Bandarlampung (ANTARA News) - Meski Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu belum disetujui menjadi Undang-Undang, namun pelarangan anggota TNI dan Polri untuk menghadiri kampanye telah disepakati bersama pemerintah dan DPR. Aturan itu berdampak positif bagi TNI, setelah institusi militer itu memutuskan untuk tidak menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2009. Awalnya, Panitia Kerja (Panja) RUU Pemilu 2009 membuat kontroversi, dengan membolehkan anak-anak, anggota TNI dan Polri, serta para PNS untuk menghadiri kampanye Pemilu 2009, meski bukan atas nama institusi. Panja berpendapat kehadiran di kampanye itu merupakan pendidikan politik serta untuk mengubah kesan Pemilu yang seram menjadi lebih aman. Usulan itu mendapatkan reaksi tajam dari berbagai kalangan, termasuk dari pengamat politik, para perwira tinggi TNI aktif dan kalangan purnawirawan TNI Mereka berpendapat kampanye adalah tahapan paling kritis dalam setiap pemilihan umum, paling rawan bentrokan dan kerusuhan antarpendukung konstentan Pemilu. Karenanya, aparat keamanan (Polri) yang dibantu TNI biasanya disiagakan maksimal untuk mengamankan tahapan kampanye tersebut. Kalau Polri dan TNI boleh menghadiri kampanye, berarti pengamanan menjadi kendur, yang tentu berpotensi mengganggu kesuksesan pelaksanaan Pemilu. Selain itu, parpol-parpol di Indonesia masih sangat pragmatis, karena Pemilu digunakan hanya sebagai wahana perebutan kekuasaan, bukan sebagai langkah awal untuk memperbaiki kondisi bangsa dan negara secara maksimal. Sehubungan itu, banyak pihak sepakat bahwa keikutsertaan TNI dalam setiap tahapan-tahapan Pemilu, terutama pada masa kampanye, sangat tidak sesuai dengan semangat untuk menjauhkan TNI dari politik praktis. Aturan yang membolehkan menghadiri kampanye bahkan bisa dijadikan menjadi sarana bagi prajurit TNI untuk mencapai pangkat keprajuritannya yang lebih tinggi, yakni menjadi ajang untuk menunjukkan dukungannya bagi konstentan terkuat memenangkan Pemilu itu. Sekjen Dephan Letjen Sjaffrie Sjamsoeddin mempertanyakan motivasi di balik keinginan melibatkan anggota TNI dan Polri dalam kampanye Pemilu 2009. "Untuk apa hadir di kampanye. Daripada ikut kampanye, lebih baik menjalankan tugas atau istirahat," katanya. Lembaga kajian kebijakan publik, The Indonesian Institute (TII), juga memberikan usulan dengan meminta pemerintah dan DPR, yang tengah membahas paket RUU Politik, agar menjaga netralitas TNI dan Polri, yakni melarang anggota TNI dan Polri menghadiri kampanye. "Harus tegas melarang TNI dan Polri menghadiri kampanye, walau tanpa atribut kedinasan. Kalau punya waktu, sebaiknya digunakan untuk bertugas, beristirahat, daripada menghadiri kampanye," kata Direktur Eksekutif TII, Jeffrie Geovanie. TNI dan Polri secara kelembagaan maupun individu harus netral, karena mereka bukan anggota partai politik. Begitu juga terhadap para PNS, mereka harus netral meski dibolehkan menghadiri kampanye. Kehadiran anggota TNI dan Polri dalam kampanye tentu bisa merusak netralitas TNI dan Polri, karena kehadiran itu bisa diartikan sebagai bentuk dukungan terhadap suatu parpol. Sesepuh TNI lainnya, Letjen (Purn) Suaidy Marasabessy, dengan tegas mengatakan bahwa memberikan kesempatan kepada anggota TNI untuk ikut berkampanye akan menimbulkan masalah internal bagi TNI. Dengan demikian, TNI akan berpihak dan terkooptasi dengan kekuatan politik tertentu, walaupun hanya sebagai peserta pasif kampanye, apalagi jika menjadi peserta aktif kampanye. Tingkat kematangan demokrasi masyarakat Indonesia masih rendah, sementara perilaku parpol masih sangat berorientasi kekuasaan dan profesional prajurit belum sepenuhnya terbentuk sebagaimana diamanatkan UU No 34 tahun 2004 tentang TNI. Suaidy Marasabessy juga memperingatkan bahwa tahapan kampanye akan menjadi pangkal bagi para prajurit untuk melakukan pelanggaran. Jika TNI melakukan pelanggaran dan pemihakan kepada salah satu konstentan Pemilu, maka akan merusak tanggung jawab TNI untuk bersikap netral dan melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia. Tidak Untung Menurut Ketua DPP Partai Hanura itu, keikutsertaan TNI (dan Polri) dalam masa kampanye tidak akan mendatangkan keuntungan, termasuk bagi TNI. Keikutsertaan TNI dalam kampanye bahkan akan mendorong TNI kembali berpolitik praktis, padahal TNI hingga sekarang belum tuntas melaksanakan reformasi internalnya sebagaimana diatur dalam UU tentang TNI. Karena profesionalisme prajurit belum tercapai sebagaimana diamanatkan undang-undang itu maka TNI telah menyatakan belum siap menggunakan hak memilih pada Pemilu 2009. Tentang penggunaan hak memilih TNI pada Pemilu 2009, memang berkembang pro-kontra, namun semuanya hampir sepakat untuk melarang anggota TNI terlibat dalam kampanye. TNI sendiri setelah tidak menggunakan hak memilih pada Pemilu 2004, juga tidak akan menggunakan haknya pada Pemilu 2009, setelah institusi militer itu melakukan suatu pengkajian yang komprehensif. Reaksi penolakan atas keikutsertaan TNI dan Polri dalam kampanye akhirnya bisa diterima para anggota DPR yang membahas RUU Pemilu. Dengan demikian, RUU tentang Pemilu yang sedang dibahas DPR bersama pemerintah --yang merupakan revisi atas UU No.12/2003 tentang Pemilu -- tetap melarang keikutsertaan aparat TNI dan Polri dalam kampanye pada Pemilu. Menurut Ketua Pansus RUU tentang Pemilu DPR RI Ferry Mursyidan Baldan kampanye Pemilu hanya diikuti oleh masyarakat yang memiliki hak pilih, sedangkan TNI dan Polri tidak memiliki hak pilih. Karena itu, TNI dan Polri tidak bisa mengikuti kampanye, menyelenggarakan serta menyediakan fasilitas untuk kampanye partai politik tertentu. Sementara PNS boleh ikut kampanye, namun tidak menggunakan atribut dan fasilitas milik pemerintah. Pelarangan ikut berkampanye itu memang selaras dengan keinginan TNI yang menolak menggunakan hak pilih pada Pemilu 2009 demi menjaga soliditas dan mempercepat reformasi internal TNI.(*)

Oleh Oleh Hisar Sitanggang
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008