Kalau sering-sering transaksi gagal karena alatnya yang rusak, konsumen akan kapok juga
Denpasar (ANTARA) - Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali mendorong pusat perbelanjaan dan toko ritel di Pulau Dewata untuk meningkatkan sistem elektronifikasi pembayaran atau transaksi nontunai karena memiliki berbagai keunggulan.

"Kalau transaksi menggunakan uang kartal atau tunai ada risiko tidak tepat jumlah dan ada potensi menerima uang yang diragukan keasliannya. Selain itu, dengan pembayaran tunai ada istilahnya 'cash handling' kita harus menyimpan lagi, menghitungnya dan disetor ke bank yang ada risiko tersendiri perjalanan dari toko ke bank," kata Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali Teguh Setiadi disela-sela FGD bertajuk Peningkatan Elektronifikasi Pembayaran di Toko Ritel dan Pusat Perbelanjaan itu, di Denpasar, Rabu.

Namun, dengan transaksi nontunai, ujar Teguh, maka semua transaksi sudah tercatat secara digital sehingga mudah untuk melakukan analisis, apakah omzetnya naik atau turun dan besaran pajak yang harus dibayarkan ke pemerintah daerah.

Pihaknya melihat saat ini untuk generasi milenial nampak lebih menerima atau terbiasa menggunakan transaksi nontunai. Tetapi tidak bisa dimungkiri masih cukup besar porsi masyarakat dengan tradisinya yang terbiasa menggunakan pembayaran secara tunai.

BI mencatat jumlah nilai transaksi nontunai di Bali per Mei 2019 mencapai lebih dari Rp2,238 triliun, dengan jumlah alat pembayaran menggunakan kartu (APMK) sebanyak 2.995.520 kartu yang terdiri dari 317.744 kartu ATM, kemudian kartu debet 2.316.714, dan kartu kredit 361.059 kartu. Jumlah tersebut telah mengalami peningkatan dibandingkan periode sebelumnya.

Dari diskusi yang melibatkan sejumlah pengelola pusat perbelanjaan dan ritel, serta kalangan perbankan di Kota Denpasar itu mengemuka sejumlah persoalan yang dihadapi terkait transaksi nontunai, seperti masalah tawar menawar mengenai merchant discount rate (MDR) atau biaya yang harus dibayar pedagang kepada bank acquirer (bank yang bekerja sama dengan APMK), khususnya pada pengusaha ritel yang kecil-kecil.

Demikian juga persoalan ketika "Electronic Data Capture" yang disiapkan perbankan mengalami masalah dibutuhkan waktu perbaikan yang terlalu panjang.

"Kadang perbankan memberikan waktu dua minggu. Kalau bisa dipercepatlah misalnya semalam, atau langsung ada pendukungnyanya sehingga mendorong masyarakat untuk melakukan transaksi non tunai. Sebab kalau sering-sering transaksi gagal karena alatnya yang rusak, konsumen akan kapok juga," ujar Teguh.

Persoalan lainnya dari sisi akses jaringan internet, meskipun di Bali relatif sudah tercover semua, namun pada gedung-gedung tertentu ada yang susah sinyal juga.

Masalah lainnya, lanjut Teguh, dengan transaksi nontunai mau tidak mau telah mempertebal dompet dengan sejumlah kartu dengan pinnya masing-masing. "Nanti arahnya agar bisa menggunakan satu kartu untuk pembayaran semua, kalau sekarang kartu e-money ada, debet juga lain kartunya, dan sebagainya," ucapnya.

Yang jelas, pihaknya akan terus berusaha menyosialisasikan dan mengedukasi manfaat transaksi nontunai dari segi konsumen, pemerintah daerah, maupun pelaku industri. Sampai saat ini, menurut dia, belum semua pusat perbelanjaan maupun toko ritel di Bali yang menggunakan transaksi nontunai.

Baca juga: BI akan bentuk TPDD kembangkan transaksi digital
Baca juga: BI ingatkan larangan penggesekan ganda transaksi nontunai

 

Pewarta: Ni Luh Rhismawati
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2019