Jakarta (ANTARA News) - Sepeninggal Jenderal Besar Soeharto pada 27 Januari lalu, habis sudah saksi kunci yang mengetahui secara pasti keberadaan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Paling tidak lima orang yang mengetahui secara pasti tentang surat sakti yang dikeluarkan tahun 1966 itu, yakni Soekarno selaku pemberi surat, Soeharto penerima surat, dan tiga utusan Soeharto yakni M Jusuf, Amirmachmud, dan Basuki Rahmat. Mereka telah tiada. Ke mana hendak dicari mungkin sepenggal bait lagu berjudul "Berita Kepada Kawan" dari penyanyi Ebiet G Ade yang bisa melipur "Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang". Terlebih keaslian dokumen Supersemar juga menjadi perdebatan yang sepadan dengan perdebatan di mana naskah itu berada. Keaslian dipertanyakan banyak orang mengingat ada sejumlah versi Supersemar yang diketik pada kertas berlogo Presiden RI dan berlogo Mabes TNI Angkatan Darat namun ada yang terdiri dari satu halaman dan lainnya dua halaman. Semua itu membuat kontroversi seputar keberadaan dan keaslian Supersemar masih kelam sehingga banyak orangtua atau guru tidak mampu menjawab pertanyaan lugu dari anak-anak atau siswa-siswa mereka tentang mengapa Supersemar hilang dan mana yang asli. Sejarah perjalanan bangsa Indonesia pun menjadi multi tafsir. Pemerintah, ketika masih dipimpin Soeharto hingga kini, secara resmi telah mengumumkan bahwa Supersemar hilang tetapi tidak ada niat yang sungguh-sungguh untuk menemukan kembali salah satu dokumen penting perjalanan bangsa Indonesia itu. Sementara itu Arsip Nasional Republik Indonesia telah berkali-kali mengupayakan kejelasan keberadaan Supersemar seperti permintaan Jenderal (Purn) M Jusuf. Namun hingga mantan Menhankam/Pangab itu meninggal pada 8 September 2004 tak diperoleh hasil meskipun M Jusuf pernah dikabarkan akan mengungkap Supersemar yang asli dan menyimpannya di sebuah museum. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1971 tentang Kearsipan menjadi dasar hukum bagi Arsip Nasional untuk mendapatkan arsip otentik Supersemar itu tetapi upaya bertahun-tahun belum membuahkan hasil. Ketika Muladi menjabat Menteri Sekretaris Negara dan kepada DPR-RI, Arsip Nasional pun pernah minta bantuan untuk memanggil M Jusuf untuk menjelaskan keberadaan Supersemar tetapi semua gagal. Dari Diskusi Supersemar di Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta Rabu (5/3) lalu misalnya, sejarawan dari Universitas Sanata Dharma (USD) Dr Baskara T Wardaya mengatakan cukup sulit menemukan kebenaran mutlak naskah asli Supersemar karena Soeharto selaku penerima surat sudah meninggal dan naskah aslinya tidak diketahui keberadaannya. Supersemar yang ada di buku-buku sejarah adalah yang dikeluarkan oleh Mabes TNI Angkatan Darat. Supersemar versi itu berisi ketentuan sebagai berikut: "PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SURAT PERINTAH I. Mengingat: 1.1. Tingkatan Revolusi sekarang ini, serta keadaan politik baik nasional maupun Internasional 1.2. Perintah Harian Panglima Tertinggi Angkatan Bersendjata/Presiden/Panglima Besar Revolusi pada tanggal 8 Maret 1966 II. Menimbang: 2.1. Perlu adanja ketenangan dan kestabilan Pemerintahan dan djalannja Revolusi. 2.2. Perlu adanja djaminan keutuhan Pemimpin Besar Revolusi, ABRI dan Rakjat untuk memelihara kepemimpinan dan kewibawaan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi serta segala adjaran-adjarannja III. Memutuskan/Memerintahkan: Kepada: LETNAN DJENDERAL SOEHARTO, MENTERI PANGLIMA ANGKATAN DARAT Untuk: Atas nama Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi: 1. Mengambil segala tindakan jang dianggap perlu, untuk terdjaminnja keamanan dan ketenangan serta kestabilan djalannja Pemerintahan dan djalannja Revolusi, serta mendjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimin Besar revolusi/mandataris M.P.R.S. demi untuk keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala adjaran Pemimpin Besar Revolusi. 2. Mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima-Panglima Angkatan-Angkatan lain dengan sebaik-baiknja. 3. Supaya melaporkan segala sesuatu jang bersangkut-paut dalam tugas dan tanggung-djawabnja seperti tersebut diatas. IV. Selesai. Djakarta, 11 Maret 1966 PRESIDEN/PANGLIMA TERTINGGI/PEMIMPIN BESAR REVOLUSI/MANDATARIS M.P.R.S. SOEKARNO" Sabtu, 11 Maret 2006 Disimpan Soeharto Sejarawan dari UI Dr Anhar Gonggong kepada Antara pernah mengatakan Supersemar yang asli kemungkinan masih disimpan Soeharto. "Ada kemungkinan Supersemar yang asli disimpan Pak Harto, atau bisa juga diserahkan kepada orang lain yang mendapat kepercayaan darinya," ujarnya di sela-sela peluncuran "Memoar Jenderal M Jusuf: Panglima Para Prajurit" di Jakarta, Jumat (11/3/06). Salinan Supersemar yang diberikan M Jusuf kepada Atmadji Soemarkidjo selaku penulis memoar itu, terdiri atas dua halaman yakni halaman pertama berisi tentang surat perintah dan halaman kedua tanda tangan Soekarno pada 11 Maret 1966 selaku presiden/panglima tertinggi/pemimpin besar revolusi/mandataris MPRS. Atmadji mengaku mendapatkan salinan Supersemar dari M Jusuf pada tahun 1992. "Ini bunyi Supersemar yang asli, kau pegang ini dan baca saja isinya," kata Atmadji menirukan ucapan M Jusuf saat menyerahkan salinan Supersemar yang terdiri dua halaman pada tahun 1992. Isinya sama dengan yang disebutkan di atas. Sementara itu Wakil Ketua MPR AM Fatwa saat bertemu Wapres Jusuf Kalla mengenai rencana pembuatan buku memoar M Jusuf itu pernah mengatakan bahwa dokumen tersebut masih ada dan disimpan di sebuah bank oleh keluarga almarhum M Jusuf. Sedangkan Salim Said saat mendampingi AM Fatwa bersama Marie Muhammad, Taufik Abdullah, dan Anhar Gonggong ketika itu menambahkan ada cerita yang masih perlu dikonfirmasi bahwa M Jusuf merupakan jenderal yang paling muda di antara Basuki Rahmat dan Amirmachmud ketika bertemu dengan Soekarno. Sebagai jenderal yang paling muda, M Jusuf membersihkan dan menyimpan dokumen saat Supersemar dibuat. Menurut Salim Said, Supersemar memiliki beberapa salinan. Satu lembar diserahkan ke Soeharto, satu lembar untuk Soekarno, dan satu lembar disimpan M Jusuf. Mereka yang berbicara soal keberadaan Supersemar tidak hanya sejarawan atau pihak-pihak yang memiliki dugaan tetapi juga pakar multimedia KRMT Roy Suryo turut angkat bicara. Pada diskusi Supersemar di Yogyakarta, Rabu (5/3) Roy Suryo mengatakan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) menyimpan film seluloid pidato kenegaraan Presiden Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1966 yang mengatakan supersemar bukan pengalihan kekuasaan melainkan mandat kepada Soeharto untuk mengamankan keadaan. Naskah yang terekam dalam film selluloid yang tersimpan ANRI hendaknya perlu diteliti dan diverifikasi lebih lanjut oleh para sejarawan dan pakar lainnya secara jujur, tegas dan bertanggungjawab, kata Roy. Dalam film itu, kata Roy, ditayangkan naskah Supersemar versi yang lain dari versi yang selama ini dikenal masyarakat. Sejarawan Baskara menyatakan, Presiden Soekarno dalam penjelasannya yang disampaikan pada pidato kenegaraan 17 Agustus 1966, mengemukakan bahwa supersemar tidak lebih dari memo harian Panglima Tertinggi ABRI kepada bawahannya Pangkostrad Mayjen Soeharto. Selanjutnya disinyalir supersemar diubah menjadi sebuah surat yang mengarah pada pengalihan kekuasaan padahal sebenarnya maksud Soekarno mengeluarkan supersemar bukan untuk pengalihan kekuasaan tetapi suatu langkah yang perlu dilakukan agar situasi dalam negeri kondusif. "Logikanya, jika supersemar sebagai pengalihan kekuasaan seharusnya sejak 12 Maret 1966 Presiden Soekarno sudah mundur dari jabatannya," kata Baskara. Lihat ke Depan Pada sisi lain pengamat politik Bambang Sulistomo mengatakan kontrovesi keberadaan Supersemar dan keaslian Supersemar bukan hal penting lagi. "Yang lebih penting adalah bagaimana kita melihat ke depan lebih baik dan tidak mengulangi pengalaman buruk dalam mengelola negara," kata cucu pahlawan Bung Tomo itu. Ia mengatakan, pengelolaan negara seperti pada masa Orde Lama dan Orde Baru yang buruk jangan sampai menjadi warisan bagi para pengelola negara pada masa-masa mendatang, termasuk bagi generasi muda. "Pengalaman Orde Lama dan Orde Baru sangat buruk, mengelola negara dengan intrik dan rekayasa politik. Jangan sampai pola-pola itu diwariskan," kata Pendiri barisan Pembebasan Rakyat Indonesia itu. Ia mengatakan sudah menjadi realita masa lalu bahwa ketika Supersemar itu ada, Soeharto menumpas Partai Komunis Indonesia dan melahirkan Orde Baru yang ingin melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. "Kalau masih ingin dipertanyakan apakah Pancasila dan UUD 1945 sudah dilaksanakan secara murni dan konsekuen," katanya. Mengenai kontroversi Supersemar, katanya, apalagi yang perlu ditanyakan karena para saksi kunci dan sejumlah kalangan terbatas yang mengetahui secara pasti keberadaan surat itu pun sudah tidak ada. Kalaupun dialihkan kepada pihak keluarga yang diperkirakan mengetahuinya, hal itu akan membawa kontroversi baru yang tak berkesudahan.(*)

Oleh Oleh Budi Setiawanto
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008