Lahan gambut di Kalsel bisa memberikan value added (nilai tambah) kepada masyarakat itu sendiri, sehingga imbasnya kepada peningkatan kesejahteraan petani. Dengan diversifikasi tanaman, sehingga tidak fokus kepada kelapa sawit yang menjadi tanaman pa
Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Komisi IV DPR Michael Wattimena mendorong agar potensi budi daya lahan gambut dapat dioptimalkan karena bisa memberikan nilai tambah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Michael Wattimena dalam rilis yang diterima di Jakarta, Senin, menyatakan, budi daya lahan gambut tidak hanya diperuntukkan untuk tanaman kelapa sawit, tetapi juga dapat diperuntukkan untuk tanaman yang sifatnya hortikultura, seperti buah-buahan, sayuran, obat dan bunga.

Politisi Partai Demokrat itu mengemukakan hal tersebut saat memimpin Tim Kunjungan Kerja Spesifik Komisi IV DPR RI meninjau budi daya lahan gambut di Kalsel, Jumat (12/7).

"Lahan gambut di Kalsel bisa memberikan value added (nilai tambah) kepada masyarakat itu sendiri, sehingga imbasnya kepada peningkatan kesejahteraan petani. Dengan diversifikasi tanaman, sehingga tidak fokus kepada kelapa sawit yang menjadi tanaman pangan, tetapi bisa juga dari sisi holtikultura dan lain-lain," katanya.

Komisi IV DPR RI, ujar dia, sangat mendukung budi daya dan pencegahan kebakaran lahan gambut ini, dengan memperjuangkan anggaran Kementerian Pertanian, khususnya untuk pengelolaan lahan gambut agar ditambah untuk tahun anggaran 2020.

Sebagaimana diwartakan, kebijakan moratorium perizinan untuk kawasan hutan primer dan gambut di berbagai kawasan Nusantara selayaknya harus dipermanenkan karena memiliki banyak manfaat bagi kinerja sektor kehutanan nasional

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Muhammad Diheim Biru mengatakan, upaya pemberlakuan moratorium ini merupakan bentuk komitmen pemerintah untuk melindungi kekayaan megabiodiversitas untuk mencegah kepunahan, investasi jangka panjang, pemenuhan komitmen terhadap konvensi perubahan iklim internasional dan meredam konflik antar pihak dengan kepentingan yang berbeda.

Selain itu, ujar dia, pemberlakuan moratorium ini juga merupakan upaya pemerintah yang jelas untuk menurunkan angka emisi gas rumah kaca yang ditargetkan pada 2030 mendatang sebesar 29 persen.

"Namun target ini dikhawatirkan tidak akan mampu dipenuhi Indonesia kalau stok karbon saat ini masih terhapus perlahan-lahan dan tidak juga terdeteksi," kata Muhammad Diheim Biru.

Belum lagi, lanjutnya, terdapat studi dari lembaga riset internasional yang menunjukkan bahwa Indonesia hanya mampu menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 19 persen pada tahun 2030 meskipun sudah mengikuti kebijakan dengan taat untuk menjaganya.

Apalagi, ia juga menekankan bahwa hutan primer di Indonesia berkontribusi sebagai penyimpan keanekaragaman hayati beragam.

"Sebagai salah satu stok penyimpan karbon terbesar di dunia, keberadaan hutan primer juga merupakan nilai penting bagi kelompok adat tertentu di daerah sekitarnya. Keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya menjadi pemberi jasa terbesar untuk banyak kehidupan di dalamnya termasuk manusia, yaitu udara bersih, pengatur iklim, filter air bersih, penstabilan struktur tanah dan jasa ekosistem lainnya," jelas Diheim.

Sebagai penyimpan stok karbon terbesar, menurut Diheim, hutan primer Indonesia merupakan salah satu penyerap karbon terbesar di dunia. Apabila ada bagian hutan tersebut yang mati, maka akan banyak unsur karbon yang terlepas sebagai gas rumah kaca.

Berdasarkan kajian Bank Dunia, hal inilah yang menyebabkan Indonesia menjadi salah satu penghasil emisi gas rumah kaca tertinggi di dunia (peringkat keempat pada 2015).

Baca juga: KLHK: 3,29 juta hektare lahan gambut restorasi terbasahi

Baca juga: BRG temukan beberapa lahan gambut alami hidrofobisitas

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2019