Jakarta (ANTARA) - Kementerian Keuangan memperkirakan penerimaan pajak selama 2019 akan meleset sekitar Rp140 triliun dari target yang dicanangkan di APBN 2019 sebesar Rp1.577,5 triliun di antaranya karena lesunya setoran melalui berbagai instrumen pajak menyusul tekanan berkelanjutan pada harga komoditas global, pertumbuhan impor yang melambat hingga percepatan restitusi atau pengembalian kelebihan bayar.

"Penyebabnya harga komoditas yang turun, kurs tidak selemah yang diduga, impor turun cukup drastis, restitusi dipercepat juga kita berikan," kata Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Robert Pakapahan usai Rapat Badan Anggaran di Gedung DPR Jakarta, Selasa.

Proyeksi kekurangan penerimaan pajak (shortfall) itu timbul dari kajian sementara bahwa penerimaan pajak hingga akhir tahun hanya akan mencapai Rp1.437,53 triliun atau 91 persen dari target APBN 2019 yang sebesar Rp1.577,55 triliun. Artinya, terdapat selisih hingga sekitar Rp140,02 triliun.

Jika proyeksi shortfall Kemenkeu itu tepat, maka angka kekurangan penerimaan pajak 2019 lebih besar dibanding 2018 yang hanya sebesar Rp108,1 triliun. Terjadi kenaikan shortfall hingga 29 persen pada tahun ini.

Jika dirinci, penerimaan pajak penghasilan (PPh) diperkirakan mencapai Rp818,56 triliun atau 91,5 persen dari target. Kemudian, pajak pertambahan nilai sebesar Rp592,79 triliun atau 90,4 persen dari target, pajak bumi dan bangunan Rp18,86 triliun atau 98,7 persen dari target, dan pajak lainnya Rp7,31 triliun atau 85 persen dari target.

Robert mengatakan penerimaan pajak tahun ini memang dipengaruhi oleh gejolak ekonomi global sehingga berpengaruh pada melesetnya sejumlah asumsi makro.

JIka merujuk pada asumsi makro yang diperkirakan akan menjadi acuan sepanjang 2019, kurs rupiah diperkirakan akan berkisar Rp14.250 per dolar AS atau lebih rendah dibandingkan asumsi yang Rp15.000 per dolar AS. Dari kacamata stabilitas perekonomian, hal tersebut adalah penguatan kurs yang tentunya berdampak positif. Namun, bagi kinerja ekspor, penguatan kurs tersebut yang mencerminkan deviasi lebar dari asumsi makro akan berimbas pada melesetnya penerimaan negara.

Kemudian, rata-rata harga minyak mentah Indonesia (ICP) juga diperkirakan hanya akan mencapai 63 dolar AS per barel dari asumsi APBN 2019 yang sebesar 70 dolar AS per barel.

Produksi siap jual (lifting) minyak dan gas (migas) juga diperkirakan lebih rendah dari target yaitu hanya 754 ribu barel per hari (bph) untuk minyak dan 1.072 ribu barel setara minyak per hari. Padahal di APBN 2019, target "lifting" minyak sebesar 775 ribu bph dan gas 1.250 ribu barel setara minyak per hari.

"Ya shortfall sekitar segitu karena memang komoditasnya juga tertekan sehingga pengaruh ke penerimaan," ujar Robert.


Baca juga: Semester I 2019 penerimaan pajak Rp603,34 triliun
Baca juga: Menkeu: Penerimaan perpajakan hingga akhir Mei 2019 tumbuh melambat

 

Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2019