Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah menyiapkan dua opsi bagi frekuensi yang digunakan oleh operator PT Natrindo Telepon Seluler (NTS) jika terbukti penggunaannya tidak optimal. "Dua opsi itu adalah menawarkan frekuensi tersebut kepada operator yang berminat dengan pola menawarkan sesuai harga yang berlaku di pasar atau melakukan tender ulang dalam bentuk lelang," kata Dirjen Postel Depkominfo Basuki Yusuf Iskandar usai Rapat Dengar Pendapat dengan DPR-RI, di Jakarta, Senin. Menurut Basuki, saat ini pihaknya sedang mengaudit secara menyeluruh spektrum frekuensi seluruh operator seluler yang beroperasi pada layanan seluler generasi ke tiga (3G). "Khusus untuk NTS, kami mengaudit frekuensi NTS sebesar 5MHz, setelah itu akan dilanjutkan pemeriksaan frekuensi pada 2G di mana NTS memiliki frekuensi sebesar 10MHz," katanya. Berdasarkan surat No. 308/ DJPT.4/KOMINFO/8/2008 tertanggal 29 Februari, Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi Depkominfo mengingatkan NTS untuk menggunakan pita frekuensi yang dialokasikan kepadanya secara optimal. Menurutnya, audit secara menyeluruh terhadap frekuensi seluruh operator dilakukan bersamaan dan hasil awalnya akan diumumkan pada pertengahan Maret 2008. Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), Heru Sutadi mengatakan, pencabutan frekuensi yang didasarkan untuk menata ulang penggunaan frekuensi telah pernah dilakukan pemerintah. Dua tahun lalu regulator telah mengurangi kanal Bakrie Telecom dari 7 menjadi 3. Mobile-8 dari 7 menjadi 4, Hutchinson CP Telecom dari 15 Mhz menjadi 5 Mhz, dan NTS sendiri dari 10 Mhz menjadi 5 Mhz. "Jadi, ini bukan sesuatu yang baru. Kita selalu mengedepankan efisiensi dan efektifitas dalam mengelola sumber daya alam terbatas," tegas Heru. Ia mengakui, saat ini sudah ada dua operator yang meminta secara resmi penambahan frekuensi untuk layanan 3G akibat tingginya trafik suara. "Dua operator yang sudah mengajukan permintaan resmi melalui surat kepada pemerintah untuk meminta tambahan frekuensi yaitu PT Excelcomindo Pratama Tbk (XL) dan PT Telkomsel," katanya. Desakan penertiban frekuensi operator seluler yang tidak optimal tersebut juga disampaikan anggota Komisi I DPR RI, Djoko Susilo. "Pemerintah agar secepatnya menertibkan penggunaan frekuensi oleh operator agar menjadi pemasukan bagi kas negara dan menguntungkan masyarakat," kata Djoko. Menurut catatan, saat lelang lisensi frekuensi 3G pada 2006, negara mendapatkan uang segar sekitar Rp566 miliar. Angka itu di luar BHP frekuensi yang jumlahnya bervariasi setiap tahunnya. Pada tahun pertama saja tiga operator pemenang, Telkomsel, Indosat, dan XL, harus membayar sebesar Rp32 miliar. Menurut Kepala Bagian Umum dan Humas Ditjen Postel, Gatot S. Dewa Broto mengatakan, jumlah "base transceiver station/BTS" yang dibangun oleh NTS tidak sebanding dengan lebar pita yang diterapkan dan BHP frekuensi radio yang dibayarkan ke kas negara. Pemerintah membandingkan BTS yang dimiliki NTS dengan XL karena memiliki spektrum frekuensi yang sama di 2G. XL saat ini memiliki 11.000 BTS dengan 16 juta pelanggan, sedangkan NTS hanya memiliki 800 BTS dengan jumlah 20.000 pelanggan. Namun NTS sendiri bersikukuh, selama ini telah memenuhi komitmen sesuai dengan lisensi modern karena merek Axis telah diluncurkan secara komersial di Surabaya dan beberapa kota besar di Jatim. Kota lainnya yang akan menyusul adalah Jabodetabek, Batam, Medan, Pekanbaru, Bali, dan Lombok. (*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2008