Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Teguh Surya mengatakan rencana moratorium hutan primer dan gambut untuk dipermanenkan pemerintah harus memiliki nilai tambah dari segi ruang lingkup luasan.

"Jadi yang dilindungi itu tidak hanya hutan alam primer dalam bahasa KLHK tapi juga hutan-hutan sekunder yang hari ini terancam sehingga memiliki nilai tambah," kata dia, saat dihubungi di Jakarta, Selasa.

Ia mengatakan berdasarkan data pemerintah, Yayasan Madani Berkelanjutan melihat terdapat 9,2 juta hektare (Ha) hutan alam yang belum dilindungi dalam konteks moratorium.

Rinciannya sebanyak 5,4 juta Ha hutan alam di wilayah nonhutan, kemudian 3,8 juta Ha hutan alam di hutan produksi konversi (HPK) yang seharusnya turut dilindungi pemerintah.

Berdasarkan analisis yang dilakukan Madani Berkelanjutan, pada 2017 sedikitnya tercatat 46,7 juta ha hutan sekunder yang harus dilindungi pemerintah.

Ia berpendapat jika perpanjangan tidak memberikan nilai tambah pada perlindungan hutan dari segi luasan, maka hal itu bisa memberikan legitimasi untuk menebang hutan di wilayah yang tidak masuk ke dalam kebijakan moratorium.

Sejak 2011 atau Inpres moratorium pertama dikeluarkan, hingga saat kini luas wilayah moratorium selalu berkurang. Misalnya di periode 2011-2017 pengurangannya 2,7 juta ha.

"Pada 2018 revisi peta indikatif moratorium data itu naik dari 2,7 juta ha menjadi 2,85 juta Ha," katanya.

Secara umum ia mengatakan kekhawatiran terbesar yaitu kondisi hutan di wilayah Papua dan Aceh karena Sumatera dan Kalimantan sudah dalam kategori hampir habis.

Baca juga: Menteri LHK sampaikan komitmen moratorium hutan di Korsel
Baca juga: CIPS: Moratorium perizinan kawasan hutan primer-gambut harus permanen
Baca juga: Pemerintah diminta tak perpanjang moratorium pembukaan lahan

Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2019