Padang (ANTARA) - Bung Hatta yang tidak hanya dikenal sebagai salah seorang proklamator kemerdekaan Republik Indonesia, tetapi juga sebagai Bapak Koperasi Indonesia karena perhatian dan kepeduliannya terhadap perkembangan koperasi pada masa awal kemerdekaan.

Kondisi saat itu, ia menilai kesenjangan ekonomi bisa diminimalkan dengan prinsip gotong royong dan kebersamaan melalui koperasi. Kepedulian itulah yang kemudian membuatnya didaulat sebagai Bapak Koperasi dalam Kongres Koperasi II pada 17 Juli 1953 di Bandung.

Lama setelah Bung Hatta tiada, konsep ekonomi yang diusungnya terus berkembang. Koperasi menjamur hingga pemerintah memandang perlu dibentuk sebuah kementerian untuk mengelola potensi ekonomi itu melalui Kementerian Koperasi dan UKM.

Di kampungnya, di Bukittinggi, Sumatera Barat, di bekas Ibu Kota Indonesia saat Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), geliat koperasi yang ia perjuangkan masih terasa hingga kini.

Pola pengelolaannya malah berkembang tidak hanya konvensional tetapi juga pola syariah meski jumlahnya belum begitu banyak.

Data Dinas Koperasi UKM dan Perdagangan Bukittinggi, jumlah koperasi yang ada di daerah itu mencapai 92 unit dengan 87 diantaranya tergolong aktif. Jumlah itu jauh lebih banyak dari pembagian administratif yang terdiri atas tiga kecamatan dan 24 kelurahan.

Secara matematis, masing-masing kelurahan di Bukittinggi memiliki setidaknya tiga koperasi meski secara sebaran sebenarnya tidak persis merata seperti itu.

Dari puluhan koperasi itu, Koperasi Pegawai Negeri (KPN) Syariah Dinas Pendidikan (Disdik) Bukittinggi merupakan salah satu yang terbaik dengan jumlah anggota 871 orang dan aset mencapai Rp51,1 miliar.

Anggota itu berkurang cukup banyak pada 2016 seiring kebijakan peralihan kewenangan SMA/SMK ke provinsi sesuai UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Semua guru SMA terpaksa keluar, karena gaji sudah pindah ke provinsi, sehingga tidak bisa dipotong langsung oleh koperasi.

Meski demikian, koperasi itu telah berdiri sejak 1975 itu terus berkembang dan saat ini, koperasi telah memiliki gedung kantor berlantai tiga milik sendiri. Lantai I digunakan untuk usaha toko serta ada (toserba), lantai II usaha simpan pinjam dan kantor serta lantai III untuk ruang pertemuan.

KPN lembaga keuangan non bank yang paling banyak menuai kisah sukses hingga menjadi andalan untuk berbagai lomba koperasi tingkat daerah hingga nasional.
 
Toko serba ada (toserba) di lantai I gedung milik Koperasi Pegawai Negeri (KPN) Syariah Dinas Pendidikan Bukittinggi. (ANTARA SUMBAR/ Miko Elfisha)


Mekanisme pembayaran angsuran pinjaman anggota yang langsung dipotong dari gaji menjadi "jimat" utama sehingga Non Performing Loan (NPL) atau kredit macet seringkali dijumpai 0 persen. Belum lagi gaji sampai di tangan, angsuran hutang di koperasi sudah dipotong duluan oleh bendahara bekerjasama dengan bank, bagaimana bisa "nunggak"?

Tapi ternyata tidak semua KPN yang bisa berlanjut dengan kisah sukses. Ada juga yang patdi tengah, bubar karena anggota "terlampau kreatif" hingga punya cara untuk bisa menghindari kewajiban membayar angsuran pinjaman.

Jumlah pinjaman dari anggota yang "over creative" ini biasanya cukup banyak, tetapi menagihnya sangat sulit. Saat sudah pensiun dari PNS, ia bisa hilang tiba-tiba seperti hantu meninggalkan kredit macet di koperasi.

Karena itu, kepiawaian pengurus juga menjadi syarat mutlak agar sebuah koperasi bisa berjalan dengan baik, berkembang dan memberikan manfaat tanpa henti pada anggotanya seperti yang dicita-citakan Bapak Koperasi Bung Hatta.

KPN Syariah Dinas Pendidikan Bukittinggi bukan hanya koperasi beraset besar, tetapi mampu memberikan bunga lebih kecil daripada bunga pinjaman di bank sehingga anggota benar-benar merasa terbantu dan terbebas dari hutang bank.

Dua pengurus koperasi, M.Azwir dan H. Firdaus saat ditemui menyebut bunga pinjaman atau saat ini menjadi margin karena mereka mulai beralih pada pola syariah, hanya 0,7 persen per bulan atau 8,4 persen pertahun dan direncanakan turun lagi menjadi 0,5 persen pada tahun depan.

Margin yang kecil itu, sebagian besarnya langsung dikembalikan lagi kepada anggota yang meminjam dalam bentuk program sosial diantaranya stimulan anak berprestasi, beasiswa, tali asih anggota naik haji, menikah atau kematian, studi banding serta Tunjangan Hari Raya (THR).

Anak-anak anggota yang berprestasi juara I,II dan III diberikan stimulan prestasi dengan jumlah berturut-turut Rp750 ribu, Rp500 ribu dan Rp400 ribu. Anak yang telah kuliah dengan IPK tertentu diberi stimulan Rp750 ribu per semester.

"Jika diakumulasikan, 0,4 persen dari margin 0,7 persen itu dikembalikan kepada anggota. Jadi margin sebenarnya yang diambil koperasi hanya sekitar 0,3 persen," kata Azwir.

Dengan margin yang "menggiurkan" itu, hampir semua anggota mengajukan pinjaman sehingga total kredit yang berputar mencapai Rp49 miliar. Anggota bisa meminjam hingga Rp250 juta dengan tenor 180 bulan.

Selain itu, anggota yang ingin melunasi pinjaman tidak dikenai pinalti. Hanya membayar sebanyak pokok pinjaman, tanpa dihitung marginnya.


Pola syariah

Sejak setahun terakhir, KPN itu mulai beralih menggunakan pola syariah. Peralihan itu dilakukan secara bertahap, karena ada beberapa persyaratan yang belum bisa diikuti sepenuhnya. Diantaranya, terkait Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang sedang diusahakan, kemudian bank yang digunakan masih konvensional karena terikat aturan penerimaan gaji PNS melalui Bank Pembangunan Daerah (BPD).

Meski demikian, usaha simpan pinjam yang dilakukan tidak lagi menggunakan bunga, tetapi kesepakatan (akad) dan margin sesuai pola syariah.

"Secara bertahap kami berkomitmen menjadikan KPN ini koperasi dengan pola 100 persen syariah," kata Azwir.

Pembukuan koperasi itu juga diaudit oleh auditor independen yang berbeda setiap tahun sebagai salah satu pertanggungjawaban dari pengurus. Dua tahun terakhir pembukuannya mendapatkan penilaian Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
Unit Simpan Pinjam di lantai II gedung milik Koperasi Pegawai Negeri (KPN) Syariah Dinas Pendidikan Bukittinggi. (ANTARA SUMBAR/ Miko Elfisha)


Tergerus Persaingan 

Selain simpan pinjam, KPN Syariah Dinas Pendidikan Bukittinggi juga memiliki unit usaha Toko Serba Ada (Toserba). Unit usaha itu malah dilengkapi dengan aplikasi belanja "online" sendiri. Anggota tidak perlu langsung datang ke toserta, tetapi cukup memesan lewat aplikasi online.

Aplikasi yang dibangun bekerjasama dengan Dinas Kominfo setempat itu, menjadi keunggulan tersendiri bagi koperasi. Anggota sebagian besar menggunakan aplikasi itu untuk berbelanja kebutuhan di sana.

Perputaran uang pada unit usaha itu bisa mencapai Rp1,5 miliar setahun sehingga cukup memberikan kontribusi terhadap kemajuan koperasi.

Namun sejak tiga tahun terakhir, Bukittinggi "diserbu" swalayan bermodal besar. Tidak saja menawarkan tempat yang lebih besar dan nyaman, swalayan itu juga memiliki jenis barang yang lebih lengkap serta harga yang kadang lebih murah dari toserba kecil. Akibatnya, toserba kecil jadi kalah bersaing, termasuk toserba milik koperasi.

Padahal pengurus telah mengiming-imingi hadiah bagi anggota yang paling banyak belanja di toserba pada saat RAT, namun tidak terlalu menolong. Laba yang bukukan terus menurun setiap tahun.

"Sekarang anggota lebih suka belanja di swalayan besar. Mungkin karena semua kebutuhan bisa langsung terpenuhi dalam satu tempat dan harga lebih murah," kata pengurus KPN Syariah Disdik Bukittinggi, Firdaus.

Itu sangat disayangkan karena praktis hanya unit usaha simpan pinjam yang masih memberikan keuntungan kepada koperasi sementara unit toserba makin terpuruk.

Ia berharap ada perlindungan dari pemerintah untuk unit usaha dengan modal terbatas milik koperasi, agar koperasi di kampung halaman Bung Hatta itu hanya sebatas simpan pinjam saja, tidak bisa berkembang pada bidang lain karena kalah bersaing.
Baca juga: Dekopin ajak seluruh koperasi bergabung dalam koperasi berskala besar
Baca juga: Menko Perekonomian: Pemerintah terus berusaha memeratakan perekonomian
Baca juga: Koperasi harus lakukan reformasi total dalam cara pandang

Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2019