Oleh Gusti N.C. Aryani Jakarta (ANTARA News) - Pada Mei 2006, di tengah-tengah pembahasan isu nuklir Iran yang memanas di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB), Mahmoud Akhmadinejad selaku Presiden Iran melakukan lawatan ke Jakarta sebelum menghadiri Pertemuan Negara Berkembang (D-8) di Bali. Dalam kunjungan kerjanya ke Jakarta tersebut, orang nomor satu di Iran itu bertemu tidak hanya dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, namun juga anggota parlemen, akademisi, tokoh masayarakat, agamawan, dan mahasiswa. Presiden Ahmadinejad bertindak laiknya duta Iran yang baik karena di setiap kesempatan ia selalu mengemukakan alasan-alasan di balik keputusan pemerintahnya mempertahankan program nuklir yang diklaimnya bertujuan damai di saat hampir seluruh negara besar menentangnya. Saat itu, sekali pun status Indonesia belum menjabat sebagai salah satu anggota tidak tetap DK PBB, posisi Indonesia sebagai salah satu negara berpenduduk muslim besar di dunia tidak dapat dipandang sebelah mata. Apalagi, Pemerintah Iran memiliki keperluan untuk menggalang dukungan sebanyak-banyaknya untuk mencegah disahkannya resolusi 1737 dari DK PBB untuk menentang program pengayaan nuklir di Iran. Untuk menghadapi negara-negara Barat yang seakan-akan bersatu untuk mencurigainya, Iran memang tidak punya pilihan banyak, selain beralih ke dunia muslim. Terutama negara-negara muslim di luar Timur Tengah. Sikap "manis" yang ditunjukkan Presiden Ahmadinejad --ia bahkan meminta maaf secara khusus pada warga Jakarta yang terganggu aktivitasnya akibat kedatangannya menimbulkan kemacetan lalu lintas-- memang membawa dampak positif. Ia dielukan laiknya selebritis di Indonesia. Banyak pihak yang ingin sekali bertukar pikiran dengan tokoh kotroversial bagi dunia Barat itu. Bagaimana pun juga tindakan Ahmadinejad yang menentang kehendak negara adidaya Amerika Serikat (AS) mendongkrak citra pemimpin Iran itu di mata publik Indonesia, terutama pihak-pihak yang merasa gerah dengan sepak terjang Amerika Serikat (AS) di Irak yang memimpin bala tentara koalisi menyerbu Negeri Seribu Satu Malam tersebut. Itulah sebabnya ketika satu tahun kemudian, Maret 2007, Pemerintah Indonesia yang kali ini sudah menjadi anggota tidak tetap DK PBB menyetujui disahkannya resolusi kedua atas program nuklir Iran (resolusi 1747) polemik panjang muncul di dalam negeri. Tidak hanya anggota DPR, tokoh masyarakat juga mengecam keputusan pemerintah yang dinilai mengkhianati persahabatan yang tampak dalam pertemuan dua kepala negara pada 2006. Akibatnya, Pemerintah RI harus berulang kali menjelaskan alasan di balik keputusan itu, termasuk pada parlemen yang memutuskan untuk melakukan interpelasi. Isu interpelasi itu bahkan kemudian berkembang jauh lebih riuh daripada dukungan Indonesia terhadap resolusi 1747. Namun, tepat satu tahun berikutnya, Maret 2008, saat DK PBB mengesahkan resolusi ketiga untuk program nuklir Iran (resolusi 1803), Pemerintah Indonesia justru menjadi satu-satunya negara yang bersikap "abstain" dalam pemungutan suara. Pemerintah Indonesia kali ini oleh publik dalam negeri, dan bahkan Pemerintah Iran dinilai bersikap tepat . Kepada ANTARA News di Markas Besar PBB New York, pada awal pekan ini lalu (3/3) Duta Besar Iran untuk PBB, Mohammad Khazaee, mengatakan bahwa Pemerintah Iran mengungkapkan penghargaannya atas sikap Indonesia yang menentang arus, dengan memilih tidak mendukung resolusi soal penambahan sanksi bagi Iran yang akhirnya disahkan karena didukung oleh 14 dari 15 negara anggota DK PBB lainnya. Ketika ditanya apakah Iran cukup puas dengan sikap "abstain" dan bukan menolak, yang dinyatakan Indonesia, Khazaee menyiratkan hal tersebut bukan merupakan masalah besar bagi Iran. "Resolusi tersebut tidak akan menghalangi Iran untuk mempertahankan hak. Sejauh Indonesia tidak seperti negara-negara lainnya, kami menghargai posisi tersebut," katanya. Kendati hasil pemungutan suara di DK PBB sangat kuat menunjukkan persetujuan terhadap pengesahan Resolusi 1803, Khazaee tetap melihat bahwa tidak tercapainya konsensus di DK sebagai hal yang penting untuk membuka mata dunia dalam memandang masalah program nuklir Iran. Hal senada juga dikemukakan oleh Jaksa Agung Iran, Ayatollah Dorri Najaf Abadi, seusai pertemuan dengan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Hasyim Muzadi. Ia menyebut keputusan Indonesia itu --yang justru disayangkan sejumlah anggota lain di DK PBB-- sebagai hal yang tidak ternilai harganya bagi bangsa Iran. Kunjungan balasan Sambutan positif itu tentu memberikan suntikan moral tersendiri bagi kunjungan kerja Presiden Yudhoyono ke Iran, 10-12 Maret 2008. Tentunya sambutan dan pandangan rakyat Iran pada Indonesia saat ini jauh lebih baik dari pada satu tahun lalu. Suatu langkah bijak sebelum bertamu. Sekalipun hubungan dwipihak antara Indonesia dan Iran tidak terpengaruh oleh resolusi sanksi terhadap Iran sebagaimana yang dikemukakan oleh Jurubicara Kepresidenan Dino Patti Djalal. "Hubungan bilateral Indonesia tetap berjalan dengan Iran. Ini adalah esensi politik bebas aktif kita dan kita jalankan kebijakan sesuai dengan pendirian kita sendiri," katanya seraya menambahkan bahwa pembahasan mengenai topik itu tetap terbuka. Dino melanjutkan, posisi Indonesia saat ini tetap mendukung hak Iran guna membangun nuklir untuk tujuan damai serta berkerjasama secara transparan dan kooperatif dengan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA). Indonesia, katanya, juga akan terus mendorong upaya melanjutkan dialog dalam permasalahan nuklir Iran agar tercapai resolusi yang damai serta bermartabat bagi semua pihak. Namun terlepas dari masalah resolusi 1803, fokus pertemuan antara Presiden Yudhoyono dengan Presiden Iran mendatang lebih kepada upaya peningkatan kerjasama kedua negara di bidang energi dan perdagangan. Menurut pengamat Hubungan Internasional Universitas Indonesia Hariyadi Wiryawan, banyak komitmen kerjasama ekonomi antara Indonesia-Iran yang disepakati pada 2006 belum terwujud. "Banyak kerjasama ekonomi yang belum terealisasi, saya kira kunjungan Presiden Yudhoyono akan fokus pada masalah bagaimana meningkatkan kesejahteraan kedua belah pihak," ujarnya. Sejak dua tahun lalu, kedua negara memang memiliki komitmen kuat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan di bidang energi dan mendorong sektor perdagangan dwi-pihak. Pemerintah Iran pernah menyatakan minatnya untuk berinvestasi di bidang energi sedangkan pemerintah Indonesia berinvestasi di bidang pertanian. Kedua kepala negara juga dijadwalkan menyaksikan penandatanganan sejumlah nota kesepahaman, antara lain di bidang pertanian, pendidikan, perdagangan, dan kepemudaan. Pertemuan Presiden Yudhoyono dengan sejumlah tokoh di Iran memang baru akan terjadi pekan depan. Namun, bukan kebetulan jika lawatan itu dilakukan di saat perdebatan tentang resolusi Iran masih ramai diperbincangkan. Serasa "deja vu" dengan situasi dua tahun sebelumnya, saat Presiden Ahmadinejad berkunjung ke Indonesia, hanya saja jika dulu yang diperdebatkan adalah resolusi 1737 maka saat ini resolusi 1803. Sekalipun, kunjungan Presiden Yudhoyono ke Iran sudah pasti tidak lagi berpengaruh banyak pada resolusi 1803 yang telah disahkan, namun di mata internasional kunjungan tersebut menegaskan kedudukan Indonesia sebagai negara berdaulat yang bebas menjalin hubungan dengan negara manapun. Apalagi, kunjungan itu dilakukan tepat setelah Indonesia menentang arus di DK PBB dan tidak berapa lama setelah Presiden Ahmadinejad mencatatkan diri sebagai pemimpin pertama Iran yang melakukan lawatan ke Irak sejak kedua tetangga itu melakukan perang berlarut-larut pada 1980-an yang menewaskan satu juta orang. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008