Jakarta (ANTARA News) - Tsunami tidak hanya terjadi akibat gempa bumi yang magnitudonya lebih besar dari 8Mw namun bisa juga terjadi karena longsor di dasar laut yang antara lain bisa dipicu oleh gempa berkekuatan kecil, demikian menurut hasil penelitian terbaru Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI dan Institut de Physique du Globe (IPG) Paris. Ketua Tim Peneliti Prof Satish Singh dari IPG Paris di Jakarta, Kamis, mengatakan penelitian kelautan Pre-Tsunami Investigation of Seismic Group (PreTI-GAP) yang dilakukan di Kepulauan Mentawai pada 15 Februari-6 Maret 2008 menghasilkan rekaman data yang menunjukkan adanya bekas longsoran tanah bawah laut yang sangat besar di sekitar kepulauan itu. Prof Singh, yang baru kembali dari lokasi penelitian pada Kamis, menjelaskan jejak-jejak longsoran di area sepanjang 340 kilometer segmen timur Kepulauan Mentawai itu kemungkinan merupakan penyebab terjadinya tsunami setinggi lima meter di Kota Padang pada 1797. "Longsoran tanah di dasar laut tidak hanya terjadi di Siberut, tapi area sepanjang 340 kilometer dari Pagai Selatan sampai Siberut. Semuanya patah, tapi untungnya hanya selapis demi selapis sehingga dampaknya tidak besar. Kalau patahnya bersamaan, itu bencana yang sangat besar," katanya. Menurut dia, tsunami setinggi dua meter yang menghancurkan permukiman penduduk di pesisir selatan Jawa Tahun 2006 pascagempa berkekuatan 7,2 Skala Richter kemungkinan juga terjadi karena longsor di dasar laut. "Itu mungkin salah satu yang terjadi karena longsor tapi kita tidak pernah tahu karena tidak pernah mencari tahu. Kita hanya melihat pada gempa, tidak pada kemungkinan dampak longsor di bawah laut," katanya. Menurut Prof. Singh, sebelumnya longsor di dasar laut Norwegia dilaporkan mengakibatkan tsunami di sepanjang pantai Kanada hingga Amerika Serikat. Ahli Geologi Tektonik dari Puslit Geoteknologi LIPI Dr Danny Hilman Natawidjaja menambahkan, tsunami yang terjadi di Simeulue tahun 1907 kemungkinan juga terjadi karena longsor di dasar laut. "Sebab jika dilihat kekuatan gempa yang terjadi saat itu hanya 7,6 Mw tapi tsunaminya dua kali lebih besar dibanding yang terjadi di Aceh," katanya. Anggota tim peneliti Pre-TI GAP yang lain, Dr.Haryadi Permana dari Puslit Geoteknologi LIPI, menjelaskan bahwa hasil penelitian juga menunjukkan adanya serangkaian sesar atau patahan balik naik (back thrust) di Timur Laut Kepulauan Mentawai. Ia menjelaskan, guncangan dengan intensitas tertentu termasuk akibat gempa akan mempengaruhi rangkaian patahan balik naik itu dan menyebabkan longsor di dasar laut yang akan memicu tsunami besar. "Sesar ini merupakan pelengkap dari megathrust, zona subduksi, yang secara umum mengalami runtuhan selama terjadinya gempa seperti gempa tahun 2004, 2005 dan 2007," katanya. Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi Iskandar Zulkarnain berharap temuan terbaru itu bisa menjadi bahan masukan bagi pemangku kepentingan terkait dalam membuat kebijakan mengenai mitigasi bencana dan sistem peringatan dini tsunami. "Paradigmanya harus diubah. Selama ini peringatan dini tsunami hanya dikaitkan dengan gempa besar, berkekuatan 8-9 Mw dengan kedalaman pusat gempa lebih dari 60 kilometer. Selanjutnya kemungkinan longsor di dasar laut juga harus diperhitungkan dalam mitigasi," katanya.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008