Jika sampah bisa menggantikan batu bara, maka emisi gas buang penggunaan batu bara bisa ditekan. Selain itu, kerusakan lingkungan yang timbul dari pertambangan batu bara bisa dikurangi secara perlahan.
Jakarta (ANTARA) - Indonesia berkomitmen untuk turut serta memitigasi atas perubahan iklim yang terjadi secara global. Salah satu aksi nyatanya adalah menciptakan energi primer dari Energi Baru Terbarukan (EBT) menggantikan bahan bakar fosil yang perlahan menghilang.

Selain mulai meminimalisir olahan turunan bahan bakar fosil, EBT juga banyak menguntungkan dari keramahan lingkungan, yaitu bebas dari emisi gas buang hasil pembakaran.

Setali tiga uang, pemerintah mulai melirik salah satu sumber masalah yang masif ada di seluruh penjuru daerah, untuk dijadikan sesuatu yang memiliki nilai tambah, yaitu sampah. Sampah kian hari kian memburuk keadaannya, seakan tumbuhnya berkali-kali lipat dari ledakan penduduk itu sendiri.

Terutama bila peradaban banyak dihuni warga seperti kota besar di Indonesia, produksi sampah pasti juga membludak seakan tak terbendung. Berlandaskan riset serta perkembangan teknologi, kini sampah mulai diubah bentuknya menjadi bahan bakar yang dapat memicu produksi energi primer menjadi listrik.

Hal tersebut sering disebut dengan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Sebanyak 12 kota telah dipilih sebagai awal pembangunan instalasi pengolah sampah menjadi energi listrik berbasis teknologi ramah lingkungan, yaitu wilayah Provinsi DKI Jakarta; Kota Tangerang; Kota Tangerang Selatan; Kota Bekasi; Kota Bandung; Kota Semarang; Kota Surakarta; Kota Surabaya; Kota Makassar; Kota Denpasar; Kota Palembang; dan Kota Manado.
Baca juga: Empat daerah siap dirikan pembangkit listrik tenaga sampah tahun ini
 
Sekretaris Kabinet Pramono Anung menyampaikan hasil rapat terbatas yang dipimpin Presiden Joko Widodo mengenai "Perkembangan Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa)" di kantor presiden Jakarta, Selasa (16/7/2019). (ANTARA/Desca Lidya Natalia)


“Kami terus dorong untuk PLTSa ini dapat dibangun, ini sedang kami kembangkan lagi bersama masing-masing Pemda,” kata Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) FX Sutijastoto ketika ditemui Antara.

Lebih lanjut, ia menjelaskan, demi target 23 persen kontribusi EBT pada tahun 2025 bisa tercapai, PLTSa turut digenjot menjadi salah satu partisipan sumbangan energi tersebut. Perpres No 35 tahun 2018 telah dibuat sebagai landasan, di mana hal tersebut mengatur tentang percepatan program pembangunan PLTSa.

Pemerintah pusat dapat memberikan bantuan Biaya Layanan Pengolahan Sampah (BLPS) kepada Pemda maksimal Rp500.000 per ton sampah. Pemerintah Kabupaten atau Kota juga dapat menugaskan BUMD untuk pengembang PLTSa atau usulan kepada Menteri ESDM untuk menugaskan BUMN.

Namun, Pemda juga memiliki kewajiban untuk melakukan kajian studi kelayakan terhadap perkembangan olahan sampah menjadi energi. Kemudian, Pemda juga wajib menyediakan lokasi PLTSa dalam rencana tata kota.

Dari 12 kota yang dibuat pilot project PLTSa tersebut, total sampah yang dapat dihasilkan atau diolah per harinya adalah 16 ribu ton. Jakarta dan Bekasi menjadi dua kota teratas dalam hal penghasil sampah dibandingkan 10 kota lainnya, yaitu rata-rata per hari adalah 2.200 ton.
Baca juga: Luhut: Pembangkit listrik tenaga sampah diterapkan di 12 kota
 
Dua orang pelajar melintas di depan bangkai truk sampah di Cengkareng, Jakarta, Selasa (16/7/2019). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/hp.

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang dihimpun Antara penggunaan formula penentuan tarif listrik PLTSa sebagai pengganti harga patokan untuk energi baru terbarukan (feed in tarif), tergantung dari jumlah volume atau besaran sampah yang dimiliki di mana akan menentukan harga.

Selain tergantung dari jumlah sampah yang dapat diolah, kemampuan Pemda dalam biaya pengelolaan sampah per meter kubik (tipping fee) di daerahnya juga menentukan besaran harga jual listrik dari PLTSa.

Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan pernah meminta kepada pemerintah daerah (pemda) memberikan kelonggaran pada aturan tipping fee demi mendorong upaya pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa).

Tipping fee sendiri adalah biaya yang dikeluarkan sebagai anggaran pemerintah kepada pengelola sampah, berdasarkan jumlah yang dikelola per ton atau satuan volume meter kubik (m3).

Nantinya PLN akan menyerap hasil dari PLTSa yang sudah berhasil dikonversi menjadi energi. DKI Jakarta adalah kota paling siap untuk membangun proyek Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) menurut Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) FX Sutijastoto.
Baca juga: Pembangkit listrik tenaga sampah Bantargebang siap beroperasi
 
Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir (kiri) dan Menko Maritim Luhut Binsar Pandjaitan (tengah) dalam peresmian pilot project PLTSa Merah-Putih di Bantargebang, Bekasi, Senin (25/3/2019). (Kemenko Kemaritiman)


“Kalau paling siap dan terdepan progresnya saya rasa DKI Jakarta, dan ini sedang kami dorong juga kota-kota besar lainnya untuk penyelesaian EBT dari PLTSa,” kata Sutijastoto.

Berdasarkan data yang dihimpun Antara dari Ditjen EBTKE, volume sampah per hari DKI Jakarta adalah 2.200 ton, dan diperkirakan memiliki potensi energi kapasitas 35 MW. Nilai investasi untuk pembangunan PLTSa tersebut adalah sebesar 345,8 juta dolar AS.

Pengembang PLTSa Jakarta adalah PT Jakarta Propertindo dan Fortum yang ditargetkan akan dapat COD pada 2022. Status saat ini adalah menunggu Permen dari KLHK untuk mekanisme pengajuan BLPS (Rp500 ribu per ton).

Dirjen EBTKE mengatakan hingga saat ini pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) masih terkendala pada biaya.


Kolaborasi
Selain Pemda, Ditjen EBTKE mulai menggandeng PLN serta anak perusahaannya untuk mempercepat proses konversi sampah menjadi energi, dalam berbagai bentuk, tidak hanya berupa PLTSa, namun nilai tambah sampah itu sendiri sebagai pengganti batu bara.

Dirjen EBTKE mengatakan ia akan mengajak Indonesia Power untuk dapat mengolah sampah menjadi pengganti batu bara, sebagai bahan bakar utama pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD).

Jika sampah bisa menggantikan batu bara, maka emisi gas buang penggunaan batu bara bisa ditekan. Selain itu, kerusakan lingkungan yang timbul dari pertambangan batu bara bisa dikurangi secara perlahan.

Indonesia Power mampu mengubah sampah menjadi palet-palet yang bisa menggantikan pembakaran batu bara. Sampah yang bisa diolah menjadi pelet dapat berasal dari sampah rumah tangga, baik organik dan nonorganik.

"Pekan ini kami akan bertemu dengan PLN dan Indonesia Power, untuk membicarakan inovasi tersebut dapat diterapkan secara masif," tutup Sutijastoto.

Baca juga: Menko Luhut resmikan pembangkit listrik sampah Bantargebang Bekasi
Baca juga: Tarif pembangkit listrik sampah tergantung volume

 
Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa meninjau perusahaan PT. Mega Surya Eratama Kecamatan Ngoro, Mojokerto, Jatim yang akan mengolah limbah plastik sebagai tenaga alternatif pembangkit listrik. (Istimewa)

Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2019