Jakarta (ANTARA News) - Cinta dan benci menurut orang-orang bijak sangat tipis pembatasnya, namun keduanya dapat menjadi pesan yang menyentuh ketika disampaikan lewat kematangan akting seorang pemain teater di panggung. Banyak tema aktual dan berat yang sulit disampaikan lewat pemberitaan di media massa ternyata dapat menjadi obrolan ringan yang menggugah perasaan lewat pementasan teater. Seorang pengamat teater mengatakan bahwa teater adalah media hidup, penuh spontanitas dan cerdas, yang mampu mengajak penonton menyelami suatu peristiwa. Di pentas, ada semangat untuk mengkritik, mengejek, mengolok-olok dan mencemooh, sesuatu yang sulit dilakukan wartawan dalam tulisan liputannya, padahal banyak peristiwa komunikasi yang sulit dipahami masyarakat. Apa yang dilakukan pemain teater lewat bahasa akting, begitu juga yang hendak dibuat wartawan dalam liputannya melalui jurnalisme damai yakni suatu bentuk bahasa komunikasi yang mendorong wartawan agar dapat memilih kata dan kalimat yang dapat menenggelamkan kebencian di antara anak manusia. Wartawan dihadapkan pada banyak peristiwa komunikasi yang begitu pelik dalam kehidupan masyarakat, dan tidak semuanya dapat diungkapkan melalui tulisannya. Mereka sadar bahwa sepotong tulisan dapat berakibat api membara, dan di sisi lain dapat membawa kedamaian. Itulah soal cinta dan benci yang sangat mewarnai kehidupan masyarakat sekarang ini. Beberapa wartawan mengatakan, fakta adalah fakta, kebenaran adalah kebenaran, yang harus diungkapkan apa adanya agar masyarakat dapat mengerti dan memahami duduk persoalan. Namun, yang terjadi adalah pesan dalam pemberitaan di media massa justru membuat masyarakat semakin menjadi tidak mengerti. Sampai sekarang ini, masih banyak peristiwa kekerasan yang disuguhkan apa adanya, bahkan ada media yang mendapat julukan "media berdarah" atau "televisi kriminal" karena terlalu vulgar dalam menyampaikan pesan. Apakah pesan itu dapat menyurutkan kebencian? Ketika banyak peristiwa komunikasi tersebut tidak dapat disampaikan begitu saja lewat media massa, maka seni pentas menjadi media hidup yang dapat mengajak masyarakat penontonnya menyelami suatu realitas dengan ringan. Inilah yang dilakukan banyak teater sekarang ini dengan mengungkapkan realitas yang terpendam dalam masyarakat. Menurut Agus Noor, pengamat teater dalam sebuah tulisannya, naskah aktual teater memberi kemungkinan bagi kita untuk memahami dan merefleksikan kembali apa yang dialami dalam kehidupan. Inilah yang coba diusung oleh banyak teater sekarang ini seperti yang dilakukan Teater Merah Putih, Teater Katahati, Teater Gandrik, yang secara teratur menampilkan tema-tema aktual dan berat menjadi ringan menyentuh lewat spontanitas akting. Di dalam pertunjukan teater itu, mereka bebas mengkritik dan mencemooh realitas yang ada. Realitas sosial itu dikemas dengan identitas artistik yang memikat. "Pentas teater bukan hanya suatu upaya untuk mengkomunikasikan makna yang ada dalam naskah lakon, tetapi yang tampak lebih penting adalah merepresentasikan realitas ke dalam gagasan dan ide-ide teater di atas panggung," kata Agus. Teater Kampus Di tengah perkembangan dan pertumbuhan teater, muncul teater-teater kampus yang juga ingin menyampaikan pesan dan aspirasinya. Namanya juga teater kampus, maka sajian pertunjukannya juga tidak bisa lepas dari aktualisasi diri anak muda yang energik. Naskah lakon yang diusung pun tak lepas dari masalah cinta dan benci. Salah satunya adalah LSPR Teatro di kampus Stikom London School of Public Relations, yang sudah mulai unjuk gigi sejak delapan tahun lalu di tempat-tempat bergengsi seperti Jakarta Media Center, dan Gedung Kesenian Jakarta. Jiwa semangat anak kampus yang acap menggelegak dalam memahami realitas dalam masyarakat dituangkan dalam seni pentas yang tidak kalah "gereget" bahasa komunikasinya meski teater ini bermula sebagai kegiatan "ekstrakurikuler". Lihat saja tema-tema yang mereka usung antara lain : Cinderella, Beauty and the Beast, Sound of Music, Grease, AIDA, Chicago, Miss Saigon dan Moulin Rouge dengan produser dan penulis naskahnya adalah mahasiswa sendiri. Pertunjukan Moulin Rouge, misalnya, yang baru saja dipentaskan belum lama ini di Auditorium Prof. Dr. Jayusman, berhasil membawa penonton tentang masalah cinta dan benci dengan menyulap panggung tiga tingkat menjadi megah dan spektakuler lengkap dengan interior kincir angin yang menjadi ciri bangunan Moulin Rouge di Paris,. "Saya mellihat ada semangat teater di kalangan mahasiswa untuk menyampaikan ekspresi kepada orang lain. Juga ada efek tertentu dalam kegiatan ekskurikuler ini, yakni mahasiswa juga dapat beraktualisasi diri." kata Prita Kemal Gani MBA, MCIPR, APR (UK), Direktur LSPR Jakarta. Gagasan teater yang dituangkan dalam bentuk lakon-lakon berbahasa Inggris di pentas di kampus LSPR ini tidak hanya menyangkut masalah penyampaian pesan lewat akting, tapi juga seni artistik dan manajerial panggung. Pelan-pelan secara bertahap, Teatro LSPR yang dibina langsung oleh Raffael Jolongbayan dari Pilipina dan Marc Carmichael Brown dari Australia --keduanya memang berpengalaman dalam bidang drama dan teater--- kini tumbuh menjadi teater profesional. Ini ditunjukkan pada beberapa kali penampilannya yang mendapat apresiasi cukup meriah dari penonton padahal mereka adalah mahasiswa semester II atau IV di Stikom LSPR. Minat besar serta kesungguhan mahasiswa pada teater inilah yang mendorong Prita Kemal Gani tidak tanggung-tanggung lalu membuka jurusan baru di sekolahnya, yakni Performing Arts of Communication yang baru saja diresmikan pertengahan Januari lalu. Mahasiswa yang semula hanya menjadikan teater sebagai penyaluran hobi dan ekspresi anak muda itu benar-benar didorong untuk benar-benar profesional. "Komunikasi lewat teater ini memang unik, karena dia tidak hanya menunjukkan bahasa akting tapi juga kemampuan manajemen. Ternyata, di balik seni pentas ini begitu besar peluang karirnya," ujar Prita Kemal Gani. Berbeda dengan Institut Kesenian Jakarta atau Institut Seni Indonesia, maka Performing Arts of Communication LSPR ini masih tetap menyandang sebagai sekolah komunikasi, sehingga para lulusannya bukan hanya sebagai artis, seniman, pemain teater saja, tapi juga seorang komunikator yang mampu menyampaikan pesan dengan bahasa komunikasi lewat seni. "Pilihan karir antara lain executive produser, director, artist, producer manager, event manager, brand manager, sponsor coordinator, media and entertainment manager, serta peluang lainnya yang menjadi pendukung di balik pementasan," kata Prita Kemal Gani. Untuk mencapai target ini, ada 53 mata kuliah yang harus diambil mahasiswa selama delapan semester, dengan dosen berpengalaman antara lain, Maribeth "Denpasar Moon" untuk kajian "Performance & Vocal", Yessy Gusman sebagai konsultan "Acting dan Dramatulogy". Ada pesan lain yang dapat dimaknai dari balik seni pentas, bukan hanya pesan-pesan teater lewat nilai artistik yang mengemasinya, tapi juga sosok-sosok yang terlibat di dalam pementasan itu mulai dari penulisan naskah sampai produsernya. Mereka adalah sosok yang juga berperan dalam realitas, seperti Eros Jarot yang kesehariannya dikenal sebagai seorang seniman tapi di sisi lain juga adalah tokoh politik. Begitu juga Peter Gontha yang seniman merangkap pengusaha, atau Yessy Gusman yang namanya lekat sebagai artis ternyata juga adalah seorang dosen dan pebisnis. Mereka hanyalah sebagian kecil para seniman nasional yang juga berkiprah di bidang lainnya, dan inilah agaknya sosok atau model yang agaknya ingin diikuti oleh mahasiswa lewat teater kampus. Kalau saja kelak dari Performing Arts of Communication ini nanti muncul para pemain teater, maka mereka tentu akan tampil beda dengan pemain teater kawakan sekalipun. Ini karena mereka adalah para pemain sekaligus komunikator yang dapat menyampaikan realitas kehidupan masyarakat ke dalam bahasa komunikasi yang lain dari bahasa media massa, karena mereka adalah lulusan kampus yang belajar ilmu komunikasi.
(*Penulis adalah pengamat komunikasi dan alumnus Pascasarjana Komunikasi UI dan Pascasarjana UNJ)

Oleh Oleh Artini*
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008