Jakarta (ANTARA) - Dunia politik dalam negeri masih menyisakan riak-riak kecil usai Pemilihan Umum 2019. Setelah Pemilu Presiden/Wakil Presiden, Pemilu Anggota DPD RI, Pemilu Anggota DPR RI, hingga pemilu anggota DPRD provinsi/kota/kabupaten, kini muncul perebutan kursi pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Sebelum amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, MPR merupakan lembaga tertinggi negara, sedangkan presiden/wakil presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Mahkamah Agung (MA), Dewan Pertimbangan Agung (DPA), dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia sebagai lembaga tinggi negara, sekarang MPR menjadi lembaga negara sebagaimana lembaga-lembaga negara lainnya, ditambah dengan lahirnya Mahkamah Konstitusi (MK).

Setelah pemilu, 17 April 2019, tiba-tiba muncul wacana atau gagasan agar MPR kembali dijadikan lembaga tertinggi negara, sedangkan presiden/wakil presiden, MA, MK, DPR, dan  BPK tetap menjadi lembaga negara.

Baca juga: MPR akan sampaikan rekomendasi amendemen terbatas UUD NRI

Munculnya gagasan untuk membentuk lembaga tertinggi negara tersebut, antara lain, berbagai faktor, misalnya karena tidak ada lagi lembaga tertinggi negara, tidak ada lagi lembaga yang memiliki otoritas atau kekuasaan tertinggi di antara semua lembaga negara. Akibatnya, semua lembaga negara itu merasa sebagai instansi yang paling hebat dan terkuat.

Oleh karena itu, muncul wacana agar MPR kembali menjadi lembaga tertinggi negara. Dahulu, para wakil rakyat di MPR merasa bahwa mereka mempunyai hak untuk menyusun dan membuat Garis-Garis Besar Baluan Negara (GBHN). Dengan adanya GBHN, semua lembaga negara harus mengikuti dan melaksanakan apa yang tertuang dalam GBHN tersebut.

Akan tetapi, karena sekarang sudah tidak ada lagi GBHN, rencana pembangunan lima tahun (repelita) atau yang sejenisnya hanya dibuat oleh Pemerintah. Jadi, pemerintahlah yang seolah-olah “paling menentukan” arah serta program pembangunan.

Sekalipun mungkin alasan itu mengandung kebenaran sejak berlangsungnya era reformasi mulai Mei 1998, ternyata ada juga setumpuk alasan yang diajukan segelintir tokoh politik, khususnya yang tergabung dalam partai politik (parpol). Jika nantinya lembaga tertinggi negara muncul lagi, mulailah para politikus bergunjing memperebutkan posisi Ketua MPR RI.

Sekarang saja, sejumlah partai politik mulai menunjukkan ambisi atau niatnya untuk menjadi ketua MPR. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mulai memperlihatkan “cita-citanya”. Selain itu ada Partai Golkar hingga Partai Gerakan Indonesia Rakyat alias Gerindra.

Sekalipun mereka pada umumnya tidak malu-malu lagi untuk memperlihatkan ambisinya itu, para tokoh politik itu tentu harus menunggu amendemen atau perubahan  UUD NRI Tahun 1945 yang berhak menentukan perubahan tersebut.

Apabila lahir kembali lembaga tertinggi negara, bakal terjadi perebutan jabatan ketua MPR tersebut karena posisi ini lebih “kuat” jika dibandingkan dengan presiden, ketua DPR, MA, BPK, dan Ketua MK, Karena itulah posisi ketua MPR mulai “diincar” oleh sejumlah ketua umum partai politik.

Jika amendemen UUD '45 ini sukses,MPR dapat menjadi lembaga tertinggi negara lagi. Sekarang saja, posisi ketua DPR seharusnya dipegang oleh partai politik yang meraih kursi terbanyak di DPR sehingga PDIP seharusnya memimpin DPR.

Sementara itu, status ketua MPR tidak disebutkan secara jelas atau spesifik sehingga “siapa saja” bisa menjadi ketua MPR. Apabila PDIP menjadi ketua DPR, kemungkinan besar Golkar berpeluang menjadi ketua MPR atau bahkan dapat saja Gerindra yang beruntung.

Baca juga: Mahfud: tidak mudah kembali ke UUD 1945 asli

Pemilu 2024

Menurut peraturan yang masih berlaku sekarang, seorang presiden maksimal hanya bisa dua kali menjadi presiden. Karena Presiden Joko Widodo sudah terpilih dalam Pilpres 2014, mantan Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta ini hanya bisa menjadi satu kali presiden lagi, yakni periode 2019 s.d. 2024.

Tiba-tiba ada seorang jenderal purnawirawan TNI Angkatan Darat bernama A.M. Hendropriyono disebut-sebut mengusulkan agar masa jabatan presiden menjadi 8 tahun agar tidak setiap 5 tahun sudah “sangat sibuk” mencalonkan diri lagi. Ide mantan Menteri Negara/Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) tersebut masih terus bergulir di tengah-tengah masyarakat sehingga belum jelas akhirnya.

Kendati demikian, posisi ketua MPR ini tetap menjadi “incaran” para politikus terkemuka karena akan “sangat menguntungkan”, baik secara politis maupun finansial. Jika siapa pun juga memimpin MPR, dia bisa atau dapat memanfaatkan posisi tersebut untuk menjadi bakal calon presiden.

Jika seseorang menjadi ketua MPR yang merupakan lembaga tertinggi negara, dia dengan leluasa dapat memanfaatkan posisinya tersebut untuk menjadi bakal calon presiden. Dengan memanfaatkan status ketua MPR tersebut, dengan leluasa alias “bebas” dia bisa berkeliling ke seluruh Tanah Air untuk mempromosikan dirinya itu.

Selain itu, posisi ketua MPR akan dilengkapi dengan berbagai fasilitas negara yang “amat menggiurkan" para peminatnya..

Akan tetapi, yang harus disadari para calon peminat posisi ketua MPR ini adalah apakah mereka itu benar- benar ingin menjadi wakil- wakil rakyat yang 100 persen memiliki jiwa pengabdian terhadap sedikitnya 265 juta rakyat Indonesia dan juga Negara Kesatuan Republik Indonesia?

Baca juga: Basarah dukung amendemen terbatas UUD 1945

Sejarah menunjukkan bahwa puluhan wakil rakyat DPR dan juga DPD telah ditangkap dalam operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang bagaimanapun juga sangat dipuji kinerjanya oleh rakyat di Tanah Air.

MPR pada masa mendatang yang tetap terdiri atas anggota DPR dan DPD harus menjadi lembaga negara yang benar-benar 100 persen dicintai dan dihormati rakyat Indonesia. Jangan ada lagi penangkapan demi penangkapan seperti terjadi terhadap mantan Ketua DPD RI Irman Gusman dan mantan Ketua DPR RI Setya Novanto gara-gara terjerat kasus korupsi.

Para wakil rakyat di MPR, DPR, DPD, dan DPRD harus sadar bahwa mereka telah diberi amanah atau kepercayaan oleh ratusan juta rakyat Indonesia untuk menjadi wakil rakyat yang terhormat. Jadi, anggota MPR, DPD, DPR, dan DPRD tanpa kecuali, harus 100 persen menghormati konstituennya.

*) Arnaz Ferial Firman, wartawan Antara tahun 1982-2018. Meliput acara-acara kepresidenan tahun1987-2009

Copyright © ANTARA 2019