Para pengungsi di jalan tersebut kebanyakan berasal dari Afghanistan, Somalia, dan Sudan, negara-negara yang dilanda perang dalam beberapa tahun terakhir, dan kebayakan dari mereka mengaku melarikan diri dari negaranya karena mencari keamanan yang ti
Jakarta (ANTARA) - Dua anak berlarian di pinggir jalan sesekali mereka berbicara dengan bahasa asing menunjuk-nujuk deretan bus oranye TransJakarta yang terparkir di pinggir Jalan Kebon Sirih di Jakarta Pusat, orang-orang tua mereka melihat sambil duduk beralaskan kardus.

Anak-anak itu adalah bagian dari rombongan pengungsi dan pencari suaka yang sudah beberapa hari tinggal di pinggir jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, dekat dengan gedung Menara Ravindo yang merupakan lokasi kantor Badan Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR).

Awalnya jumlah mereka hanya puluhan, namun dalam beberapa pekan terakhir kehadiran mereka meningkat pesat dan memenuhi jalan tersebut.

“Tadinya mereka tidak sebanyak ini. Saya kan suka makan nasi goreng di samping Ravindo kalau malam. Sudah biasa melihat mereka, tapi ya tidak sebanyak seperti sekarang,” ungkap Desi R., salah satu karyawan perusahaan yang berada di sekitar jalan tersebut, ketika ditemui pada Kamis.

Menurut Desi, setelah bekerja selama setahun di sekitar Kebon Sirih, pemandangan warga asing yang duduk di pinggir jalan dan tidur menggunakan tenda sudah bukan hal yang asing. Tapi dia tidak pernah melihat jumlah sebanyak seperti sekarang ini.

“Tadi saya lihat tendanya sampai dekat lampu merah. Biasanya hanya di samping Ravindo saya,” ungkapnya.

Para pengungsi di jalan tersebut kebanyakan berasal dari Afghanistan, Somalia, dan Sudan, negara-negara yang dilanda perang dalam beberapa tahun terakhir, dan kebayakan dari mereka mengaku melarikan diri dari negaranya karena mencari keamanan yang tidak di dapat di sana.

“Saya naik perahu sampai di Medan, dari sana naik bus ke Jakarta. Jauh sekali memang,” ungkap Abdul Salam, pengungsi asal Somalia, dengan bahasa Inggris terbata-bata ketika ditemui di Jalan Kebon Sirih pada Kamis.

Abdul mengaku dia dan istrinya melarikan diri dari perang dan bayang-bayang ekstremis agama di negara yang terletak di daerah Tanduk Afrika itu.

“Saya sudah tinggal di Indonesia selama dua tahun. Saya kabur untuk menyelamatkan diri saya. Karena perang dan serangan dari grup seperti Al Shabaab,” ungkapnya, merujuk kepada kelompok bersenjata yang berupaya menyingkirkan pemerintah resmi Somalia.

Hal yang sama diungkapkan oleh Ruslan Ahmad, pengungsi dan pencari suaka asal Afganistan yang mengaku sudah tinggal di Indonesia selama empat tahun. Menurut Ruslan, dia biasanya tinggal di sekitar Kebon Sirih dan makan terkadang didapat dari bantuan warga sekitar.

“Semua pengungsi di sini datang untuk menyelamatkan nyawa mereka. Kami merasa Indonesia aman,” ujarnya.

Ruslan mengaku dia datang ke Indonesia bersama teman-temannya yang kebanyakan adalah pria dan hanya ingin kejelasan di mana UNHCR akan menempatkan dia untuk hidup di sisa hidupnya.

“Saya tidak peduli negara mana. Asal aman,” ujarnya.

Pengungsi mengelilingi Ketua DPRD DKI Prasetio Edi Marsudi yang meninjau proses relokasi di Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Kamis (11/7/2019) (Prisca Triferna/Antara)
Transit pengunsi

Indonesia adalah rumah sementara untuk sekitar 13.840 pengungsi yang berasal dari 49 negara yang berbeda dengan hampir setengahnya berasal dari Afganistan, berdasarkan data yang dimiliki oleh UNHCR pada 2017.

Menurut data tersebut, keberadaan Indonesia menjadi tempat transit pengungsi mulai meningkat sejak akhir 2000, 2001, dan 2002. Dengan kedatangan pengungsi dan pencari suaka sempat turun pada 2003 sampai 2008, namun, kembali meningkat pada 2009.

Indonesia tidak meratifikasi trakat Konvensi Terkait Status Pengungsi pada 1951 yang mendefinisikan status pengungsi dan menetapkan hak individu untuk memperoleh suaka dan tanggung jawan negara yang memberikan suaka.

Akibatnya, pemerintah memberikan otoritas kepada UNHCR untuk menjalankan mandat melindungi pengungsi dan mencari solusi untuk pengungsi yang datang ke Indonesia. Namun, Presiden Joko Widodo pada 2016 menandatangani Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri yang didalamnya mengatur bagaimana pemerintah Indonesia akan berkoordinasi dengan UNHCR dan/atau organisasi internasional bidang migrasi dan kemanusiaan yang bekerja sama dengan pemerintah.

Perpres itu juga mengatur bagaimana bila pengungsi yang belum tertampung, maka mereka dapat ditempatkan di lokasi akomodasi sementara yang ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat.

Hal itu yang terjadi pada Kamis, 11 Juli 2019 saat para pengungsi yang sudah beberapa pekan menempati badan jalan di Kebon Sirih, dipindahkan ke lokasi penampungan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang bekerja sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI serta beberapa lembaga negara yang lain.

Mereka dipindahkan ke Kalideres, Jakarta Barat, tinggal di tenda-tenda pengungsian Kementerian Sosial dan Dinas Sosial DKI Jakarta. Menurut data terakhir jumlah mereka mencapai 998 orang pada Kamis malam.

Bantuan itu, menurut Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi, adalah bentuk keprihatinan akan sesama manusia yang membutuhkan bantuan. Meski dia juga menegaskan permasalahan pemberian suaka adalah urusan antara pengungsi dan UNHCR.

“Karena kalau ada apa-apa ini bukan urusan pemerintah daerah. Tapi secara kemanusiaan saya terpanggil. Masalah mereka mencari suaka itu ke UNHCR itu urusan mereka dengan UNHCR. Tapi tidak boleh ada namanya orang yang tidur di pelatara, apalagi di daerah ring 1, daerha perkantoran pemerintah,” ungkapnya ketika meninjau relokasi pengungsi di Kebon Sirih pada Kamis.

Pernyataan Prasetio diamini oleh Wakil Ketua Komisi E DPRD DKI yang membawahi bidang kesejahteraan masyarakat, Ramly HI Muhammad, yang menegaskan DPRD DKI bergerak atas dasar kemanusiaan.

“Komisi E mendukung agar mereka ditampung. Karena kasihan, dari segi kemanusian kita harus datangi. Karena tidak setiap saat begitu kondisinya,” ungkap Ramly ketika dihubungi pada Kamis.

Menegaskan komitmen pemerintah daerah dan lembaga legislatif Jakarta untuk menyelesaikan masalah pengungsi tersebut, Ramly berharap akan ada solusi ke depannya agar para pengungsi itu tidal lagi harus tidur di jalan-jalan umum.

“Karena mereka bisa dibilang tamu kita, kita coba hargai kedatangan mereka. Allah maha tahu bagaimana kita menerima mereka. Semoga ada jalan keluar segera,” ujarnya.

Keinginan akan ada jalan keluar tersebut juga merupakan impian para pengungsi yang dipindahkan tersebut. Mereka hanya berharap status mereka diperjelas dan segera memiliki kehidupan layak seperti orang-orang di negara damai.

“Kami hanya mencari kedamaian, supaya anak-anak saya bisa tumbuh baik,” ungkap Abdul Salam sesaat sebelum menaiki bus yang akan membawanya ke tempat penampungan.

Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2019