kejaksaan Agung tak buru-buru eksekusi Baiq Nuril

Sementara itu, amnesti adalah pengampunan yang menghapuskan kesalahan pelaku, bukan perbuatan. Kalau penghapusan dapat dipidananya perbuatan disebut abolisi.

Dengan diberikannya amnesti, peniadaan pidana berlaku terhadap orang tertentu walaupun perbuatannya tetap dianggap salah.

Harus diperhatikan betul isi putusan dan duduk kasusnya Baiq Nuril. Sebagai apa perannya hingga ia bisa dipidana.

Dalam putusan pengadilan Baiq Nuril dianggap bersalah karena menyebarkan cerita kepala sekolah tentang hubungan kepala sekolah tersebut dengan bendahara.

"Secara normatif menyebarkan informasi semacam itu memang dapat dipersalahkan, tetapi semestinya harus ada kearifan dalam penegakan hukum. Baiq Nuril justru berbuat baik karena melaporkan hal itu terkait perbuatan yang tidak baik (tercela) seorang kepala sekolah menurut norma yang berlaku di tengah masyarakat," katanya.

Namun putusan pengadilan tentu didasarkan pada fakta hukum dan alat bukti. Jika ada kekeliruan dalam proses hukum upaya yang dapat ditempuh adalah peninjauan kembali. Jika semua proses hukum sudah ditempuh maka yang bisa ditempuh lagi adalah grasi. Masalahnya, grasi hanya hanya dapat diajukan terhadap pidana minimal 2 tahun.

Amnesti adalah pengampunan yang menghapuskan kesalahan pelaku, bukan perbuatan. Kalau penghapusan dapat dipidananya perbuatan disebut abolisi. Dengan diberikannya amnesti, peniadaan pidana berlaku terhadap orang tertentu walaupun perbuatannya tetap dianggap salah.

"Dalam sejarahnya amnesti diberikan kepada tokoh-tokoh politik seperti dalam kasus PRRI dan GAM. Amnesti diberikan kepada orang-orang yang betul-betul dianggap penting. Pimpinan KPU era Nazarudin Syamsudin yang tersangkut kasus korupsi pernah diusulkan amnesti karena dianggap berjasa menyelenggarakan pemilu, tapi urung dilakukan," katanya. 

Baca juga: Menkumham bertemu Baiq Nuril bahas amnesti



 

Pewarta: Frislidia
Editor: Eddy K Sinoel
Copyright © ANTARA 2019