Jakarta (ANTARA) - Berjarak sekitar 25 kilometer dari pusat DKI Jakarta atau berdurasi tempuh sekitar satu jam, Kamal Muara memiliki keunikan tersendiri dibandingkan kampung-kampung nelayan lainnya di pesisir Ibukota.

Saat memasuki lorong-lorong kampung, pengunjung akan disuguhi pemandangan berupa banyaknya rumah panggung dengan tiang pancang setinggi antara satu hingga dua meter.

Rumah-rumah panggung itu sebagian berdiri di atas tanah dengan tumpukan kulit kerang, sementara sebagian lainnya berdiri menjorok ke laut.

Di bagian teras depan tanpa perabot meja dan kursi, sejumlah warga tampak duduk lesehan asyik dengan obrolan mereka.

 
Suasana Kampung Nelayan Kamal Muara di Penjaringan, Jakarta Utara, Senin (8/7/2019). (ANTARA News/Aditya Pradana Putra)



Tak hanya berupa rumah panggung yang sebagiannya bercat warna mencolok, keunikan tersebut akan semakin pengunjung sadari ketika mendengar percakapan yang dilakukan antara warga setempat.

Dialog yang warga Kampung Nelayan Kamal Muara ucapkan tidak terdengar seperti bahasa Indonesia dialek Jakarta pada umumnya yang sering diucapkan oleh warga di Jakarta.

"'Enkako pole' (selamat datang) di kampung kami," sapa Fanna (65), salah seorang warga setempat dengan logat Bugisnya yang kental.

Selain Fanna, ada seribuan orang lainnya masih menggunakan bahasa Bugis sebagai bahasa pengantar sehari-hari di kampung nelayan itu. Namun uniknya lagi, bahasa Bugis yang mereka gunakan sesekali bercampur dengan kosakata bahasa Betawi, seperti kata "lu" dan "gue".

"Mayoritas warga Kampung Nelayan Kamal Muara ini berasal dari Suku Bugis," kata pria lanjut usia yang dibawa merantau almarhum ayahnya di Kamal Muara sejak 1975 itu.

Sebagian besar generasi berusia dewasa dan lanjut, masih fasih menggunakan bahasa Bugis.

Namun, menurut Fanna, sebagian dari kalangan anak muda tidak terlalu fasih berbahasa Bugis karena sudah berbaur dengan warga dari suku lainnya saat bersekolah maupun bermain, dengan menggunakan bahasa Indonesia dialek Jakarta.

Tak hanya dalam bahasa sehari-hari, masyarakat Bugis penghuni Kampung Nelayan Kamal Muara juga masih memegang teguh adat istiadat mereka dalam perayaan-perayaan besar, salah satunya saat pesta perkawinan.

Apalagi bila pasangan pengantin itu keduanya bersuku Bugis, adat istiadat turun temurun nenek moyang tidak mungkin terlewatkan mewarnai rangkaian acara pernikahan mereka.

Sementara itu, Ketua RW 04, Kampung Nelayan Kamal Muara, Penjaringan, Jakarta Utara, Sudirman mengatakan 90 persen dari sekitar 2.000 jiwa penduduk di lingkungan RW yang dia pimpin merupakan warga bersuku Bugis. Sisanya bersuku Betawi, Jawa, Sunda, dan suku lainnya di Indonesia.

"Komposisi Suku Bugis di sini sebagian besar berasal dari daerah Wajo dan Bone di Sulawesi Selatan," kata dia.

Tidak hanya di RW yang Sudirman pimpin saja yang memiliki penduduk mayoritas bersuku Bugis.

"RW tetangga yang bersebelahan atau RW 01 juga memiliki penduduk mayoritas bersuku Bugis," kata dia.

Bahkan, populasi Suku Bugis di kampungnya menyebar hingga ke kawasan Dadap, Kabupaten Tangerang, Banten, yang letaknya berbatasan langsung di sebelah barat.

Asal mula

"Menurut cerita orang tua saya, pada 1960-an Kampung Kamal Muara merupakan pantai dengan hutan bakau," kata generasi kedua Suku Bugis yang menghuni Kamal Muara.

Memasuki 1970-an, gelombang kedatangan perantau Suku Bugis asal Sulawesi Selatan mulai berdatangan di kawasan pesisir Teluk Jakarta itu.

"Seperti orang-orang Bugis di daerah-daerah perantauan lainnya, kami juga memilih pesisir sebagai daerah tempat tinggal," kata Sudirman.

Gelombang awal Suku Bugis yang datang di Kamal Muara ini, kata Sudirman, mulai membuka lahan hutan bakau untuk membangun tempat tinggal.

Jumlahnya semakin bertambah hingga ribuan orang dan membentuk sebuah perkampungan padat penduduk seperti sekarang ini.

Dahulu seluruh rumah di Kampung Nelayan Kamal Muara ini merupakan rumah panggung, kenang Sudirman.

"Namun semenjak pemerintah membangun tanggul untuk menahan rob yang masuk ke perkampungan beberapa tahun lalu, sebagian warga mulai mengubah bentuk rumah mereka dengan menguruk bagian dasar sehingga tidak lagi menggunakan tiang pancang atau tak lagi berwujud rumah panggung," kata dia.

Meski begitu, masih banyak warga yang masih mempertahankan bentuk rumah panggung khas Suku Bugis.

Saat ini, kata Sudirman, telah 80 persen warga di kampung ini mengantungi surat hak guna lahan milik negara sebagai dokumen lahan yang mereka gunakan sebagai tempat tinggal.

Selain itu, lanjut dia, jaringan listrik, fasilitas kesehatan, dan sekolah yang berada tak jauh dari kampung itu juga bisa dinikmati seluruh warganya.

"Yang belum ada saat ini hanya jaringan pipa air bersih sehingga warga harus merogoh kocek lebih dalam saat kemarau untuk membeli air bersih. Itu pun saat ini sedang dalam proses realisasi dari pemerintah," kata Sudirman.

 
Suasana Kampung Nelayan Kamal Muara di Penjaringan, Jakarta Utara, Senin (8/7/2019). (ANTARA News/Aditya Pradana Putra)


Mata pencaharian warga

Namanya kampung nelayan, mencari ikan di lautan pasti menjadi nadi kehidupan masyarakat setempat.

Di samping itu, sebagian warga lainnya menjadikan budidaya kerang hijau sebagai sumber penghasilan mereka.

"Seperti orang-orang Bugis lainnya, kami tidak bisa lepas dari laut karena di situlah sumber kehidupan kami," kata seorang warga, Sahril.

Namun, pembangunan pulau buatan hasil reklamasi yang berada tak jauh di sisi utara kampung membuat nelayan setempat harus lebih memutar otak.

"Akibat adanya pulau buatan itu, tangkapan kami menurun dan titik lokasi pencarian ikan harus kami lakukan lebih jauh dari biasanya," kata seorang warga berprofesi nelayan lainnya yang enggan berbagi nama.
 
Suasana Kampung Nelayan Kamal Muara di Penjaringan, Jakarta Utara, Senin (8/7/2019). (ANTARA News/Aditya Pradana Putra)


Meski begitu, keberadaan pulau buatan tersebut tidak dalam semua sisi merugikan mereka.

Sang Ketua RW 04 kampung itu, Sudirman mengatakan gelombang laut yang menerpa kampung mereka tidak sebesar saat sebelum ada pulau buatan. "Kini ombak yang menerpa permukiman kami lebih tenang," kata Sudirman.

Tak hanya di Dermaga Marina Ancol dan Muara Angke saja, setiap akhir pekan dan hari libur nasional Kamal Muara juga disesaki wisatawan yang ingin menyeberang ke Kepulauan Seribu untuk melepas penat.

Seorang warga setempat lainnya, Rahmi Ile mengatakan, ramainya wisatawan dalam setahun terakhir membuat warga menangkap peluang untuk menyewakan kapal-kapal mereka ke agen wisata sebagai sarana penyeberangan ke sejumlah pulau di Utara Teluk Jakarta itu.

Sekarang tak hanya mencari ikan, banyak dari mereka yang telah merambah sektor wisata bahari sebagai sumber penghasilan tambahan.

"Asal halal, peluang itu akan kami coba agar kami bisa terus bertahan hidup di Jakarta yang keras ini," kata Rahmi.

Darah pelaut dari nenek moyang telah mengalir secara turun temurun. Bagi masyarakat Bugis di Kamal Muara, laut adalah sahabat, pun dalam mencari rejeki.

Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2019